- Industri aluminium merupakan penyumbang emisi terbesar kedua dalam sektor logam dan mineral global setelah baja, dengan kontribusi sekitar 10% dari total emisi sektor itu. Dari emisi sektor logam dan mineral sekitar 7,2 giga ton setara karbon dioksida (GtCO₂e) pada 2023, industri aluminium setidaknya hasilkan 720 metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO₂e) per tahun.
- Abdurrahman Arum, Direktur Transisi Bersih mengatakan, melalui hilirisasi alumunium, pemerintah harapkan dapat memperkuat nilai tambah domestik, meningkatkan pendapatan negara, dan memperluas kesempatan kerja. Satu sisi, program hilirisasi alumunium masih pakai batubara sebagai sumber energi utama hingga menyebabkan kenaikan emisi Indonesia secara signifikan.
- Katherine Hasan, Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengatakan, ketergantungan industri aluminium di Indonesia saat ini pada batubara masih relatif kecil tetapi ada kemungkinan kenaikan mencapai 2,6 gigawatt.
- Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengatakan, PLTA bisa jadi terobosan sumber energi industri aluminium. Meski potensi energi air tinggi, tetapi permasalahannya, tidak semua aliran air atau sungai dapat memenuhi kebutuhan energi industri aluminium. Masalah lain, soal daya saing dengan batubara. Pemerintah Indonesia, masih mengistimewakan batubara ketimbang energi air.
Industri aluminium merupakan penyumbang emisi terbesar kedua dalam sektor logam dan mineral global setelah baja, dengan kontribusi sekitar 10% dari total emisi sektor itu. Dari emisi sektor logam dan mineral sekitar 7,2 giga ton setara karbon dioksida (GtCO₂e) pada 2023, industri aluminium setidaknya hasilkan 720 metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO₂e) per tahun.
Dengan cadangan bauksit 2,8 miliar ton atau 10% dari cadangan global, Indonesia masuk empat besar dunia. Dari sisi produksi, dengan 32 juta ton bijih bauksit pada 2024, Indonesia masuk lima besar produsen bauksit dunia.
Abdurrahman Arum, Direktur Transisi Bersih mengatakan, melalui hilirisasi alumunium, pemerintah harapkan dapat memperkuat nilai tambah domestik, meningkatkan pendapatan negara, dan memperluas kesempatan kerja.
Satu sisi, katanya, program hilirisasi alumunium masih pakai batubara sebagai sumber energi utama hingga menyebabkan kenaikan emisi Indonesia secara signifikan.
“Pemerintah perlu membuat rencana komprehensif perihal dekarbonisasi hilirisasi aluminium. Sehingga, program hilirisasi tidak menghambat upaya dekarbonisasi dan Indonesia bebas emisi 2060,” katanya dalam peluncuran laporan Strategi Dekarbonisasi Hilirisasi Aluminium: Mendorong Transisi yang Adil dan Kompetitif, Juli lalu.
Dia ingatkan, Uni Eropa akan resmi menerapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM) pada 2026, dan aluminium termasuk dalam sektor prioritas.
Negara pengimpor seperti Jerman dan Prancis, akan mengenakan tarif karbon pada produk dengan jejak emisi tinggi. Juga, akan jadi pukulan bagi produsen yang masih menggunakan energi kotor seperti batubara.
“Indonesia perlu strategi dikarbonisasi yang tepat agar bisa beradaptasi dengan tren pasar aluminium global,” katanya.
Abdurrahman bilang, biaya produksi aluminium primer di Indonesia, terutama PT Inalum, termasuk dalam kuadran pertama cost curve global, setara pemain utama dunia.
“Ini memberi ruang bagi pemerintah untuk menghentikan tax holiday yang selama ini justru menggerus penerimaan negara dan menimbulkan tuduhan dumping.”
Juga, melarang pembangunan PLTU captive berbahan bakar batubara untuk smelter aluminium baru dan menaikkan standar environmental, social, and governance (ESG) secara bertahap, termasuk kesejahteraan tenaga kerja dan transisi energi.
Abdurrahman juga menekankan pentingnya fokus pada teknologi yang terbukti teknis dan komersial, seperti pemanfaatan energi terbarukan dari energi matahari
“Lalu, penggunaan aluminium daur ulang, yang hanya membutuhkan 5% energi dibanding aluminium primer dan optimalisasi digital dan predictive maintenance, yang menurunkan downtime dan biaya pemeliharaan.”
Pemerintah, katanya, telah menghentikan ekspor bauksit sejak 2023, mendorong pembangunan fasilitas refining dan smelting dalam negeri. Namun, hilirisasi semata tidak cukup kalau produksi masih bergantung pada batubara.
“Kita sedang menambah nilai dari sisi industri. Tapi pasar global juga menuntut nilai dari sisi lingkungan. Tanpa green value, produk Indonesia akan kesulitan masuk pasar premium.”

Booming alumunium, kenaikan batubara?
Katherine Hasan, Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengatakan, ketergantungan industri aluminium di Indonesia saat ini pada batubara masih relatif kecil tetapi ada kemungkinan kenaikan mencapai 2,6 gigawatt.
Dia contohkan, ada perusahaan alumunium, seperti, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) misal, yang gunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai sumber energi.
“Yang masih menggunakan PLTU itu ada di Kalimantan Barat dan Riau. Industri alumunium tak sepenuhnya bergantung batubara,” katanya.
Meski begitu, berdasarkan laporan Bloomberg, sejumlah perusahaan seperti Tsingshan Holding Group milik taipan Xiang Guangda, China Hongqiao Group Ltd, dan Shandong Nanshan Aluminum milik Song Jianbo mulai mengalihkan fokus ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Mereka menggelontorkan dana besar untuk pembangunan smelter dan pabrik pemurnian baru. Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan kapasitas produksi aluminium Indonesia bisa melonjak hingga lima kali lipat pada akhir dekade ini.
“Jadi, memang ada tren yang sudah banyak terdengar, alumunium ini akan menjadi komoditas besar setelah nikel. Jadi akan ada alumunium boom. Coal sangat dimungkinkan akan dipakai juga untuk aluminium boom ini, ” katanya.
Menurut Katherine, berdasarkan Peraturan Presiden 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terdapat celah untuk pembangunan PLTU batubara captive baru.
Hal itu tertuang dalam Pasal 3 Ayat 4 huruf b, dengan pembangunan PLTU batubara captive dapat dilakukan dengan sejumlah persyaratan dan ketentuan.
“Kami berharap perencanaan industri nasional akan sepenuhnya mengintegrasikan prinsip rendah karbon, yang akan sangat menentukan prospek masa depan sektor industri Indonesia,” katanya.

Setengah hati?
Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengatakan, PLTA bisa jadi terobosan sumber energi industri aluminium. Hal ini Inalum lakukan di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, yang gunakan sumber energi dari PLTA Siguragura dan PLTA Tangga.
Meski potensi energi air tinggi, tetapi permasalahannya, tidak semua aliran air atau sungai dapat memenuhi kebutuhan energi industri aluminium.
Masalah lain, soal daya saing dengan batubara. Pemerintah Indonesia, kata Paul, masih mengistimewakan batubara ketimbang energi air.
“Jadi, aluminium yang menggunakan PLTA sebagai basis itu, itu agak susah mereka bersaing, terutama kalau di Indonesia. Misal, subsidi untuk harga bahan bakar itu mereka gak dapat,” katanya.
Paul bilang, kendala selanjutnya adalah daya dukung PLN untuk membangun jaringan PLTA sampai ke smelter industri aluminium.
PLN mempertimbangkan jarak smelter ke jaringan PLTA jauh dan pembangunan jaringan PLTA ke smelter karena ketidakjelasan keberlanjutan industri aluminium.
“Kita gak tau berapa lama sebenarnya usia smelter itu. Jaringan yang dibangun PLN itu bisa tahan sampai 30-40 tahun bahkan lebih. Kalau ternyata usia smelter hanya 10 tahun, misal, berarti kan aset jaringan harus diambil, jadi masalah untuk PLN.”
Satu sisi, emisi dari industri alumunium ini tetap besar meskipun menggunakan PLTA. Emisi yang bersumber dari smelter industri aluminium dapat menimbulkan efek anoda.
Efek anoda adalah fenomena yang terjadi dalam proses elektrolisis aluminium, khusus pada sel hall-héroult, ketika konsentrasi alumina dalam elektrolit terlalu rendah.
Hal ini, katanya, menyebabkan peningkatan resistensi pada pot elektrolisis, yang mengakibatkan lonjakan tegangan dan produksi gas tidak stabil, serta peningkatan emisi gas rumah kaca perfluorokarbon (PFC).
Paul bilang, efek anoda mengandung berbagai macam gas berbahaya salah satunya PF6 perfluoro yang dapat mencapai 10.000-11.000 GtCO₂e. Untuk mengontrol tingkat emisi itu, katanya, harus ada upaya untuk mereduksinya.
*****