- Berbagai strategi dilakukan pemerintah untuk mengejar swasembada garam pada 2027. Mulai dari ekstensifikasi produksi tambak baru, serta meningkatkan produksi tambak garam eksisting melalui mekanisasi, hingga intervensi teknologi modern dengan metode vacuum salt.
- KKP sendiri mengasumsikan kebutuhan garam nasional pada 2024-2026 sama dengan 2023, yaitu 5 juta ton pertahun. Jumlah tersebut diproyeksikan akan naik dua persen per tahun pada periode 2027-2029. Untuk mencapai swasembada, volume produksi nasional harus meningkat sekitar 21% pertahun, sehingga mencapai 5,3 Juta pada 2029.
- Strategi ekstensifikasi dilakukan dengan pembangunan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Desa Matasio, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Totalnya, lahan seluas 10.000 hektar disiapkan untuk menyokong program ini, yang pada tahap awal dilaksanakan di Zona I dengan anggaran Rp750 miliar.
- Jakfar Sodikin, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) mengakui kalau Rote Ndao memang potensial untuk dikembangkan jadi sentra produksi garam nasional karena cuaca yang mendukung. Contohnya saat ini. Ketika beberapa wilayah di Indonesia masih diguyur hujan, Rote Ndao tetap panas.
Pemerintah menyatakan, berupaya mengejar swasembada garam pada 2027 dengan berbagai strategi mulai dari ekstensifikasi produksi tambak baru, meningkatkan produksi melalui mekanisasi, hingga intervensi teknologi modern dengan metode vacuum salt.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, strategi ekstensifikasi dengan pembangunan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Desa Matasio, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kawasan ini akan mengintegrasikan pengelolaan garam dari hulu ke hilir,” kata Wahyu Sakti Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dia mengatakan, Rote Ndao terpilih sebagai lokasi pengembangan karena beberapa kriteria yang dibutuhkan untuk proses produksi. Selain iklim yang menyerupai Australia, juga sumber daya alam sosial dan lingkungan, dukungan infrastruktur, dan lahan.
Wahyu menyebut, total ada 10.000 hektar lebih disiapkan untuk proyek ini.
Dia yakin, dengan produktivitas hingga 200 ton per hektar dalam sekali siklus, Rote Ndao akan berkontribusi besar terhadap produksi garam nasional. Kehadiran proyek ini juga diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru bagi 26.000 orang.
Intervensi lain untuk mendukung swasembada garam juga dilakukan melalui transformasi tambak tradisional menjadi tambak modern, pembangunan membangun jalan produksi dan gudang garam nasional, dan penataan lahan garam baru. “Selain itu, (melaksanakan) pembangunan Learning Business Center (LBC) dan penyediaan mekanisasi panen garam,” ungkap Wahyu.
KKP sendiri mengasumsikan kebutuhan garam nasional pada 2024-2026 sama dengan 2023, yaitu 5 juta ton pertahun. Jumlah tersebut diproyeksikan akan naik dua persen per tahun pada periode 2027-2029. Untuk mencapai swasembada, volume produksi nasional harus meningkat sekitar 21% pertahun, sehingga mencapai 5,3 Juta pada 2029.
Namun begitu, Wahyu juga berharap agar ambisi swasembada itu juga diimbangi dari sisi kualitas. Dengan begitu, garam nasional dapat memasok kebutuhan industri, seperti farmasi dan makanan yang selama ini bergantung pada garam impor.
Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP menjelaskan, swasembada garam bertujuan agar produksi garam bisa memenuhi industri. Selama ini, permintaan impor garam untuk industri, dalam setahun bisa mencapai 77,7 persen. “Diharapkan, produksi garam dari Rote Ndao sedikitnya mencapai tiga juta ton per tahun,” ucapnya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan garam nasional jauh dari standar industri. Misalnya, kondisi tanah pada tambak garam eksisting yang tidak mendukung, proses produksi yang masih tradisional, hingga penerapan teknologi yang terbatas. Situasi itu dipersulit dengan tingginya Harga Pokok Produksi (HPP) garam.
Koswara menyebut, dari 10.000 hektar lahan yang disiapkan, pembangunan akan dilakukan di zona satu dengan alokasi anggaran capai Rp750 miliar, termasuk untuk pembangunan pabrik.

Kurangi impor
Selain meningkatkan produksi garam dalam negeri, pemerintah juga berencana mengurangi importasi garam hingga 3 juta ton. Langkah ini akan dilakukan bertahap, dimulai tahun ini sebesar 600.000 ton dari 1,8 juta ton yang direncanakan. Lalu, pada 2026 dengan volume pengurangan yang sama.
Selanjutnya, pada 2027 pengurangan impor akan dilakukan sekitar 700 ribu ton, sehingga menyisakan kuota impor sebanyak 0,5 juta ton. Dengan demikian jika sesuai rencana, mulai 2028 sudah tidak ada lagi impor garam dan pasokan sepenuhnya dari dalam negeri.
Aris Ahmad, Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP menambahkan, jumlah penduduk yang sedikit turut menjadi pertimbangan Rote Ndao sebagai sentra industri garam. Atas pertimbangan itu, KKP mengajukan kepada Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk memanfaatkannya.
“Zona satu ini dipilih karena lahannya paling rata, dekat dengan kolam, teluk yang menjadi sumber air baku,” katanya.
Abraham Mose, Direktur Utama PT Garam Abraham Mose mengakui, iklim di Rote Ndao yang panas dan relatif stabil sangat ideal untuk mendukung target swasembada garam nasional. Namun, ia mengingatkan bahwa itu bukan jaminan. Terlebih, di waktu yang sama, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap dampak krisis iklim.
Karena itu, penggunaan teknologi menjadi pilihan yang sulit untuk dihindari. Semakin canggih dan terbaru, maka teknologi akan berkontribusi besar pada produksi garam di masa mendatang. Itu juga menjadi konsentrasi PT Garam saat ini. “Suka, tidak suka, kita sudah harus menuju ke arah situ,” katanya.
Dengan kondisi cuaca di Indonesia seperti sekarang, dia mengakui kalau produksi garam akan sangat sulit sepanjang tahun. Walau bisa menghasilkan natrium klorida (NaCl) tinggi di atas 97%, namun maksimal hanya 0,01% saja dari semua sentra produksi eksisting.
Inovasi menggunakan teknologi dalam produksi, itu sudah diterapkan salah satu perusahaan yang membuka pabrik di Banten. Di sana, penggunaan teknologi sudah terbukti berhasil mengatasi persoalan cuaca dan bisa menghasilkan kualitas NaCl di atas 97%.
Abraham katakan, PT Garam miliki 5.608 hektar lahan garam yang tersebar di berbagai kabupaten di Madura, seperti Sumenep, Pamekasan dan juga Sampang. Untuk mendukung swasembada 2027, mereka manargetkan produksi garam berstandar industri hingga 500.000 ton pertahun.

Dia mengasumsikan, dengan kondisi saat ini, tidak cukup yakin target swasembada garam pada 2027 akan terpenuhi. Pemerintah, katanya, masih perlu kajian lebih lanjut untuk bisa mengakomodir semua kepentingan stakeholder garam
Dia meminta pemerintah tak abaikan petani kecil. Strategi intensifikasi mustahil terwujud kalau tidak melibatkan para petani kecil.
Jakfar Sodikin, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) mengatakan, Rote Ndao memang potensial untuk jadi sentra produksi garam nasional karena cuaca yang mendukung. Contoh saat ini ketika beberapa wilayah di Indonesia masih diguyur hujan, Rote Ndao tetap panas.
Begitu juga dengan Zona I yang dipilih sebagai demplot pertama proyek ini, menurutnya juga tepat. Hal itu, karena kecepatan angin dan salinitas air lautnya memang bisa mendukung untuk produksi garam minimal sebanyak 200 ton per hektar. “Tentunya itu produksi di tahun kedua, setelah konstruksi selesai semua,” katanya kepada Mongabay.
Melihat kondisi dan kemampuan alam untuk memproduksi garam, dia menilai kalau Rote Ndao bisa memproduksi garam kualitas impor antara 2-2,5 juta ton. Jumlah sebanyak itu perlu setidaknya lahan seluas 10.000 hektar.
“Pertanyaannya apakah tanah yang tersedia di Rote ini cukup? Atau bilamana perlu juga dilihat potensi ketersediaan lahan di pulau-pulau lain di NTT.”

Jangan abaikan petambak kecil, pertimbangkan risiko
Secara khusus, Jakfar berharap pemerintah tidak mengabaikan petambak rakyat dalam mengejar ambisi swasembada garam nasional. Sebaliknya, pemerintah ikut menstimulasi para petambak kecil berkontribusi mewujudkan ambisi itu t melalui stabilitas harga. Dengan begitu, tidak akan terjadi lagi harga turun, terutama saat panen sedang berlangsung. “Selain itu, dukungan teknologi dan infrastruktur pada sentra tambak garam rakyat.”
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan kekhawatirannya terkait rencana pemerintah untuk membuka lahan baru untuk tambak garam seluas 10.000 hektar itu. Menurut dia, program itu sangat berisiko, bahkan gagal. Bila itu terjadi, dampaknya, ekosistem pesisir di kawasan terancam rusak.
Dia bilang, program serupa pernah digagas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah gagal, area tambak garam kemudian beralihfungsi menjadi tambak udang. Karena itu, dia meminta agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa menyiapkan langkah antisipasi, termasuk potensi timbulnya dampak sosial dari program ini.
“Komitmen menjadi sangat penting, karena lahan seluas 10.000 ha sebelumnya pasti sudah ada yang digunakan untuk kegiatan lain. Bisa saja pertanian, tambak garam, atau Perkebunan. Seluruh aktivitas itu terpaksa harus berhenti karena diganti untuk tambak garam,” kata Susan.
Dia pesimis target swasembada garam pada 2027 itu bakal terwujud karena prematur. Ketimbang fokus pada swasembada yang sangat prematur, dia menyarankan KKP memperbaiki dan mengembangkan produkusi garam di sentra eksisting saja. Juga, menjamin harga jual garam di tingkatan petambak bisa terjaga, sehingga terjamin saat panen berlangsung. “Saya bukan anti swasembada. Tapi harus realistis saja.”
Saat ini, Kiara masih melakukan pendataan berapa jumlah petambak garam tradisional di Indonesia. Namun, berdasarkan data pada 2017, jumlahnya mencapai 21.050 orang atau turun dari 30.668 orang pada 2012.
*****