- Penelitian terbaru mengungkap bahwa sayap kelelawar sebenarnya berasal dari struktur tangan mamalia yang dimodifikasi oleh evolusi. Gen yang sama ditemukan pada mamalia lain, tetapi bekerja di waktu dan tempat berbeda saat embrio berkembang.
- Tidak ada gen atau sel baru yang diciptakan, hanya perubahan dalam cara kerja program genetik lama. Hal ini memungkinkan kelelawar memiliki sayap lengkap tanpa meninggalkan cetak biru tangan aslinya.
- Temuan ini memberi pemahaman baru tentang evolusi bentuk tubuh dan juga berpotensi membantu penelitian medis tentang kelainan pertumbuhan tangan dan kaki pada manusia. Evolusi, dalam hal ini, bekerja lebih seperti editor desain ketimbang pencipta dari awal.
Kelelawar dikenal sebagai makhluk malam yang sering terbang diam-diam saat senja tiba. Sayapnya yang membentang, gerakannya yang nyaris tak bersuara, dan kebiasaannya keluar hanya saat hari mulai gelap menjadikannya makhluk yang penuh misteri. Bagi sebagian orang, kelelawar menyiratkan hal-hal misterius, kadang menyeramkan. Imaji ini semakin kuat lewat budaya populer: dalam banyak film Hollywood, kelelawar kerap digambarkan sebagai simbol horor, bahkan makhluk mitos seperti vampir haus darah yang mengintai dalam kegelapan.
Namun di balik citra horor itu, kelelawar sebenarnya adalah salah satu hewan paling penting dalam menjaga keseimbangan alam. Ia bukan predator ganas, melainkan penjaga ekosistem yang penting. Kelelawar membantu penyerbukan berbagai jenis tanaman, termasuk buah-buahan yang kita konsumsi sehari-hari, dan menjadi pengendali alami populasi serangga, termasuk nyamuk pembawa penyakit. Bahkan, kehadiran kelelawar sering dijadikan indikator kesehatan lingkungan, jika kelelawar masih ada, artinya ekosistem di sekitarnya masih cukup baik untuk menunjang kehidupan.

Yang tak kalah menarik, kelelawar adalah satu-satunya mamalia di dunia yang bisa terbang secara aktif. Mereka tidak sekadar meluncur seperti sugar glider, tapi benar-benar mengepakkan sayap untuk melayang bebas di udara. Keunikan ini telah lama membuat ilmuwan penasaran: bagaimana mungkin seekor mamalia yang leluhurnya berjalan di darat bisa memiliki struktur tubuh yang memungkinkan mereka terbang seperti burung?
Selama ini, para peneliti menduga bahwa sayap kelelawar adalah hasil modifikasi bentuk tubuh yang sudah ada. Tapi sejauh mana perubahan itu terjadi? Dan apakah sayap itu benar-benar struktur baru hasil evolusi—atau hanya penyesuaian dari bentuk lama yang sudah kita kenal?
Kini, berkat temuan ilmiah terbaru, misteri tersebut mulai terkuak. Para ilmuwan berhasil membuktikan bahwa sayap kelelawar ternyata berasal dari struktur tangan mamalia yang mengalami perubahan luar biasa selama jutaan tahun evolusi. Dan yang lebih mengejutkan lagi: perubahan itu tidak memerlukan gen atau sel baru, melainkan hanya perubahan dalam cara kerja gen lama yang sudah ada.
Baca juga: Kelelawar, Pahlawan dari Dunia Gelap
Penelitian Ungkap Asal-Usul Sayap dari Tangan
Penemuan ini berasal dari studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Ecology & Evolution pada Juli 2025. Para ilmuwan dari Jerman dan Spanyol mempelajari bagaimana embrio kelelawar dan tikus berkembang, dengan menggunakan teknologi canggih untuk melihat kerja gen secara detail, sampai ke tingkat sel satuan.
Salah satu pertanyaan utama yang ingin mereka jawab adalah: bagaimana struktur tangan bisa berubah menjadi sayap?
“Kami memilih kelelawar karena mereka adalah contoh luar biasa dari adaptasi bentuk tubuh,” jelas Prof. Stefan Mundlos, penulis utama studi ini. “Tangan manusia, kaki kuda, sirip lumba-lumba, dan sayap kelelawar, semuanya berasal dari cetak biru yang sama, hanya bentuk akhirnya yang berbeda karena proses evolusi.”

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelelawar tidak memiliki gen baru untuk membentuk sayap. Mereka hanya menggunakan gen lama yang sama dengan mamalia lain, tetapi gen itu diaktifkan di waktu dan tempat berbeda selama perkembangan tubuh di dalam rahim.
Baca juga: 10 Kelelawar Paling Unik di Dunia, Bagaimana Wujudnya?
Dari Tangan Menjadi Sayap
Secara fisik, sayap kelelawar sebenarnya mirip dengan tangan kita. Mereka memiliki tulang-tulang jari yang memanjang, otot, dan jaringan penghubung. Perbedaannya terletak pada adanya selaput tipis bernama chiropatagium, yang membentang di antara jari-jari dan memungkinkan mereka terbang dengan lincah.
Ilmuwan menemukan bahwa gen bernama MEIS2 dan TBX3, yang biasanya aktif di bagian dasar lengan, justru aktif di bagian ujung tangan pada embrio kelelawar. Hal ini membuat ruang di antara jari-jari tidak hilang, tetapi justru berkembang menjadi selaput sayap.
Untuk membuktikan ini, para peneliti mencoba mengaktifkan kedua gen tersebut pada embrio tikus. Hasilnya mengejutkan: jari-jari tikus menyatu, membentuk struktur mirip selaput seperti pada kelelawar.
Bukan Gen Baru, Tapi Pola Kerja Gen yang Diubah
Awalnya, para peneliti menyangka bahwa kelelawar memiliki jenis sel baru untuk membentuk sayap. Tapi ternyata, sel-sel yang ditemukan di sayap kelelawar juga ada pada mamalia lain seperti tikus. Perbedaannya hanya pada cara dan waktu gen-gen itu bekerja.
“Sel yang berada di bagian pangkal tangan memiliki identitas yang sangat mirip dengan sel yang membentuk sayap,” kata Christian Feregrino, penulis pertama studi ini. “Inilah cara kerja evolusi. Tantangan selanjutnya adalah mencari tahu bagaimana program genetik ini diatur dengan sangat presisi dari awal prosesnya.”
Kelelawar tidak menghentikan pembentukan jaringan di antara jari, seperti yang terjadi pada manusia. Mereka justru mengarahkan proses tersebut ke jalur yang berbeda, dengan memanfaatkan sel-sel biasa untuk membentuk selaput terbang. Ini menunjukkan bahwa evolusi bisa menghasilkan bentuk baru dengan hanya memodifikasi program lama—tanpa harus menciptakan gen baru dari nol.
Apa Artinya Bagi Ilmu Kedokteran dan Evolusi?
Penelitian ini bukan hanya memberi penjelasan tentang bagaimana sayap kelelawar terbentuk. Hasilnya juga bisa membuka jalan bagi pemahaman baru tentang gangguan perkembangan tangan dan kaki pada manusia, seperti sindaktili, kondisi di mana jari-jari menyatu.

Dengan memahami bagaimana gen seperti MEIS2 dan TBX3 bekerja, para ilmuwan bisa mencari cara untuk mencegah atau mengobati kondisi-kondisi tersebut. Penelitian ini juga membantu kita melihat bagaimana hewan lain, seperti sugar glider atau tupai terbang, mengembangkan kemampuan meluncur—mungkin dengan pola kerja genetik yang serupa.
Temuan ini memperkuat gagasan bahwa evolusi bukanlah proses yang selalu menciptakan hal baru. Sebaliknya, ia lebih seperti editor yang memodifikasi desain lama menjadi bentuk baru. Tangan bisa menjadi sirip, bisa menjadi kaki, atau bisa menjadi sayap—tergantung bagaimana dan kapan gen-gen itu diaktifkan.