- Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang dibangun sejak 1923, menjadikannya warisan energi terbarukan tertua di Bandung. Sayangnya, Limbah sapi dan alih fungsi lahan di hulu Cikapundung memperparah sedimentasi yang mengancam operasional Bengkok.
- Sebelum adanya PLTA Bengkok, pada akhir abad ke-19, Bandung gelap. Hanya gedung pemerintah dan rumah warga Eropa yang menggunakan penerangan terbatas. Tak pelak, kehadiran PLTA Bengkok menjadi kemewahan di kota Hindia Belanda. Untuk pertama kali kota yang awalnya didesain untuk 300.000 jiwa ini teraliri listrik oleh perusahaan Bandoengsche Electriciteit Maatschappij (BEM). Kini, PLTA Bengkok dikelola PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling, anak usaha PLN.
- Dwi Wijanarko, Team Leader PLTA Bengkok, dengan usianya yang seabad lebih, PLTA Bengkok adalah warisan sejarah (heritage). Statusnya masuk sebagai salah satu pembangkit listrik cagar budaya kelas A yang mengusung teknologi ramah lingkungan sejak pertama beroperasi.
- Transisi energi terbarukan rawan gagal jika ekosistem penyangga seperti hutan dan sungai terus rusak. Pembangunan energi seharusnya meniru skema partisipatif masa lalu agar adil bagi warga dan lingkungan.
Suara gemuruh air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok di Dago, Bandung, Jawa Barat (Jabar) nyaris luput dari ingatan di tengah kota yang terus tumbuh. Pembangkit ini memanfaatkan aliran Sungai Cikapundung, Pemerintah Kolonial Belanda membangunya pada 1923.
Jika dihitung, usia Bengkok seabad lebih. Hingga kini, Bengkok tetap menyala dan mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga di Bandung. Ia seolah menjadi saksi awal ketika Hindia Belanda memperkenalkan energi terbarukan —jauh sebelum istilah “energi hijau” menjadi jargon masa kini.
Adalah Lands Waterkracht Bedrijf Bandoeng en Elektriciteit (LWBBE) dan Gemeenschappelijk Electrisch Bedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO), dua perusahaan swasta dan milik negara yang membangun pembangkit berkapasitas 800 kW itu. Setelah itu Bandung lalu bersolek hingga menemukan julukan “Paris Van Java”.
Ada nama arsitektur seperti Wolff Schoemaker, Thomas Karsten, hingga Henry MacLaine Pont yang membangun kota yang berstatus kotapraja “gemeente” itu atas instruksi pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Karsten, misal, merancang Kota Bandung sebagai prototipe kota kolonial Indisch termaju pada masa itu. Dia menerapkan tata kota modern bergaya Eropa dengan taman-taman dan boulevard. Dalam rancangan yang terkenal sebagai Plan Karsten (1930), dia mendesain Bandung sebagai kota hunian nyaman hingga 25 tahun ke depan.
Mereka giat mempromosikan Bandung sebagai kota hunian dan wisata. Untuk itu, Pemerintah Hindia bekerja sama dengan Bandoeng Vooruit, komite swasta yang bergerak di bidang pariwisata.
***

Sebelum ada PLTA Bengkok, akhir abad ke-19, Bandung gelap. Hanya gedung pemerintah dan rumah warga Eropa yang menggunakan penerangan terbatas. Tak pelak, kehadiran PLTA Bengkok menjadi kemewahan di kota Hindia Belanda kala itu.
Untuk pertama kali kota yang awalnya didesain untuk 300.000 jiwa ini teraliri listrik oleh perusahaan Bandoengsche Electriciteit Maatschappij (BEM).
PLTA Bengkok, terhitung energi terbarukan pertama di nusantara ini. Operasionalnya berada di bawah pengelolaan PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling, anak usaha PLN.
Bengkok mampu memproduksi 2,8 megawatt listrik dari dua unit turbin pelari bebas (pelton) dari Sungai Cikapundung. Air dialirkan melalui pipa besar sepanjang 1,2 kilometer dari intake di hulu.
Dwi Wijanarko, Team Leader PLTA Bengkok, mengatakan, dengan usia seabad lebih, PLTA Bengkok adalah warisan sejarah (heritage). Status masuk sebagai salah satu pembangkit listrik cagar budaya kelas A yang mengusung teknologi ramah lingkungan sejak pertama beroperasi.
“Mesinnya sudah tua, tapi masih berfungsi optimal,” katanya.
Bangunan pembangkit ini bergaya kolonial, berdinding tebal, dengan lantai bawah tanah tempat turbin berputar. Tak banyak yang tahu bahwa fasilitas inilah yang menyuplai sistem kelistrikan di Bandung pertama kali. Saat pendudukan Jepang, pembangkit ini pun tetap beroperasi meski hanya satu unit.
Selain Bengkok, ada PLTA Karacak di Garut dan Ubrug di Sukabumi merupakan pelopor pembangkit listrik di wilayah Jabar. Ketiganya berdiri di masa kolonial dan masih beroperasi hingga kini. Uniknya, infrastruktur seperti pipa dan bendungan intake juga masih terpakai tanpa banyak modifikasi.
Menurut Dwi, PLTA Bengkok menyumbang sekitar 0.014% dari kapasitas pembangkit listrik di sistem Jawa-Bali. “Kecil memang, tapi punya nilai sejarah. Saat beban puncak, Bengkok masih bisa termanfaatkan,” katanya.

Ancaman alih fungsi dan pencemaran
Bengkok, berada di zona penyangga Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda juga memberi tantangan tersendiri. Operator harus jeli mengatur antara aktivitas pembangkitan dengan pasokan air.
Bengkok mengadopsi sistem run off river. Energinya sangat bergantung pada pasokan aliran air Sungai Cikapundung. Di satu sisi alih fungsi lahan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung menjadi ancaman serius.
Wahyudin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, konversi lahan terus berjalan, bahkan di zona sempadan sungai dan rawan longsor. Sementara itu, ancaman kekeringan, banjir, hingga krisis air bersih mulai menghantui warga kota.
“Kerusakan KBU bukan terjadi tiba-tiba,” ucap Wahyudin.
Kurun 2008-2023, lebih 400 izin mendirikan bangunan (IMB) terbit di wilayah KBU. Masalahnya, penerbitan izin-izin itu banyak yang mengabaikan prinsip konservasi. Padahal itu wilayah resapan, mata air, bahkan zona rawan bencana.
Dia menyebut, izin-izin tersebut acap kali tanpa kajian lingkungan yang transparan atau partisipasi warga tetapi pemerintah tetap mengizinkan hingga menyebabkan krisis ekologis makin parah.
Pencemaran juga jadi ancaman. Menurut BPS Jabar (2024), Kabupaten Bandung memiliki populasi sapi perah sekitar 28.478 ekor, sedangkan Kabupaten Bandung Barat 22.630 ekor.
Data Dinas Perikanan dan Peternakan (Dispertanak) Kabupaten Bandung Barat lebih banyak lagi. Di hulu Cikapundung populasi sapi perah di Lembang sekitar 26.300 ekor. Namun, hanya 30% yang memiliki fasilitas pengolahan limbah; sisanya, 70% membuang limbah langsung ke sungai termasuk, Sungai Cikapundung.
Rata-rata kotoran sapi sekitar 12 kilogram per hari kali 18.410 sapi yang terdata tanpa pengolahan. Itu berarti total limbah padat mencapai 220 ton per hari yang masuk ke Sungai Cikapundung.
Akibatnya, lebih dari setengah volume kolam penampung atau reservoir berkapasitas 30.000 meter kubik terisi sedimentasi. Dalam sebulan sekitar 300 dump truck atau setara 1.000 meter kubik lumpur harus dibuang.
Dwi mengatakan, kondisi itu menjadi sinyal ketidaksesuaian ruang bagi PLTA. Meski begitu, mereka tetap melakukan pengangkutan limbah sedimen, meski biaya lebih mahal daripada pemasukan dari produksi listrik.
Setidaknya, PLTA Bengkok perlu 3,9 meter kubik air per detik untuk memutar tiga unit turbin. Karena debit terus defisit, produksi listrik hanya mampu 0,8 sampai 1 megawatt dari 1-2 mesin turbin.
Salah satu titik paling krusial ada di Kawasan Bandung Utara (KBU). Sebenarnya, tempat ini jadi penyangga utama ekosistem Bandung—mulai dari penyimpan air, pengatur suhu, sampai penahan longsor. Sekarang, KBU berubah sesak oleh properti, dari vila, hotel, restoran, sampai bangunan komersil yang naik hingga di lereng-lereng curam.

Transisi energi
Sementara itu, transisi energi di Jabar menghadapi persoalan mendasa, antara lain, proyek-proyek energi terbarukan seperti geothermal, PLTA, dan mikrohidro justru terbangun di atas ekosistem yang tengah rapuh.
Tekanan terhadap lingkungan kian kuat akibat ekspansi industri, tambang, dan infrastruktur yang menyingkirkan tutupan hutan di kawasan hulu. Padahal, keberhasilan proyek energi terbarukan sangat bergantung pada kualitas dan ketersediaan air, serta stabilitas ekosistem. Ketika hutan berubah dan sungai tercemar, energi air pun kehilangan pondasi.
Grita Anindarini, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyarankan, restorasi ekosistem mesti jalan sebagai bagian dari strategi transisi energi. “Energi terbarukan harusnya tidak berjalan seperti proyek bisnis biasa. Harus ada perlindungan lingkungan dan pemulihan ruang hidup sebagai prasyarat,” katanya.
Seharusnya, restorasi ekosistem menjadi bagian inti dari strategi energi hijau. Pemerintah daerah bisa mengadopsi pendekatan jurisdictional restoration, di mana kawasan-kawasan tangkapan air seperti hulu Cikapundung, KBU, dan daerah konservasi lakukan pemulihan lewat skema jangka panjang. Seperti, melalui reforestasi, proteksi DAS, dan insentif fiskal ekologis. Pembangkit sebersih apapun, katanya, akan tetap bergantung pada potensi alam.
Grita juga mendorong penguatan model desentralisasi energi berbasis komunitas. Skema seperti mikro hidro atau mikro geothermal oleh warga bisa menjadi jalan keluar dari ketimpangan proyek-proyek besar yang eksploitatif.
Energi yang adil, katanya, adalah energi yang terkelola bersama, menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat, dan tak memutus siklus hidup alam.
“Kalau restorasi dan partisipasi tidak jadi prioritas, maka transisi energi hanya ganti alat, bukan ganti cara pikir.”

Pelajaran dari Bengkok
Belajar dari pengembangan PLTA Bengkok, semula pengelolaan melalui skema campuran antara pemerintah, swasta, dan otoritas lokal. GEBEO, misal, tak hanya memasok listrik ke kota, juga membuka ruang partisipasi dalam pengelolaan air dan distribusi manfaatnya.
“Penentuan lokasi, pemilihan teknologi paling canggih hingga penataan bangunan PLTA Bengkok ini memang dilakukan dengan banyak kajian dan dikerjakan serius,” kata Dwi.
Buah dari itu, katanya, banyak warga Belanda datang mengenang kemegahan dan sejarah pembangkit ini. Sebab, PLTA ini pernah berjasa menyalakan fasilitas strategis masa lalu termasuk stasiun radio Malabar yang menghubungkan Bandung dengan Belanda.
Kalau pengembangan energi bersih mengikuti model serupa, masyarakat sekitar bisa terlibat dalam menjaga daerah tangkapan air dan turut merasakan hasilnya. Skema ini, katanya, kian menegaskan pentingnya kolaborasi dalam mendorong energi terbarukan, tak sekadar proyek teknokratis.
*****
PLTA Batang Toru: Bencana Mulai Terjadi, Bagaimana ke Depan?