- Sally, orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) Agustus lalu pindah rumah setelah berada di Pusat Rehabilitasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja Lestari di Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, lebih 10 tahun.
- Orangutan betina ini sudah memiliki keterampilan membuat sarang dan mencari pakan alami. Para pengasuh dan dokter hewan yang mengobservasinya, memutuskan untuk memindahkan Sally ke pulau pra-rilis bernama Juq Kehje Sewen di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.
- Sedikitnya, 35-40 orangutan BKSDA Kalimantan Timur evakuasi sepanjang 2025. Rerata kasus mereka, terpinggirkan karena fragmentasi habitat. Ari Wibawanto, Kepala BKSDA Kaltim kepada Mongabay, mengatakan, Kutim salah satu lokasi metapopulasi tertinggi orangutan Kalimantan.
- Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), mengatakan, upaya penyelamatan orangutan, tak bisa hitam dan putih. Apalagi, ketika habitat dalam kuasa perusahaan. Pendekatan BOSF, katanya, upaya konservasi bersama dengan menggandeng pelaku usaha pemegang konsesi.
Sally, orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) awal September lalu pindah rumah setelah berada di Pusat Rehabilitasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja Lestari di Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, lebih 10 tahun.
Orangutan betina ini sudah memiliki keterampilan membuat sarang dan mencari pakan alami. Para pengasuh dan dokter hewan yang mengobservasinya, memutuskan untuk memindahkan Sally ke pulau pra-rilis bernama Juq Kehje Sewen di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
“Pasca Sally tambal gigi, langsung kita taruh di kandang karantina rilis di Kandang Sosial A. Sambil menunggu kabar dari teman-teman di Juq,” kata Aluna, salah satu pengasuh Sally di Samboja Lestari.
Sally adalah salah satu orangutan yang BKSDA evakuasi karena manusia pelihara saat usia sekitar satu tahun selama tiga tahun.
Orangutan yang kini berusia 15 tahun ini masuk pusat rehabilitasi pada 10 Oktober 2014, saat usia sekitar 3-4 tahun.
Siang itu, saat persiapan menuju rumah baru, dari kandang transportasi, Sally menghamburkan pandangan ke semua manusia yang mendekatinya. Sambil sesekali mengunyah pakan.
Tepat pukul 14.00 WITA, kendaraan bertuliskan “Orangutan Warrior” yang membawa Sally itu meninggalkan BOSF di Samboja. Cuaca sedikit berawan dan sempat hujan. Namun cuaca kembali cerah berawan setelah melewati Kota Samarinda.
Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 pagi, Sally keluar dari kandang transportasi di Juq Kehje Sewen. Dia langsung mengambil buah-buahan yang para pengasuh dan pendamping sediakan di feeding platform.
BOSF akan terus observasi Sally dengan bantuan PT Nusaraya Agro Sawit (NAS), perusahaan perkebunan sawit sebagai pemegang konsesi di lahan pra-rilis itu sampai orangutan ini siap lepas liar di Hutan Kehje Sewen, tak jauh dari pulau itu.

Juq Kehje Sewen ,dalam bahasa Wehea berarti Pulau Orangutan. Hutan bagian dari HGU anak usaha Palma Serasih Group ini seluas 81,25 hektar.
“Transit forest itu kerja sama dengan BOSF untuk pra-rilis (orangutan). Dulu, start-nya 2017. Ibaratnya seperti habituasi. Jadi, dimonitor di sini perkembangan (orangutan) seperti apa. Apakah sudah layak dilepaskan di tempat pelepasliaran. Di sini statusnya pra lepasliar,” kata Mas’ud Adzanudin Ashari, Sustainability and Certification Specialist Palma Serasih .
Palma Serasih Group memiliki konsesi sekitar 58.000 hektar, termasuk areal kosong (cadangan) yang belum ada sawit.
Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), berpandangan, upaya penyelamatan orangutan, tak bisa hitam dan putih.
Apalagi, ketika habitat dalam kuasa perusahaan. Pendekatan BOSF, katanya, melakukan konservasi bersama dengan menggandeng pelaku usaha pemegang konsesi.
“Di tempat itu ada masalah orangutan. Mau nggak jadi bagian dari solusi? Kalau mau, bolehkah sebelum kau buka lahan, kau harus menerapkan best management practice. Bukan mengatakan mereka nggak boleh buka lahan. Karena izin membuka lahan atau tak membuka lahan itu bukan di domain kita,” kata Jamartin ketika Mongabay wawancarai secara online.
Penetapan Juq Kehje Sewen, katanya, juga berdasarkan rekomendasi BOSF. Dari hasil survei menemukan pakan orangutan memadai dan karakteristik serupa dengan kawasan lepasliar BOSF.
“Bukan BOSF yang punya itu. Kami cuma minjam arealnya saja. Areal itu selama masih kerja sama dan masih bersepakat bersama. Itu nggak boleh dibuka jadi areal sawit.”
Namun, katanya, lokasi itu bukanlah opsi utama tetapi pilihan lanjutan ketika upaya mempertahankan habitat sudah tak bisa dilakukan karena izin pemanfaatan kawasan telah pemerintah berikan kepada industri.
Jamartin bilang, hampir 70% orangutan hidup di luar kawasan lindung. Ada di hutan produksi bahkan di areal penggunaan lain (APL). Benturan yang terjadi antara bisnis dan konservasi, katanya, coba tangani dengan mencari jalan keluar bersama.

Habitat tergerus
Sedikitnya, 35-40 orangutan BKSDA Kalimantan Timur evakuasi sepanjang 2025. Rerata kasus mereka, terpinggirkan karena fragmentasi habitat.
“Sebagian besar memang di daerah Kutim (Kutai Timur),” kata Ari Wibawanto, Kepala BKSDA Kaltim kepada Mongabay.
Dia bilang, Kutim salah satu lokasi metapopulasi tertinggi orangutan Kalimantan. Namun, dia berdalih, keterancaman orangutan karena fragmentasi habitat itu tak terlalu tinggi, meski terdapat titik-titik yang menjadi perhatian khusus.
“Sebetulnya tidak terlalu tinggi, karena masih ada beberapa (lokasi alami). Memang ada beberapa lokasi yang perlu kita antisipasi. Kalau mereka (orangutan) tinggal di sana karena fragmentasi atau terisolir, tidak bisa ke mana-mana lagi. Lokasinya rawan, memang harus kita evakuasi. Tapi tidak terlalu banyak.”
Menurut Ari, penyelamatan 40 orangutan masih cukup kecil. “Kalau misal begitu banyaknya, tidak mungkin 40, pasti lebih dari 40. Ini hanya beberapa lokasi saja,” katanya.
Dia bilang, ketika wilayah jelajah orangutan menyempit, BKSDA juga upaya penyelamatan dan menempatkan kembali pada lokasi yang tepat.
Termasuk melalui Instruksi Presiden Nomor 1/2023, tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati Dalam Pembangunan Keberlanjutan.
“Itu diwajibkan semua lembaga, semua privat sektor harus tetap memperhatikan. Upaya konservasi terhadap satwa liar. Di manapun itu. Jadi ini sudah cukup jelas.”

Dia berdalih, fragmentasi habitat orangutan menjadi pertambangan dan perkebunan sawit bukan ancaman justru menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Ari beralasan, negara juga membutuhkan sumber daya alam lain, seperti batubara, sawit, dan upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sektor lain.
“Karena, jujur saja, bahwa kita juga negara yang membutuhkan sumber daya lainnya. Tidak hanya mengurusi terkait dengan orangutan, juga mengurusi manusianya, masyarakat dan lain-lain,” katanya, melalui sambungan telepon.
Seharusnya, kata Ari, manusia dan alam, bisa hidup berdampingan. Hingga, pembangunan bisa tetap berjalan, namun lingkungan tetap jadi perhatian.
“Misalkan kita melakukan konservasi orangutan terpadu. Di situ ada orang, ada tambang, ada sawit, ada HPH (hak pengusahaan hutan), ada masyarakat. Ini dalam satu landscape. Karena mereka akan terikat satu dengan yang lain. Ada interaksi antara mereka itu.”
Bahkan, katanya, orangutan akan hidup secara berpindah. Misal saja, jika ada pembukaan lahan untuk tambang, orangutan akan berpindah ke perkebunan sawit, maupun ke HPH atau HTI.
“Jadi, kita tidak hanya melihat dari satu privat sektor atau dari satu subjek, tapi kita melihat dari beberapa subjek yang menurut kita ini akan saling keterkaitan.”

Moratorium sawit
Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi menekankan, upaya konservasi yang industri sawit jalankan dengan memanfaatkan HGU sebagai pulau prarilis orangutan ini jangan sampai mengaburkan fakta bahwa ekspansi perkebunan sawit antara lain penyebab terpinggirnya orangutan.
“Langkah seperti penyediaan pulau pra lepas liar ini tidak boleh jadi legitimasi untuk menutupi kerusakan yang lebih besar. Jangan sampai, konservasi ini hanya jadi sebagai simbol atau branding. Sisi lain, masih ada praktik merusak habitat orangutan,” kata Icy, sapaan akrabnya.
Temuan dari Center for Orangutan Protection (COP) pada 2016, Palma Serasih Group adalah aktor lama yang pernah terbukti melakukan fragmentasi kawasan hutan dan menyebabkan belasan orangutan terkurung dalam konsesi PT Anugerah Energitama.
“Ini menandakan masih ada risiko lingkungan dan sosial yang belum dipahami. COP juga membuka, bahwa sebelum terjadi pembukaan lahan, kawasan itu merupakan kawasan bernilai konservasi tinggi.”
Icy bilang, orangutan ini punya home range atau wilayah jelajah luas. Untuk orangutan betina bisa mencapai 200-500 hektar dan jantan sampai 2.000 hektar.
Wilayah sebaran itu, katanya, tidak hanya mencakup habitat inti tempat mereka tinggal, juga area-area yang satwa lintasi ketika mereka mencari pasangan, atau mencari makan, atau berpindah antarhabitat.
Jalur perlintasan ini bagai urat nadi orangutan. Kalau terputus, akan mengisolasi populasi orangutan di satu tempat dan keberlangsungan hidup terancam.
“Dalam jangka panjang, itu akan menimbulkan inbreeding population atau perkembangbiakan itu hanya terjadi di dalam satu populasi itu saja. Itu akan menimbulkan kecacatan dalam kedepannya (generasi selanjutnya).”
Menurut dia, solusi untuk menekan fragmentasi habitat orangutan di Kutai Timur dan lokasi lain yang bersinggungan dengan konsesi perkebunan sawit, adalah penghentian sementara izin (moratorium) sawit.
Kebijakan ini, katanya, makin penting untuk menghentikan ekspansi sawit yang tidak terkendali. Upaya ini juga bisa memastikan praktik keberlanjutan dan menciptakan tata kelola yang adil dan transparan.
“Dengan menahan pembukaan lahan baru, Indonesia memiliki kesempatan memperbaiki tata kelola lahan dan mengevaluasi izin-izin yang tumpang tindih,” katanya, seraya bilang, izin-izin konsesi perusahaan masih banyak tumpang tindih dengan habitat orangutan.
Dia mendesak, perusahaan berkomitmen penuh pada kebijakan tanpa deforestasi atau kebijakan no deforestation, no peat, and no exploitation (NDPE). Perusahaan, katanya, harus transparan dalam implementasinya dan membuka ruang bagi pemantau independen.
Sebelumnya, Koalisi Moratorium Sawit menyatakan, dampak kebijakan moratorium sawit, bisa menciptakan kontribusi ekonomi signifikan sampai tahun 2045, daripada tak ada kebijakan malah menunjukkan dampak ekonomi sebaliknya.
“Malah menurun pendapatan ekonomi negara. Hutan itu ada manfaat ekonomi yang bisa dikuantifikasikan, yang bisa dihitung.”

*****