Gelombang penolakan rencana perubahan fungsi kawasan hutan Pegunungan Meratus yang semula hutan lindung menjadi taman nasional terus bergulir. Masyarakat adat dan komunitas lokal masif menolak rencana ini pasca Rapat Persiapan Kajian Kebijakan Pengelolaan Pegunungan Meratus antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Pemerintah Kalimantan Selatan September 2024.
Pemerintah pusat maupun daerah memiliki sejumlah alasan untuk mempercepat realisasi perubahan fungsi kawasan hutan di Pegunungan Meratus. Pertama, ihwal Kalimantan Selatan sebagai satu dari empat provinsi di Indonesia yang belum memiliki taman nasional.
Kedua, Pegunungan Meratus telah memenuhi persyaratan untuk peningkatan status sebagai kawasan taman nasional, juga memiliki kekayaan hayati dan keunikan ekosistem.
Variabel persyaratan taman nasional pun telah lengkap, dan dukungan pengakuan Geopark Meratus oleh UNESCO. Dengan begitu, pemerintah menilai pengajuan taman nasional bertujuan menjaga keunikan hayati, ekosistem, dan budaya Pegunungan Meratus, sekaligus melestarikan interaksi positif kelompok masyarakat lokal dengan ekosistemnya.
Namun, masyarakat adat dan komunitas lokal, bersama organisasi masyarakat sipil dalam Resolusi Meratus, menilai wacana taman nasional justru akan merenggut ruang hidup dan penghidupan peladang, petani, dan pekerjaan tradisional lainnya, bahkan membatasi pengetahuan lokal masyarakat sekitar.
Alih-alih memberikan ruang partisipatif bagi pengetahuan lokal dan hukum adat dalam praktik pengelolaan hutan dan kekayaan alam secara lestari, pengelolaan taman nasional disinyalir sebagai kedok perampasan wilayah adat.

Hegemoni politik penguasaan hutan
Watak pengelolaan hutan di Nusantara tidak beranjak signifikan dari dominasi hegemoni politik penguasaan hutan oleh Negara. Hal ini terus berlanjut hingga 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Negara menjadi penguasa tunggal atas hutan tanpa menimbang keberadaan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek yang setara dalam praktik pengelolaan hutan dan kekayaan alam secara lestari.
Buku Rekonfigurasi Hutan Jawa (2014) yang Koalisi Pemulihan Hutan Jawa susun mengingatkan kembali bahwa hal ini bermula sejak masa VOC (Verenigde Oost‐Indische Compagnie) hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menerapkan konsep scientific school of forestry, yang dikenalnya dari German forestry school untuk mengeksploitasi pohon jati khususnya di Pulau Jawa.
Konsep ini memandang bahwa harus ada pemisahan hutan dari aktivitas pertanian dan perlunya kepastian penguasaan hutan dalam skala luas.
Pemisahan hutan dari kegiatan pertanian juga dimaknai sebagai aktivitas budidaya yang dilakukan manusia. Sehingga ada pemisahan yang kemudian dikenal hutan dan non-hutan —dimana manusia dikategorikan non-hutan. Lalu kategori hutan dibagi kembali dengan tiga fungsi fungsi pokok yakni konservasi, lindung, dan produksi.
Konsep German forestry school yang diterapkan di Eropa —kemudian diadopsi oleh kolonial di tanah jajahannya— telah memberikan konsekuensi pelik hingga hari ini, yaitu penyingkiran masyarakat dari ruang hidupnya. Manusia sebagai elemen non-hutan, dilarang memasuki wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Padahal, jauh sebelum konsep itu ada, masyarakat Indonesia telah memiliki hubungan spesial dengan alam khususnya hutan. Tidak ada pemisahan antara hutan dan non-hutan, mereka hidup menyatu sebagai bagian dari alam semesta.
Sati (2019) juga menyebutkan hegemoni politik penguasaan hutan dan lahan oleh negara makin diperkuat sejak Agrarische Wet tahun 1870 oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berlaku. Pada tahun sama, Koninklijk Besluit atau Agrarische Besluit turut terbitkan sebagai peraturan pelaksana yang berlaku untuk Jawa dan Madura.
Peraturan ini menetapkan bahwa seluruh tanah yang tidak terbukti kepemilikannya berada di bawah kekuasaan (domain) negara. Dalam kajian agraria, ini dikenal sebagai domein verklaring.
Penerapan konsep domein verklaring dan scientific school of forestry merupakan kombinasi epik Negara untuk menguasai hutan dan lahan (tanah) secara tidak adil.
Negara mewajibkan adanya bukti fisik kepemilikan tanah, padahal sebagian besar masyarakat tidak memilikinya karena tanah dikelola secara turun-temurun tanpa arsip resmi.
Sementara itu, penyediaan administrasi pengarsipan seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, bukan dibebankan kepada masyarakat. Situasi ini menjadi modus Negara untuk melakukan klaim sepihak atas tanah tersebut termasuk hutan yang berada diatasnya.
Warisan teritorialisasi kawasan hutan dari kolonial Abad 19 inilah yang kini memperkuat klaim Negara atas kawasan hutan di Indonesia, termasuk yang terjadi saat ini di Meratus. Keadan ini tercermin di dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan —sebelumnya ada UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Pasal 1 Angka (3) menyebutkan definisi kawasan hutan yakni wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Peluso dan Vandergeest (2001) disebut hutan politik. Meskipun pada kondisi tertentu tidak ada tutupan hutannya, suatu wilayah tetap bisa masuk kategori sebagai kawasan hutan. Lalu, cara penunjukkan dan, atau penetapan tata batas kawasan hutan yang diwariskan dari kolonial hingga kini, telah menimbulkan ragam konflik laten akibat tumpang tindih dengan ruang hidup dan lahan penghidupan masyarakat.

Konflik laten dalam balutan konservasi ala negara
Ragam konflik laten akibat warisan teritorialisasi kawasan hutan terasa sangat keras di wilayah yang ditetapkan taman nasional. Kanal Informasi Tanah Kita yang dikembangkan jaringan OMS mencatat setidaknya ada 40 konflik di wilayah taman nasional sejak tahun 1967.
Rentetan intimidasi, pengancaman, penganiayaan hingga penghilangan nyawa akibat penembakan oleh oknum polisi hutan terus dialami masyarakat lokal.
Tindakan ini didukung dalih untuk melestarikan taman nasional melalui pengosongan dari pengaruh kehidupan masyarakat. Praktik ini merupakan wajah kolonialisme yang bersemayam dalam watak konservasi ala negara.
Marina dan Dharmawan (2011) mencatat kasus Masyarakat Adat Kasepuhan yang dianggap menyerobot lahan Perhutani, hingga memicu sederet konflik terlebih setelah pengelolaan Gunung Halimun dialihkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Lalu wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional.
Masyarakat Adat Kasepuhan mendapatkan intimidasi berupa ancaman pengusiran (resettlement) dari tempat tinggalnya. Masyarakat juga ditangkap saat berada di kebun garapannya karena dituduh sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging.
Tidak hanya itu, papan pengumuman mengenai larangan memasuki kawasan taman nasional juga dipasang di kebun dan di depan rumah-rumah warga.
Warisan konflik laten yang terjadi di kawasan konservasi tidak juga merubah cara pandang pelestarian alam yang tercantum dalam UU No.32 tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi).
Alih-alih menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum atau pemangku hak (right-holder), ketentuan Bab IX dalam UU Konservasi hanya menempatkan mereka sebagai stakeholders yang diarahkan dan digerakkan pemerintah.
UU Konservasi yang baru disahkan tahun 2024 tidak menghadirkan pengakuan terhadap pengetahuan dan praktik pelestarian alam masyarakat adat maupun komunitas lokal, melainkan justru mereproduksi bentuk pengabaian.
Makna konservasi masih dianggap tunggal dan hanya berasal dari pengetahuan pemerintah. Konservasi dimaknai sebagai proses pemeliharaan dan perlindungan melalui pengawetan (preservasi), sehingga harus dijauhkan dari interaksi masyarakat lantaran bisa merusak kondisi aslinya.
Namun, anggapan keberadaan masyarakat dapat merusak pelestarian taman nasional tampak kontradiktif, sebab lebih ramah terhadap investasi khususnya ekstraksi panas bumi yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (3) UU Konservasi.
Serupa dengan ekstraksi mineral lain, proyek panas bumi juga merenggut penghidupan masyarakat sekitar akibat kerusakan ekologis. Cerita mengenai gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya kekayaan hayati endemik, hingga kejadian tragis tewasnya warga setempat akibat keracunan gas dari ledakan pipa panas bumi terangkum jelas dalam penelitian CELIOS dan WALHI (2024).

Kearifan di kaki Pegunungan Meratus
Dalam artikel yang sama dengan judul subbab ini, Buletin Intip Hutan yang diterbitkan Forest Watch Indonesia (2004), merekam kehidupan Balai Kiyu, salah satu komunitas adat Dayak di Pegunungan Meratus. Mereka menganggap tanah sebagai sesuatu yang sakral sehingga tercipta hubungan untuk mencapai keseimbangan hidup dalam interaksi manusia dengan alam yang disebut Aruh.
Masyarakat Balai Kiyu juga memiliki pembedaan muka bumi (pengelolaan tata ruang hutan) terutama berkaitan dengan peruntukkan pengelolaan lahan guna melindungi keberadaan hutan, di antaranya katuan (hutan) larangan, katuan adat, katuan keramat, kebun gatah, ladang dan wilayah pemukiman.
Setiap katuan memiliki fungsinya masing-masing dengan aturan adat yang melekat di dalamnya. Bagi yang melanggar akan kena sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
Pembedaan muka bumi ini menjadi salah satu kearifan lokal Masyarakat yang termasuk dari 146 komunitas adat di Kalimantan Selatan itu. Mereka mewarisi pengetahuan dari leluhur dalam pengelolaan hutan berdasarkan nilai-nilai lokal yang kita sebut konservasi ala adat atau konservasi berbasis masyarakat.
Praktik konservasi berbasis masyarakat pada tingkat global dikenal dengan istilah ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory). Di Indonesia, disepakati istilah Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) untuk menerjemahkan ICCAs.
Sejak tahun 2011, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) telah berupaya dalam mendokumentasikan ragam praktik perlindungan kekayaan alam dan lingkungan berbasis kearifan lokal. Pada Mei 2025, WGII merilis situasi terkini registrasi AKKM di Indonesia yaitu registrasi nasional ICCAs mencapai 647.457,49 hektar yang tersebar di 293 wilayah komunitas adat dan lokal, dengan potensi ICCAs seluas 23,82 juta hektar.
Meskipun begitu, UU KSDAHE tidak juga mengakomodir usulan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum yang juga melakukan praktik konservasi selain Negara. Akibatnya, rencana peningkatan status Pegunungan Meratus menjadi taman nasional tentu akan mengancam ruang hidup sekitar 20.328 jiwa yang tersebar di 23 desa dan 5 kabupaten.
Peta wacana taman nasional memperlihatkan banyak wilayah yang bersinggungan dan tumpang tindih dengan sebaran ruang hidup balai adat. Maka dari itu, rencana Taman Nasional Meratus harus ditinjau ulang dengan pertanyaan dasar, apakah rencana ini kembali menjadi alat hegemoni Negara dalam menguasai hutan?
Dengan banyaknya komunitas yang menggantungkan hidup dari Pegunungan Meratus dan menjadikan kearifan sebagai tindak laku sehari-hari, patut dipertanyakan mengapa pemerintah tidak mempertimbangan model baru pelestarian hutan yang mengakui hak masyarakat adat dan komunitas lokal? Seperti yang telah dicontohkan Hendlin (2014), yaitu Komunitas Adat Kayapo di Brazil, yang diakui sebagai pemilik sekaligus penjaga kehidupan non-manusia di tanah tradisional mereka.
*Penulis: Bambang Tri Daxoko, merupakan Staf Pengelolaan Pengetahuan di RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment.

*****
Bagaimana Perkembangan Rencana Hutan Meratus jadi Taman Nasional?