- Menjelang panen, masyarakat Semende tidak dikhawatirkan dengan serangan hama burung pipit yang menjadi ancaman bagi sebagian besar petani.
- Pengetahuan waktu tanam hingga panen yang berasal dari leluhur mereka, memastikan padi masyarakat Semende aman dari serangan hama.
- Teknik panen “tuai” serta arsitektur tengkiyang (lumbung padi) yang unik, juga membuat stok padi mereka tidak mudah busuk dan aman dari serangan tikus.
- Semua pengetahuan luhur terkait pertanian masyarakat Semende, hingga saat ini masih terjaga karena adanya sistem adat Tunggu Tubang.
Menjelang musim panen, padi yang menguning biasanya rentan diserang koloni burung pipit (Lonchura punctulata). Untuk menghindari itu, para petani menyiapkan rangkaian lonceng kaleng yang dibunyikan ketika ada koloni burung datang.
Uniknya, di hamparan padi masyarakat Semende, Sumatera Selatan, tidak terlihat satupun lonceng kaleng di tengah sawah mereka. Bahkan, tidak terlihat burung. Mengapa?
“Itu karena waktu padi yang mulai berbuah dan menguning, bertepatan dengan waktu burung-burung kawin atau berkembang biak,” kata Rasmawanah (79), petani padi sawah di Desa Tanjung Agung, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, awal Juli 2025.
“Jadi mereka tidak akan mencari makan keluar karena sibuk membangun sarang, kawin, bertelur, hingga merawat anak-anaknya,” lanjut Rasmawanah.
“Cara ini sudah turun temurun, sejak zaman puyang (leluhur) dulu. Alhamdulillah hingga saat ini masih kami terapkan dan belum ada sejarah serangan burung pipit atau hama lain.”
Masyarakat Semende hidup pada ketinggian 900-1.500 m dpl – bagian dari landskap lembah Bukit Barisan di Sumatera Selatan.
Merujuk data situs Simotandi Kementerian Pertanian, luas lahan baku sawah per 17 Januari-1 Februari 2024 di tiga Kecamatan Semende adalah; Semende Darat Laut (697 hektar), Semende Darat Tengah (1.077 hektar), dan Semende Darat Ulu (1.876 hektar).
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik Kecamatan Semende Darat Laut 2019, dengan luas panen rata-rata sekitar 1.630 hektar, produksi padi rata-rata mencapai 10.862 ton.
Masyarakat Semende hanya menanam padi satu tahun sekali. Masa pembibitan berkisar Oktober-Desember, penanaman pada Januari-Maret, dan masa panen mulai Juli-September.

Hasan Zen, tokoh adat di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Ulu mengatakan, masa tanam dan panen yang dilakukan serentak, dan hanya dilakukan setahun sekali, juga ditujukan untuk menghindari berbagai macam hama.
“Kalaupun ada hama menyerang, mereka tidak akan mampu menghabisi semua tanaman padi yang ditanam. Selain itu, masa panen yang hanya satu tahun sekali, juga memberi istirahat pada tanah, agar siap ditanam kembali,” katanya.
Dia menambahkan, pada masa puyang masyarakat Semende dulu, patokan untuk melakukan penanaman berbagai jenis tanaman di sawah atau kebun, masih berdasarkan pengamatan Bulan.
“Kalau sekarang sudah menyesuaikan dengan kalender masehi. Kalau dulu mirip seperti di kalender hijriah yang berpatokan pada Bulan,” kata Hasan Zen.
“Penentuan masa tanam dengan melihat Bulan, dipercaya bisa membuat tanaman lebih cepat tumbuh serta terhindar hama. Tapi, tidak sedikit juga masyarakat yang sudah melupakan hal ini,” lanjutnya.
Mengutip sebuah artikel di Brin.go.id, di Semende terdapat beberapa varietas padi lokal, seperti bengkok buku, ulu danau, lelak daun, karet, padi putih, selebur urik, selebur erum, selebur tinggi, dan beram. Keberadaan jenis padi lokal ini terancam punah. Sementara yang masih bertahan jenis padi jambat teras dan selebur rimbe.
Selebur rimbe jenis padi yang memiliki banyak anakan, rumpun besar, dan tidak mudah rebah, sedangkan jambat teras dapat hidup pada sawah dangkal dan dalam, serta nasinya bertekstur lembut.
Yulian Junaidi, peneliti pertanian dari Universitas Sriwijaya (Unsri), sebelumnya mengatakan jenis padi lokal menyimpan berbagai pengetahuan dan kearifan masyarakat terhadap lingkungan, termasuk berbagai tradisi dan budaya.
“Memuliakan padi lokal sama seperti memuliakan keberagaman budaya lokal,” terangnya, Sabtu (17/5/2025).
Padi lokal lebih siap menghadapi perubahan iklim global. Padi lokal memberikan kedaulatan kepada masyarakat atau petani. Mereka tidak tergantung bibit, pupuk, dan pestisida.
“Kalau jenis hibrida, misalnya, petani harus membeli bibit, pupuk, dan pestisida,” jelasnya.

Pangan keluarga
Dalam sistem adat Semende, khususnya Tunggu Tubang, hasil panen padi tidak boleh diperjualbelikan. Hanya diperuntukkan untuk pangan keluarga serta adat istiadat.
Tunggu Tubang adalah sistem adat yang berlaku di masyarakat Semende Darat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sistem ini memberikan kuasa kepada perempuan untuk mengelola alat produksi (pusaka keluarga) berupa sawah, rumah, kebun, dan tebat (danau buatan).
Untuk memastikan persediaan padi awet dan aman satu tahun penuh, masyarakat Semende memiliki cara memanen, serta arsitektur penyimpanan yang disebut tengkiyang.
“Bangunan dibuat sedemikian rupa. Ada kayu melingkar pada empat tiang pondasi tengkiyang. Ini untuk menghindari hama tikus,” kata Karman, tokoh masyarakat sekaligus peneliti adat Tunggu Tubang, kelahiran Desa Pajar Bulan, yang sekarang menetap di Desa Palak Tanah, Kecamatan Semende Darat Ulu.
Untuk panen, menurut Karman, sebagian masyarakat Semende masih menggunakan alat pemotong batang padi tradisional dari bambu. Teknik ini biasa disebut “tuai”.
“Hasil panen tidak mudah busuk atau bisa bertahan satu tahun penuh saat disimpan di tengkiyang,” lanjutnya.

Teknik tuai ini juga digunakan saat panen padi pertama yang disebut “padi empai” untuk keperluan adat dan persediaan setahun.
“Digunakan juga untuk bahan serabi dan lemang yang khusus untuk tamu keluarga, serta untuk konsumsi orang-orang yang membantu panen di lahan,” jelasnya.
Dahulu, hampir semua lahan dipanen mengggunakan teknik tuai. Saat ini, dianggap terlalu memakan waktu.
“Bisa dua hingga tiga bulan untuk panen padi yang luasnya satu hingga dua hektar. Sekarang, masyarakat lebih memilih menggunakan arit atau sabit, lalu padi digiling dengan mesin agar bisa disimpan di rumah.”
Sayangnya, tergerusnya tradisi menuai padi ikut menggerus tradisi tolong menolong antarkeluarga saat panen tiba.
“Sekarang, lebih banyak pakai mesin, atau menggunakan orang dari luar untuk mengambil upahan panen,” kata Karman.

Dijaga Tunggu Tubang
Ratusan tahun menanam padi dan berkebun, masyarakat Semende menyimpan pengetahuan unik yang berguna untuk masa depan pangan.
“Ada pada Tunggu Tubang. Mereka yang memastikan pengetahuan itu turun dari generasi ke generasi,” kata Karman.
Hasan Zen menambahkan bahwa, praktik budaya ini tidak hanya dipertahankan oleh keluarga-keluarga lama; keluarga baru pun merangkul dan melestarikannya.
“Bahkan jika seorang anak perempuan menolak peran Tunggu Tubang, tidak akan hilang dari keluarga tersebut. Anak lain akan menggantikannya,” katanya.

Kedaulatan pangan masyarakat Semende, khususnya beragam varietas padi lokal, juga disebabkan keberadaan Tunggu Tubang yang mendasari tumbuhnya nilai-nilai luhur di masyarakat.
Hasan Zen meyakini bahwa Tunggu Tubang tidak akan tumbang karena tujuannya adalah melindungi wilayah adat Semende untuk generasi sekarang dan mendatang.
“Setiap generasi masyarakat Semende berkomitmen untuk melahirkan dan melestarikan budaya Tunggu Tubang,” paparnya.
*****