- Sejak bahan bakar minyak (BBM) jenis BB Tertentu (BBT) atau solar yang mendapatkan subsidi dari pemerintah mengalami kenaikan pada 2022, nelayan skala kecil dan tradisional secara perlahan mulai mendapatkan tambahan masalah
- Selain harga yang membengkak dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, nelayan juga masih menemui kesulitan untuk mengakses BBM bersubsidi. Padahal, mereka biasa menghabiskan antara 5 hingga 30 liter untuk sekali melaut
- Kenaikan harga yang membuat nelayan harus merogoh kocek lebih dalam hingga mencapai kisaran Rp2 juta per bulan itu, mengharuskan mereka untuk bersiasat dengan mengurangi intensitas menangkap ikan hingga lima kali
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berusaha mencari solusi yang tepat untuk mengatasi kesulitan akses BBM bersubsidi bagi nelayan. Salah satunya, bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN)
Bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi elemen utama untuk menangkap ikan oleh para nelayan. Mereka biasa menggunakan BBM jenis Bahan Bakar Tertentu (BBT) atau solar untuk kelancaran aktivitas di atas perahu selama di laut. Bahkan, sekitar 65% biaya produksi berasan dari komponen ini.
Sayangnya, tidak semua nelayan bisa membeli solar dengan mudah. Terutama, nelayan kecil atau tradisional. Berdasar data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan tradisional pada 2022 mencapai 2.401.540 orang, angka itu setara dengan 85% nelayan Indonesia. Itulah mengapa, setiap kenaikan harga BBM akan berdampak terhadap nasib nelayan.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengatakan, nelayan kecil menjadi salah satu pihak paling terdampak tatkala harga BBM naik. Pada 2022 misal, ketika harga BBM naik, Nilai Tukar Nelayan (NTN) menurun. Situasi itu berlangsung hingga saat ini.
Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi untuk Pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan, subsidi diberikan kepada kapal kurang dari 5 gros ton (GT) atau 5-30 GT.
Lukman Haekal, Manajer Hak Asasi Manusia DFW Indonesia mengatakan, regulasi memang memberi ruang pemberian subsidi bagi para nelayan kecil. Masalahnya, nelayan sulit mendapatkannya. Hal itu terungkap dari survei terhadap 184 nelayan kecil di Kabupaten Kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (Maluku), Denpasar (Bali), Baubau (Sulawesi Tenggara), Bitung (Sulawesi Utara), Pekalongan (Jawa Tengah), dan Jakarta Utara (DKI Jakarta).
Haekal katakan, para responden merupakan nelayan kecil ukuran kapal kurang dari 6 GT dan sudah menangkap ikan di laut dengan periode antara 16-20 tahun. Sebanyak 66,3% responden mengaku tak menerima BBM subsidi. Sebaliknya, mereka harus membeli melalui jalur pengecer atau pihak penengah lain.
“Hanya sekitar 25% responden yang membeli di SPBU Khusus Nelayan atau SPBUN,” terangnya.
Para nelayan mengaku mengetahui keberadaan SPBUN. Akan tetapi, mereka tak tahu berapa banyak stok BBM subsidi yang tersedia. Mereka bahkan kerap tak menemukan stok BBM subsidi sama sekali saat datang ke SPBUN.
“Kalau pun ada, jumlahnya tak cukup untuk melaut sebulan. Kondisi itu membuat nelayan harus berhemat untuk mengurangi intensitas melaut,” jelas Haekal.
Dalam sebulan, nelayan akan menggunakan kapalnya untuk menangkap ikan antara 21-25 kali, dengan kebutuhan BBM antara 5-30 liter sekali jalan. Namun, karena BBM yang didapat terbatas, nelayan terpaksa mengurangi frekuensi melaut hingga lima kali sebulan, yang itu berarti mengurangi pendapatan mereka.
“41,8% responden seperti itu, dan 75% responden menyebut BBM subsidi tidak cukup,” paparnya.

SPUBN terbatas
Terbatasnya BBM bersubsidi menjadikan antrean nelayan di SPBUN acapkali mengular. Hal itu jadikan nelayan memilih jalur pintas ke pengecer ketimbang mengantre hingga berjam-jam. Di tengah situasi itu, mereka harus menerima kenyataan pahit akan naiknya harga solar sejak 2022.
Sebelum naik, mereka biasa membayar sebesar Rp5.150 per liter. “Namun sejak tiga tahun lalu mereka harus membayar Rp6.800 per liter. Itu juga sangat menyulitkan nelayan,” ucap Haekal. Kenaikan itu sebabkan nelayan harus keluarkan uang sedikitnya Rp2 juta per bulan untuk biaya pembelian BBM. Bagi mereka yang penghasilannya tak menentu, jumlah itu cukup besar.
Masalah lainnya, banyak nelayan kecil yang tak mengerti alur cara mengakses BBM subsidi. Di saat yang sama, mereka juga harus berhadapan dengan nelayan besar untuk mengaksesnya.
“BBM subsidi dinilai oleh responden masih belum adil terhadap nelayan kecil,” sebutnya.
Haekal meminta pemerintah membenahi ketimbangan ini. Misalnya, dengan meningkatkan peran koperasi atau kelompok nelayan untuk mengatasi persoalan akses distribusi BBM subsidi oleh nelayan kecil. Sayangnya, banyak nelayan yang belum bergabung ke koperasi atau kelompok nelayan.
Niko Amrullah, Ketua Bidang Kebijakan DPP KNTI mengakui kalau kebocoran solar subsidi jamak terjadi di sektor perikanan. Penerapan kode batang untuk mengaksesnya, justru kian memperparah praktik lancung tersebut. “Itu memperparah solar semakin berkurang,” jelasnya.

Tolak syarat VMS
KNTI usulkan ke pemerintah untuk tidak jadikan alat Sistem Pemantauan Kapal (VMS) sebagai syarat penerbitan Standar Laik Operasi (SLO) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Dia mendorong agar syarat tersebut hanya berlaku untuk kapal-kapal di atas 30 GT.
Sugeng Nugroho, Wakil Ketua Umum KNTI mengatakan kalau syarat pemasangan VMS akan menghambat para nelayan untuk mendapatkan subsidi BBM. Itu sudah terjadi pada sejumlah nelayan di Rembang, Jawa Tengah.
Di sana, nelayan tidak bisa memperpanjang BBM bersubsidi karena tidak ada VMS pada kapal. Para nelayan pun mencari cara agar bisa tetap bertahan di tengah kondisi ekonomi yang tak stabil.
Selain itu, syarat tersebut juga dinilai tidak tepat secara hukum. Sebab, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM juga tidak mengatur tentang syarat penggunaan VMS untuk calon penerima subsidi BBM.
Alih-alih, lanjut Sugeng, kebijakan itu justru berpotensi melanggar prinsip perlindungan nelayan, sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Pada Pasal 4 UU tersebut menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan kemudahan akses terhadap BBM bersubsidi dan menjamin keberlanjutan usaha nelayan.
Terakhir, persyaratan VMS tidak tepat karena nelayan kecil rentan secara ekonomi dan harus terbebani membeli VMS seharga Rp15-20 juta. Itu belum termasuk biaya operasional tahunan sekitar Rp6 juta.

Perbaiki distribusi
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI menyebut kalau perikanan skala kecil seringkali terabaikan dalam rantai pasok produksi pangan, meski peranannya sangat penting. Di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, sektor perikanan bergantung pada perikanan skala kecil.
Bentuk pengabaian itu terlihat dari pengelolaan sumber daya, riset-riset mengenai sistem pangan, dan pengembangan kebijakan yang kurang mendukung perikanan kecil. Padahal, pada skala global, sektor ini menghasilkan nilai tangkapan hingga USD36,9 juta atau setara dengan 40% total produksi perikanan tangkap dunia.
“Asia adalah kawasan dengan kontribusi terbesar untuk tangkapan perikanan skala kecil selama periode 2013-2017, yaitu 64% atau 23,4 juta ton dari total produksi global,” papar Dani dalam “Rembuk Pangan Pesisir 2024: Suara Nelayan untuk Kedaulatan Pangan” belum lama ini.
Trian Yunanda, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, memastikan untuk mencari solusi terkait sulitnya akses BBM bersubsidi oleh nelayan kecil. Termasuk, memperbaiki sistem distribusi dengan membangun SPBUN melalui kerja sama dengan swasta.
*****