- Kopi Arabika Bajawa memiliki aroma dan cita rasa khas, dengan tingkat keasaman seimbang.
- Kopi Arabika Bajawa merupakan sumber pendapatan masyarakat yang mendiami dataran tinggi Ngada, Flores, NTT. Dataran yang merupakan kawasan pertemuan dua lereng gunung api, yaitu Gunung Irene dan Gunung Abulobo.
- Dampak perubahan iklim sangat dirasakan petani kopi. Kondisi ini membuat panen tidak maksimal, karena cuaca yang tidak dapat diprediksi.
- Data BPS NTT menunjukkan, produksi kopi di perkebunan rakyat Kabupaten Ngada tahun 2021 sebanyak 2.502,4 ton. Tahun 2023 sebanyak 736,4 ton dan 2024 berjumlah 676,4 ton. Luas areal tanaman kopi sekitar 1.807,47 ha dengan tingkat produktivitas 600-1.000 kg/ha.
Jarum jam menunjukkan pukul 8.15 Wita, Senin (4/8/2025). Beberapa warga Desa Bewilali, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tampak sibuk menjemur kopi, kakao, dan cengkih di halanan rumah mereka. Warga kerap menggunakan terpal, karung plastik, dan tikar dari anyaman daun lontar (Borassus flabellifer) sebagai wadah menjemur.
“Cuaca sering tidak bersahabat dan sulit diprediksi. Terkadang panas, tak lama mendung dan berkabut,” ucap Yohanes Sugi. Mengenakan lipa (kain tenun lelaki asal Kabupaten Nagekeo), tangannya bergerak cepat merapikan tumpukan kopi, berpacu dengan cuaca.
Beiwali yang berada di ketinggian sekitar 1.400 m dpl, terdiri tiga kampung, yakni Beiposo, Warusoba, dan Likowali. Desa ini terbentuk pada 2000, yang sebelumnya menjadi bagian Desa Wawowae, Kecamatan Bajawa. Luasnya, sekitar 2.230 ha.
Philipus Ga’e, tetua adat Desa Beiwali, menyebutkan wilayahnya dihuni berbagai suku seperti Ngadaposo, Bawa, Ngadamanu, Ngada Anamanu, Lusi, Ngadarepu, Bena, Dizi, Naru, Rewu, Magi, Seso, dan Ngusu.
“Dulu, kampung lama berada di Gunung Ata Gae yang saat ini masuk kawasan Caar Alam Watu Ata. Masyarakat hidup dari hasil bertani seperti padi, jagung, dan ubi,” ucapnya.
Philipus mengatakan, di sebelah gunung ada hutan adat yang pepohonannya dibiarkan tumbuh. “Ada larangan menebang di kawasan ini.”

Kopi arabika lokal
Kebun kopi arabika (Coffea arabica) menyambut kehadiran kami, di selatan Dusun Beiposo. Pohon sengon (Albizia chinensis) dan beberapa saja jenis lokal beserta bambu menaungi kebun ini.
Rata rata, tinggi pohon kopi di sini sekitar 2-2,5 meter. Sebagian besar sudah dipanen, sehingga hanya tersisa beberapa biji dalam satu ranting.
“Orang tua kami mulai menanam kopi sejak 1968. Kopi langsung dijual ke tengkulak dengan harga maksimal Rp600,” terang Anselmus Menge, mantan Ketua Kelompok Tani Fa’a Masa.
Anselmus mulai menanam kopi tahun 2004, seluas 1,5 hektar. Ia bersama warga mulai antusias menanam setelah mendapat pelatihan, mulai pembibitan, penanaman, perawatan, hingga proses pascapanen. Harga kopi gelondong merah sontak melonjak, mencapai Rp.2.500 per kilogram.

Kondisi ini tak lepas dari perjuangan Bernadinus Dhey Ngebu, alumni sekolah pertanian di Yogyakarta. Dia menggandeng Dinas Perkebunan Kabupaten Ngada dan mendatangkan tim dari Puslit Kopi dan Kakao Jember.
“Saya menerapkan sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Petani merupakan subjek dengan pola plasma dan inti,” sebut Bernadinus.
Wakil Bupati Ngada 2024-2029 ini menyatukan petani menjadi kekuatan bersama dengan membentuk Fa’a Masa. Fa’a merupakan Bahasa Ngada artinya sejuk, sedangkan Masa adalah semua. Fa’a Masa artinya sejuk semua.
Awalnya, ini merupakan kelompok penghijauan. Bernadinus mengalihkan menjadi kelompok tani, agar bisa juga mengurus penghijauan. Di Desa Beiwali, jumlah petani kopi terdata 116 orang dengan luas lahan mencapai sekitar 200 ha.
“Saya berpikir, kalau kita melakukan penghijauan terus manfaatnya memang untuk orang banyak, tapi bagaimana kebutuhan hidup masyarakatnya,” ucapnya, di Kantor Bupati Ngada, Selasa (5/8/2025).
Bernadinus mendapat laporan bahwa petani menjual kopi dalam bentuk gelondong merah, belum diolah sama sekali. Pihaknya pun memperkenalkan alat-alat pengolahan hingga strategi pemasaran.
“Saya tetap konsisten dengan kopi varietas S795, kopi yang dulu dibawa misionaris ke Ngada. Kopi arabika ini oleh masyarakat disebut Wulu Kedi (daun kecil),” ungkapnya.

Jenis dari India ini mulai masuk ke Indonesia tahun 1970-an. Kopi Arabika Bajawa memiliki aroma dan cita rasa khas, dengan tingkat keasaman seimbang. Bernadinus mengatakan, varietas ini merupakan kopi lokal karena sudah ditanam turun-temurun.
“Kopi varietas baru umur produksinya lebih pendek.”
Anselmus berpendapat sama. Dia mulai kesulitan mencari bibit kopi lokal sejak akhir 1980-an. Kopi warisan orangtuanya, lebih tahan terhadap cuaca, dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan tahan serangan penyakit.
“Kopi lokal mulai hilang sejak petani menggunakan bahan kimia untuk mematikan.”
Mengutip Wikipedia, Kopi Bajawa merupakan varietas kopi arabika. Kopi Arabika Bajawa, sebutannya juga, merupakan sumber pendapatan masyarakat yang mendiami dataran tinggi Ngada, Flores. Dataran yang merupakan kawasan pertemuan dua lereng gunung api, yaitu Gunung Irene dan Gunung Abulobo. Kopi ini dibudidayakan pada ketinggian 1.200-1.800 m dpl dan ditanam di bawah naungan pepohonan.

Kawasan cagar alam
Sebagian besar kebun kopi warga Desa Beiwali berada di kawasan Cagar Alam Watu Ata. Luas cagar alam mencapai 4.898,80 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 432/KPTS-II/1992 tanggal 5 Mei 1992.
Tahun 2002, sempat terjadi konflik antara warga dengan pihak BBKSDA NTT dan aparat kepolisian. Melalui Perhimpunan Masyarakat Watu Ata (Permata), warga melakukan negosiasi dengan BKSDA serta pihak terkait, agar warga bisa mengelola lahan di kawasan cagar alam.
Hasilnya, tahun 2020 digelar sumpah adat yang diikuti petani dari 9 desa. Dari sini, lahirlah kesepakatan bersama. Warga tidak akan membuka lahan di zona inti (kala mae, hutan alam, dan mata air), membuka lahan baru, menguasai lahan tanpa pengolahan lahan (tada bheka), serta membakar hutan di kawasan Watu Ata.
Lahan dalam kawasan dilarang diperjual belikan, dilarang menebang pohon di zona inti, serta dilarang menangkap dan memperjualbelikan satwa dilindungi. Larangan melepas hewan berkeliaran dalam kawasan dan mengambil hasil dari kebun milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik kebun, juga berlaku.
“Kalau pohon yang kami tanam sendiri, boleh kami tebang. Tapi, harus ada izin dari pemerintah desa dan BKSDA NTT,” ungkap Anselmus.

Bernadinus menambahkan, sebagian besar kebun kopi warga Desa Beiwali masuk hutan lindung dan Cagar Alam Watu Ata. Meski begitu, warga taat pada sumpah adat serta tetap menjaga dan merawat kawasan hutan di wilayah cagar alam.
“Perlu kolaborasi dengan Kementerian Kehutanan untuk misalnya ada izin pinjam pakai, perhutanan sosial dan lainnya. Lahannya ditanami kopi namun tanah tetap milik pemerintah,” ucapnya.
Dia menyebutkan, dari sisi yang lain pemerintah perlu mengakui hak-hak adat masyarakat. Kampung dan kebun sudah lebih dulu ada sebelum penetapan cagar alam. Pemda Ngada minta review kawasan hutan dan cagar alam, yaitu digeser atau konsensi dengan tempat lain. Persentase hutan di Ngada 50,6 persen, sementara berdasarkan Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, luas hutan sekitar 30 persen luas kabupaten.
“Masih ada wilayah lain yang perlu kita konsesi, sehingga menjadi wilayah petani dan masyarakat adat untuk menanam kopi. Pohonnya punya petani tetapi tanahnya milik pemerintah,” ungkapnya.

Dampak perubahan iklim
Nela Ge’u, warga Beiposo, mengatakan pada 2024 hasil panennya dari dua kebunnya seluas satu hektar sekitar satu ton.
“Tahun ini, curah hujan tinggi sehingga hasil panen belum mencapai jumah yang sama.”
Sementara Anselmus, mengaku tahun 2024 produksi kopinya mencaai 1,3 ton. Tahun 2025 hingga pertengahan Agustus belum sampai 1 ton. Sejak 2018, panen kopi mulai berkurang karena terdampak perubahan iklim.
Dia mengenang, tahun 2016 petani kopi di Ngada mengekspor 233 ton kopi olah kering ke Amerika Serikat dengan nilai ekspor sekitar Rp14 miliar.
“Iklim sudah beda, sehingga hasil panen tidak maksimal. Cuaca kadang hujan tinggi disertai angin kencang,” ucapnya.
Data BPS NTT menunjukkan, produksi kopi di perkebunan rakyat Kabupaten Ngada tahun 2021 sebanyak 2.502,4 ton. Tahun 2023 sebanyak 736,4 ton dan 2024 berjumlah 676,4 ton. Luas areal tanaman kopi sekitar 1.807,47 ha dengan tingkat produktivitas 600-1.000 kg/ha.

Penelitian Syakir & Surmaini (2017) dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kemeterian Pertanian, berjudul “Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia” menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap tanaman kopi. Perubahan iklim berdampak terhadap penurunan kualitas dan produksi kopi. Meningkatnya suhu berdampak pada metabolisme tanaman seperti pembuangan, fotosintesis, dan respirrasi yang berpengaruh pada menurunnya produksi kopi.
Suhu udara di atas 23°C menyebabkan pembentukan dan pematangan buah lebih cepat sehingga kualitas kopi menurun. Sementara, suhu udara 30°C dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal seperti daun menguning. Suhu udara yang tinggi selama fase pembungaan menyebabkan gugur bunga.
“Perubahan iklim menurunkan produksi dan kualitas kopi serta meningkatkan serangan hama, terutama hama penggerek buah dan penyakit karat daun,” jelas riset yang diterbitkan di Jurnal Litbang Pertanian tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan ketidaksiapan petani kopi menghadapi dampak perubahan iklim dan terbatasnya akses informasi perkembangan iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan pengelolaan risiko.
“Petani kopi tidak terorganisasi baik, seperti petani padi yang telah memiliki kelompok tani. Pelatihan teknologi budidaya adaptif bagi petani kopi menghadapi perubahan iklim juga sangat terbatas.”

Ardin Liko, Ketua Koalisi KOPI (Koalisi Orang Muda untuk Perubahan Iklim), Kabupaten Ngada mengakui, dampak perubahan iklim sangat dirasakan petani kopi.
Penghijauan telah dilakukan di perbukitan, dekat kebun kopi. Edukasi petani mengenai larangan penggunaan pestisida dan herbisida kimia juga gencar dilakukan.
“Pestisida kimia berpotensi menurunkan kesuburan tanah dan mencemari air tanah. Penggunaan pestisida berlebihan dapat menyebabkan hama resisten sehingga dosisnya terus ditambah.”
Di beberapa kesempatan, KOPI selalu sharing dan diskusi terkait pemakaian pupuk kimia. Ini juga mempengaruhi tingkat produktivitas kopi dan juga tidak bagus untuk tanah.
“Lingkungan ini bagian yang tidak terpisahkan dari kita. Ada suatu saat lingkungan marah ketika hukum rantai makanan dan lainnya buruk. Juga ada kemampuan lingkungan, baik internal maupun eksternal, untuk mempertahankan kondisi yang stabil atau seimbang, meskipun ada perubahan atau gangguan.”
Bernadinus mengingatkan, keseimbangan antara jaringan makanan, unsur primer, makro dan sekunder harus dijaga. Jangan sampai tanah menjadi tidak subur akibat pengelolaan yang tidak tepat.
“Kita harus banyak belajar dari alam, yang memberikan keseimbangan pada kita,” pungkasnya.
Referensi:
Syakir, M., & Surmaini, E. 2017. Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 36(2), 77-90.
*****