- Tradisi yadup dan kadup yang selama ini dijalankan masyarakat Pulau (mios) Roon untuk melindungi hutan dan laut kini dibukukan dalam Peraturan Kepala Kampung (Perkam) Bersama Nomor 1/2024, sehingga memiliki dasar hukum yang lebih kuat.
- Aturan ini membagi wilayah darat, pesisir, dan laut ke dalam zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona terbuka, sekaligus menetapkan sanksi bagi pelanggar, termasuk bagi pelaku penebangan liar dan pelaku bom ikan.
- Kampung Mena mulai membangun homestay dan menjaga ekosistem laut karena menyadari potensi ekonomi dari wisatawan mancanegara yang singgah secara rutin di Pulau Roon.
- Meski warga sudah berkomitmen menjaga alam, praktik penangkapan ikan ilegal oleh nelayan dari luar daerah masih marak, menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
Pulau (mios) Roon terletak di utara semenanjung Wondama, yang masuk dalam Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Luasnya 1.890 km2. Pulau kecil ini menjadi tempat tinggal setidaknya 1.839 jiwa (BPS 2020), yang menghuni 7 kampung, yaitu Yende, Mena, Syabes, Indai, Niap (Niab), Sariay, dan Menarbu.
Ibukota distrik (kecamatan) berada di Yende, yang sekaligus jadi kampung terbesar. Secara reguler kapal-kapal cepat menyinggahi kampung ini. Jika ditempuh melalui laut, dengan menggunakan kapal bermotor, perlu waktu sekitar 2-3 jam dari ibukota kabupaten, yaitu Wasior.
Meski tampaknya terpencil, namun jejak sejarah di Roon terbentang panjang. Para misionaris seperti Rudolf Beyer dan Gottlieb Lodewijk Bink di abad ke-19 tercatat pernah berkunjung dan berkarya di Syabes dan Yende. Peninggalan gereja tua dan Alkitab tua berbahasa Melayu dari tahun 1884 masih dapat dijumpai hingga sekarang.
“Kedatangan G.L. Bink itu yang sekarang jadi penanda berdirinya kampung Yende, 2 April 1884,” tutur Hendrik Waromi (61), salah satu tokoh masyarakat, dan saat ini juga menjabat sebagai Kaurbang dan Bamuskam Kampung Yende.
“Pulau Roon ini penting dari sisi sejarah. Gereja tertua di Tanah Papua yaitu Isna Jedi ada di Yende,” lanjutnya.

Menurut Suroto et al (2019), di wilayah Teluk Cenderawasih para penduduk lokal telah memiliki kontak yang ekstensif dengan para pendatang sejak 3000 tahun yang lalu. Dalam literaturnya itu, disebut para penutur Austronesia meninggalkan jejak sejarah seperti teknologi perahu cadik, ternak babi, pemeliharaan anjing, hingga mengunyah pinang.
Situs arkeologi Korbiena di Kayob dan penguburan di Kor Wyena (Suanggini) di Syabes jadi beberapa contoh tinggalan prasejarah di Pulau Roon.
Secara genelogis, orang-orang yang menghuni tujuh kampung ini pun memiliki hubungan kekerabatan dan hidup dalam satu nilai budaya yang sama. Mengacu kepada data yang dikumpulkan LMMA, maka terdapat 33 marga (keret) yang ada di Pulau Roon.
“Marga-marga yang ada di Roon dapat ditelusuri sejarahnya,” ungkap David Waropen (31) pemuda asal Kampung Niap, asli orang Pulau Roon. Tak heran, David memiliki saudara di beberapa kampung lain di Pulau Roon ini.

Satu Pulau, Satu Sistem Kelola
Sebagai warga yang hidup di pesisir pulau-pulau kecil, orang-orang Roon telah memiliki kearifan budaya lokal. Diantaranya dalam bentuk yadup dan kadup. Yadup adalah tradisi yang dilakukan oleh individu ataupun perorangan untuk melindungi isi sumberdaya alam lokal seperti tumbuhan dan satwa dalam kurun waktu tertentu.
Sedangkan kadup adalah tradisi untuk melindungi hasil hutan dan laut yang dilakukan secara bersama-sama, –bisa dilakukan oleh tingkat kampung atau gereja dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya untuk memberi kesempatan biota berkembang biak pada saat masa kadup di buka.
“Kalau di tempat lain di Papua dan Maluku dikenal nama sasi atau sasisen, di Pulau Roon, namanya Yadup dan Kadup,” jelas Ramses Koibur (48), Koordinator Focal Area Pulau Roon dari LMMA Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang konservasi dan pengembangan ekonomi.
Pengelolaan ini mencakup di wilayah adat Roon dan pulau-pulau kecil satelitnya, seperti Mios Rariauw, Rariei, Masinem, Numbarapi, Auri, Manuop, Repon, Inai, Munggamuer, Manupasan, dan Yarifu. Terdapat pembagian marga-marga yang bertanggungjawab dalam pengelolaannya.
“Sumber daya alam ini telah dikelola secara tradisional, mencakup yang ada di darat, pesisir dan di laut. Jadi secara tradisional sudah ada zona inti dan pemanfaatan yang dilakukan secara yadup dan kadup,” lanjut Ramses.

Dalam sebuah laporan penelitian yang dilakukan di Kampung Menarbu, Distrik Roon. Widiastuti et al (2022) menyebut hasil analisisnya menyimpulkan sumberdaya ikan, habitat, ekosistem dan teknik penangkapan ikannya masih dalam kategori baik hingga sangat baik.
Ini bisa jadi gambaran lebih tentang pengelolaan ekosistem pulau secara keseluruhan, dimana pengelolaan perikanan secara tradisional seperti kadup turut berkontribusi dalam pengelolaan ekosistem perairan.
Jika dahulu aturan tradisional adat ini dilakukan secara aturan lisan, maka lewat fasilitasi dari LMMA, mereka coba mengangkat aturan itu ke tingkat kampung.
“Karena di Pulau Roon sekarang sudah ada pemerintah kampung, jadi kami masuk lewat pemerintah kampung, kami juga lakukan pendekatan juga dengan tokoh agama, dan tokoh adat. Sebenarnya, aturan-aturan ini sudah ada sejak turun-temurun, sekarang dibukukan.”

Aturan ini kemudian menjadi Peraturan Kepala Kampung (Perkam) Bersama Nomor 1 tahun 2024 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Darat, Pesisir, dan Laut di tujuh kampung yang disahkan oleh masing-masing Kepala Kampung pada tanggal 11 November 2024.
David yang ikut dalam prosesnya, menjelaskan diskusi dan musyawarah tidak memakan waktu lama. “Sekitar dua bulan waktu itu,” sebutnya. Kesamaan budaya dan praktik pengelolaan alam, membuatnya prosesnya bisa jadi cepat dan disetujui oleh warga.
Menurut David, aturan ini mengatur praktik warga untuk melindungi dan mengelola wilayah-wilayah perlindungan seperti kadup di tiap wilayah adat kampung. Apalagi masyarakat hidupnya tergantung kepada sumber daya alam yang ada di laut dan darat.
“Mata pencaharian masyarakat di Roon lebih banyak ke laut, seperti mencari ikan, lobster, lola, teripang. Kalau ada kapal masuk, bisa jual di pelabuhan. Kalau hasil kebun seperti kasbi, dan ubi-ubian itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri,” jelasnya.
Dalam dokumen setebal 60 halaman itu, tertera potensi sumber daya alam yang ada di darat, pesisir dan laut, sistem pengelolaannya dan perlindunganya secara rinci. Di pesisir dan laut dibagi menjadi kawasan zona inti, kawasan pemanfaatan terbatas dan kawasan pemanfaatan terbuka.

Juga diatur perihal sanksi bagi yang melanggar, baik orang lokal maupun pendatang. Denda yang diberlakukan yang tercantum bervariasi sesuai dengan pelanggaran yang dibuat.
Dalam juga ada sanksi bagi pelaku penebangan pohon tanpa izin, penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bom ikan oleh orang setempat maupun orang luar, perusakan biota laut seperti karang, hingga pengaturan kegiatan wisata agar tidak merusak ekosistem yang ada.
Isi dari perkam ini pun didukung oleh warga, karena memperjelas basis tradisi yang telah ada.
“Alam ini boleh kita gunakan, tapi yang seperti apa? Ada yang sebagian bisa kita ambil, sebagian ada yang perlu kita lindungi,” tutur Stevanus Betay, (62) tokoh adat kampung Syabes, sekaligus mantan Sekretaris Kampung tersebut.
“Kalau alam ini kita rusak semua bagaimana nanti dengan anak cucu ke depan ini? Kita perlu jaga alam, ambil saja seperlunya,” lanjutnya menjelaskan filosofi mengapa pentingnya perlindungan dan pemanfaatan alam di Pulau Roon.
Secara spesifik dia menunjuk batas-batas teritori yang ada di darat. Satu marga memiliki lokasi tertentu. Secara turun-temurun aturan itu berlaku dan diterapkan.

Perlu Dukungan Para Pihak
Kesepakatan Perkam ini diharapkan dapat mendorong pihak-pihak lain, termasuk pemerintah di tiingkat pemerintah daerah kabupaten, dinas-dinas terkait dan lembaga lai agar dapat semakin turut serta.
“Harapannya para pihak semakin dapat mendukung kami. Juga kami sebagai aparat kampung bertugas untuk menyosialisasikan hasil Perkam ini kepada masyarakat,” jelas Simon Wonemseba (47), Kepala Kampung Mena menjelaskan.
Dia menjelaskan bahwa Perkam dengan dasar aturan hukumnya akan mengikat ke warga. Apalagi larangan tertulis yang telah dibuat bisa jadi pegangan kuat. Simon berharap, dengan adanya Perkam ini, maka pengelolaan alam dapat dijaga, ekonomi warga juga dapat makin berkembang.
Simon pun bilang bahwa salah satu potensi ekonomi yang dapat dikembangkan ke depan di Mena adalah jasa ekowisata laut.
“Tiap tahun ada kapal yang singgah di sini, 3-4 kali, satu kali singgah bisa bawa 200-300 wisatawan mancanegara dari berbagai negara. Ini kan pasar,” lanjutnya.
Sejak tahun 2022, lewat alokasi dana desa, Simon dan warga kampung Mena telah membangun homestay untuk pengunjung. Dari pengamatannya, dengan makin regulernya transportasi laut, ada wisatawan yang mulai datang ke Mena dan mereka memerlukan akomodasi.
“Sekarang sudah muncul kesadaran, masyarakat tahu kalau ada turis akan hadir ekonomi. Mereka makin sadar untuk jaga alam. Ikan dan karang jangan di bom, karena orang ingin lihat keindahan wisata di sini. Ekowisata alam itu menjanjikan.”

Namun, jika warga telah mulai menyadari pentingnya jaga alam, tantangan terbesarnya muncul dari orang luar.
Hendrik bilang banyak kapal-kapal pencari ikan dari luar daerah yang masuk. Mereka datang dari tempat-tempat jauh, bahkan para pencari ikan dari Sulawesi.
“Mereka ambil dan curi ikan di perairan kami. Mereka pakai bom, lalu angkut ikan-ikan yang ada,” lanjutnya.
Seperti kejadian pengeboman yang pernah terjadi di Pulau Auri pada tahun 2019 yang juga bagian dari TN Teluk Cendrawasih. Enam pelakunya pun diproses hukum. Meski demikian, indikasi penangkapan ikan ilegal masih terus berjalan di perairan Teluk Wondama.
Hal ini tentu berlawanan dengan prinsip warga lokal, yang mengambil sumberdaya ikan seperlunya. Pemanfaatan sumber daya alam tidak pernah berlebihan dapat daya tangkap yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan.
“Ini memang jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan kedepannya, agar kelestarian alam dan peningkatan ekonomi dapat berdampingan,” pungkas Hendrik.
Referensi
Suroto, H., Mas’ud, Z., Sudarmika, G.M., Sendana, Y.A., Berlianty, M.T., Jentewo, Y.A., Mariay, D. (2019). Situs dan Tinggalan Arkeologi Kabupaten Teluk Wondama: Pulau Rumberpon dan Pulau Roon. Balai Arkeologi Papua & BP4D Kabupaten Teluk Wondama.
Putri, N.A., Widiastuti, N., Simatauw, F.F.C, Manohas, F., Jentewo, J.A., Sala, R., Pattiasina, T.F., Wayoi, M. (2022). Domain Habitat, Sumberdaya Ikan, dan Penangkapan Pada Pengelolaan Perikanan di Kampung Menarbu Kabupaten Teluk Wondama. Prosiding Seminar Nasional Ikan XI, Bogor, 21 Juni 2022. DOI: https://doi.org/10.32491/Semnasikan-MII-2022-p.292-304
Setelah Pernah Gagal, Kembali Menggantung Asa pada Budidaya Rumput Laut di Pulau Roon