- Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di kapal perikanan terus terjadi di sektor kelautan hingga kini. Penyebabnya, antara lain tumpang tindih kewenangan, seperti kewenangan penerbitan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) atau surat izin usaha keagenan awak kapal (SIUKAK) pada Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
- Nasib awak kapal perikanan (AKP) migran menjadi perhatian, karena mereka sangat rentan masuk ke dalam praktik eksploitasi yang bisa memicu terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tanpa kejelasan status, gaji layak, dan keselamatan menjadi ancaman yang harus dihadapi
- Di sisi lain, persoalan tumpang tindih kewenangan juga masih terus menghantui upaya mewujudkan perlindungan penuh kepada AKP migran. Itu bisa memperbesar peluang mereka menjadi korban TPPO
- Agar tata kelola bisa diperbaiki dan nasib AKP migran menjadi lebih baik, Pemerintah wajib menata seluruh aturan yang berlaku. Demikian juga dengan kementerian/lembaga yang terlibat, perlu ditata kembali, termasuk kewenangan yang mereka dapatkan.
Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di kapal perikanan terus terjadi di sektor kelautan hingga kini. Penyebabnya, antara lain tumpang tindih kewenangan, seperti kewenangan penerbitan surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) atau surat izin usaha keagenan awak kapal (SIUKAK) pada Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengatakan, izin penempatan dan perlindungan AKP seharusnya menjadi wewenang Kementerian Perlindunagn Pekerja Migran Indonesia/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI/BP2MI). Dia pun menyebut kewenangan penerbitan izin oleh Kemenhub adalah salah kaprah.
Dia bilang, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pelaut migran adalah pekerja migran. Putusan itu, seharusnya menjadi jalan terang perbaikan tata kelola awak kapal perikanan (AKP).
Dia pun mendorong perubahan tata kelola dalam perlindungan pekerja migran, termasuk peralihan kewenangan penerbitan izin dari Kemenhub ke KP2MI/BP2MI. “Tanpa itu, sulit rasanya TPPO yang dijalankan secara terstruktur dan terorganisir dapat diberantas,” katanya kepada Mongabay.
Sepanjang 2024, ada 70 kasus AKP migran masuk ke SBMI. “Jumlah itu menjadi bagian dari total 196 kasus AKP yang terjerat dalam situasi kerja paksa,” katanya.
Dari jumlah tersebut, 22 masuk ke kepolisian sepanjang 2014- 2025, meski tak mencapai progress menggembirakan.
Bagi Hariyanto, negara tak pernah serius menuntaskan berbagai laporan terkait dugaan TPPO para AKP. Terbukti, dari beberapa laporan yang masuk ke kepolisian, sebagian telah berusia hampir satu dekade dan terancam kadaluarsa.
Kuatkan perlindungan dengan aturan
SBMI mendesak, pemerintah dan DPR segera mengakomodir hak-hak korban seperti tertuang dalam Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang berorientasi terhadap pemenuhan hak, kebutuhan perlindungan, peran korban dalam sistem peradilan pidana.
Dia juga mendorong kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Mahkamah Agung (MA) menyusun dan menerbitkan peraturan/panduan bersama penanganan kasus TPPO pekerja migran. Salah satu poin penting dari panduan ini adalah penggunaan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO, dan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
SBMI juga mendesak, pemerintah segera merevisi UU 21/2007, menyesuaikan unsur utama TPPO sesuai Protokol Palermo, memperkuat hak korban, terutama menambahkan mekanisme kompensasi dan dana bantuan korban bagi korban TPPO.
Selain itu, menjamin perlindungan hukum korban upaya balasan, non penghukuman, serta melindungi pendamping, paralegal, dan advokat yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban TPPO.
SBMI juga meminta kepolisian mengembangkan dan mendirikan Direktorat TPPO di seluruh jajaran kepolisian tingkat daerah. Demikian juga pemerintah, harus memperkuat Gugus Tugas TPPO di semua tingkat, termasuk memastikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO.

Respons Komnas HAM
Anis Hidayah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan, pada prinsipnya, negara harus melindungi hak asasi warga secara penuh, sebagaimana dokumen general comment nomor 38 yang Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) terbitkan tahun 2020.
Dokumen itu memberi panduan kepada negara-negara di seluruh dunia yang ingin melakukan pencegahan dan mengatasi perdagangan perempuan dan anak perempuan, sekaligus melindungi hak-hak mereka.
Berdasarkan dokumen itu, negara memiliki empat tugas pokok perlindungan, mencakup identifikasi korban, pendampingan dan perlindungan korban, akses keadilan bagi korban, serta pemulihan.
Menurut Anis, dari empat tugas itu, upaya perlindungan oleh negara baru terbatas pada poin satu dan dua. Sementara, poin tiga dan empat belum terwujud.
Sampai saat ini, katanya, sistem peradilan Indonesia masih fokus pada perburuan pelaku lapangan atau pererkut dalam setiap kasus TPPO. Sementara korporasi atau aktor lain yang terlibat seringkali kabur.
Implementasi Peraturan Menteri Perhubungan No 84/2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, juga belum berjalan maksimal. Kendati Pasal 11 permen itu menugaskan agen bertanggung jawab pada AKP sejak penempatan hingga kmebali pulang, praktiknya, kewajiban itu kerap terabaikan.
Pantauan Anis, penandatanganan PKL antara AKP dan agen kerap berlangsung dengan waktu terbatas, bahkan di bandar udara (bandara) sebelum terbang ke negara tujuan. Keterbatasan itu membuat AKP tidak memiliki waktu banyak untuk mempelajari isi PKL.
“Tak jarang dokumen-dokumen pribadi ABK ditahan oleh agen. Hal-hal yang seperti ini yang membuat ABK (anak buah kapal) rentan mengalami eksploitasi selama bekerja,” kata pendiri Migran Care ini.

Empat aktor utama
Siti Wahyatun, Pengacara Publik dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengatakan, eksploitasi AKP acapkali berlangsung terstruktur dan sistemik. Modusnya, mengiming-imingi para calon korban dengan gaji besar dan ditempatkan di tempat sementara seperti mes. Sedang mereka tidak pernah tahu jenis kapal ikan tempat mereka bekerja, dan untuk berapa lama berlayar.
Praktik kerja eksploitatif biasanya terjadi di atas kapal dengan jam kerja harian, tanpa waktu istiraha dan akses makanan memadai. Praktik itu bisa terjadi, karena ada keterlibatan empat aktor utama, yaitu pemilik kapal, calo, nakhoda/kapten kapal, dan oknum aparat. Biasanya, calo akan berperan sebagai penguasa saat proses perekrutan, dan kapten kapal berkusa di atas kapal.
Wahyatun akui, penanganan kasus TPPO AKP migran memang bukan perkara mudah. Terutama, karena ada hal-hal yang tidak bisa dicegah, seperti praktik intimidasi kepada korban yang potensial dilakukan oleh oknum aparat keamanan.
Karena itu, perlu ada pendekatan multi cabang dengan melibatkan peraturan pemerintah, akuntabilitas industri, dan pemberdayaan pekerja. Tantangan lainnya, bukti yang kurang, kelambatan kementerian/lembaga (K/L) terkait.
Shafira Ayunindya, National Programme Officer untuk Bidang Mobilitas Pekerja dan Inklusi Sosial Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mengatakan, sistem pendampingan yang utuh, fisik, psikologis, dan hukum menjadi sangat penting untuk korban TPPO. Proses hukum yang transparan, tidak tebang pilih, termasuk kepada korporasi akan efektif memberantas praktik TPPO.
Firman Efendi, mantap AKP migran, membagikan kisahnya dalam sebuah acara yang digelar DFW Indonesia. Dia pernah bekerja di atas kapal perikanan melalui perekrutan calo, meski saat itu usianya masih di bawah umur.
Saat itu, calon palsukan identitasnya, mencakup Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga. Lewat proses yang sama melalui sosial media, dia juga dijanjikan gaji Rp5 juta per bulan, tanpa tahu nama kapal tempat dia dipekerjakan.
Dia baru menyadari ada yang tak beres saat pertama kali berlayar selama 14 bulan. Janji upah Rp5 juta per bulan hanya terbayar Rp500.000 per bulan.
Mirisnya lagi, akses terhadap makanan yang cukup juga tidak didapatnya. Satu masa, dia terpaksa harus minum dari air tetesan pendingin ruangan (AC), karena air minum tidak ada.
*****
Awak Kapal Migran Indonesia Masih Alami Kerja Paksa, Apa Langkah Pemerintah?