Indonesia perlu sekitar US$16-US$40 miliar per tahun untuk mengembangkan energi terbarukan. Namun, Indonesia baru mendapatkan investasi sektor ini US$1,47 miliar pada 2023.
Satu sisi, Indonesia mulai punya beberapa target pengembangan energi terbarukan dan perlu dukungan. Salah satu target itu lewat RUPTL 2025-2034 yang baru pengesahan. Dalam rencana itu, target energi terbarukan mencakup penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan terpasang 42,6 GW hingga 2034.
Untuk mendukung peningkatan pembiayaan dalam transisi energi, Indonesia menyiapkan basis regulasi yang mendukung agenda transisi energi. Salah satunya, memungkinkan penggunaan APBN dalam upaya transisi energi, terutama pensiun dini PLTU dan pembangunan infrastruktur penunjang energi terbarukan.
Selain APBN, proyek terkait dapat pula mendapatkan pendanaan melalui kerja sama dengan lembaga keuangan internasional atau lembaga lain, seperti multilateral development banks, contoh, ADB, World Bank, AIIB, dan lain-lain) atau JETP.
Meningkatnya upaya pengembangan energi terbarukan akan menimbulkan efek domino terhadap kondisi sosial dan lingkungan. Energi terbarukan, mampu memenuhi capaian elektrifikasi, pembukaan lapangan kerja baru, dan target penurunan emisi sekaligus.
Mengutip Josimovic, pembangunan industri energi terbarukan juga dapat menimbulkan tantangan baru, seperti, risiko perubahan bentang alam akibat instalasi pembangkit skala besar, ekosistem lokal, serta konflik sosial karena alih fungsi lahan dengan sektor lain seperti pemukiman, pertanian, dan konservasi.
Ambil contoh pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Muara Laboh, pengembangan panas bumi awal sejak terbit UU Panas Bumi Nomor 27/2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 59/2007.

Proyek ini mendapatkan dukungan finansial dari beberapa skema pembiayaan multilateral dalam skema co-financing. PLTP ini berkontribusi menambah 40% pendapatan asli daerah (PAD) dan menerangi ratusan ribu rumah tangga di Solok Selatan dan sekitar.
PLTP Muara Laboh juga akan memasuki instalasi unit kedua, namun proyek ini mendapatkan tantangan sosial dan lingkungan bahkan sejak pembangunan unit pertama.
Sejak ada PLTP, masyarakat sekitar lokasi merasa ada penurunan kualitas pertanian dampak pencemaran dan pasokan air berkurang.
Proyek PLTP juga berakibat pada perubahan bentang lahan, peningkatan risiko kesehatan masyarakat, dan penggusuran akibat pembebasan lahan.
Karena itu, penting memastikan, pengembangan energi terbarukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan mitigasi dampak negatif dan melibatkan komunitas lokal dalam setiap tahapan proyek.
Upaya perlindungan sosial dan lingkungan dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan menjadi aspek krusial guna memastikan transisi energi tidak hanya berorientasi pada efisiensi dan keberlanjutan, juga menjunjung prinsip keadilan.
Aspek prosedural memastikan, semua pihak terdampak proyek transisi energi, termasuk masyarakat lokal, komunitas adat, buruh, perempuan, dan kelompok rentan lain terlibat dalam proses perencanaan, konsultasi, dan pengambilan keputusan.
Partisipasi bermakna (meaningful participation) memberi ruang bagi suara-suara yang sering terpinggirkan dalam kebijakan energi.
Menurut Jenkins dan Liu prinsip partisipasi ini memiliki tiga indikator yang dapat memastikan bahwa prinsip ini terpenuhi, meliputi partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan mekanisme keluhan
Pemenuhan aspek prosedural merupakan elemen krusial dalam menjamin keadilan dalam transisi energi karena memastikan proses pengambilan keputusan inklusif, transparan, dan partisipatif.
Menurut Schlosberg, tanpa mekanisme prosedural adil, kebijakan transisi berisiko menciptakan ketimpangan baru dan memperkuat ketidakadilan struktural yang ada sebelumnya. Dalam konteks ini, peran negara tidak hanya sebagai fasilitator pembangunan energi bersih juga penjamin keadilan dalam tata kelola pembangkit melalui regulasi yang progresif, institusi responsif, dan sistem pengawasan yang akuntabel.
Indonesia memiliki beberapa regulasi yang mendorong perlindungan lingkungan dan pelibatan publik tetapi efektivitas masih terbatas.
Jadi, perlu upaya penegakan (enforcement) hukum dan kebijakan pendukung dalam memastikan prinsip keadilan dalam tata kelola pembangkit.

Mekanisme perlindungan
Masing-masing lembaga pendanaan transisi energi memiliki kebijakan berbeda-beda dalam implementasi proyek, salah satunya, mekanisme perlindungan (safeguards).
Penerapan safeguards juga salah satu elemen penting dalam memastikan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan memberikan manfaat sosial dan lingkungan secara maksimal tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan (Sebestyén, 2021).
Kalau menilik safeguards terkait partisipasi publik, semua safeguards yang diatur beberapa multilateral development bank seperti ADB, World Bank, dan AIIB mencantumkan prasyarat bahwa partisipasi terutama dari masyarakat terdampak perlu di semua siklus proyek. Dari perencanaan hingga evaluasi, berjalan inklusif, tanpa intimidasi, serta akomodasi suara yang beragam.
Dalam proses konsultasi, pelibatan semua pihak, termasuk yang tidak memiliki legalitas atas lahan seperti, misal, sertifikat, juga wajib.
Ada beberapa catatan, walaupun proses konsultasi melibatkan masyarakat yang tak memiliki legalitas, namun kompensasi atas lahan terbatas kepada masyarakat yang memiliki legalitas atas lahan. Ini seperti dokumen safeguards dari ADB dan AIIB.
Sedangkan kondisi lapangan, banyak masyarakat adat dengan tanah belum ada pengukuhan atau penetapan hingga belum memiliki sertifikat apabila melihat dari hukum positif.
Padahal, mereka memiliki hubungan historis dan sosial, ekonomi terhadap lahan itu hingga ketentuan safeguard ini memiliki dampak besar terhadap penghidupan mereka.

Catatan lain, terkait free, prior, informed consent (FPIC) yang dianggap tercapai ketika sudah mendapatkan dukungan luas dari suatu komunitas, ini bisa terlihat di World Bank, ADB maupun AIIB. Penting untuk mencatatnya, setiap komunitas adat memiliki mekanisme pengambilan keputusan berbeda-beda, dan tak semua mengikuti logika mayoritas-minoritas sebagaimana dalam sistem demokrasi formal.
Untuk itu, penerapan FPIC harus mempertimbangkan nilai, struktur sosial, dan budaya komunitas secara menyeluruh. Ketidaksesuaian pendekatan FPIC dengan praktik adat setempat dapat menyebabkan proyek tidak sah secara budaya, meskipun secara administratif memenuhi persyaratan.
Mengenai mekanisme keluhan, semua safeguards mencatat bahwa perlindungan whistleblower merupakan hal penting. Juga mekanisme keluhan sesuai konteks budaya serta inklusif gender juga menjadi hal krusial.
Hal penting lain, terkait keberadaan fasilitator proses negosiasi antara pihak penting untuk menghindari pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pihak tertentu, terutama karena ada power imbalance antara pihak.
Perlu garis bawahi bahwa fasilitator ini belum eksplisit ada dalam safeguards AIIB. Menurut Radavoi, gaya penyelesaian sengketa ala Tiongkok, lebih memilih penyelesaian melalui konsultasi bilateral atau mekanisme lain yang tidak bersifat mengikat. Karena itu, keberadaan pihak ketiga untuk menangani keluhan proyek-proyek yang AIIB biayai bisa dianggap tidak sesuai budaya penyelesaian sengketa ala Tiongkok.
Meskipun lembaga-lembaga pendanaan multilateral telah menetapkan prinsip partisipasi, FPIC, dan mekanisme keluhan sebagai syarat minimum dalam mekanisme safeguard, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Terutama, dalam menjamin pengakuan terhadap hak masyarakat adat, inklusivitas dalam pengambilan keputusan, dan penyelesaian sengketa yang adil.
Ketimpangan kekuasaan, ketidakselarasan antara hukum formal dan praktik sosial, serta pendekatan teknis dalam konsultasi publik menjadi hambatan utama yang harus teratasi. Karena itu, negara dan lembaga pendanaan perlu memastikan bahwa, mekanisme perlindungan benar-benar berjalan secara substantif, bukan hanya administratif agar transisi energi dapat berkeadilan sosial dan lingkungan.
- Penulis: M. Arief Virgy dan Kunny Izza Indah Afkarina, Peneliti The Habibie Center. Tulisan ini merupakan opini para pernulis.
*****