- Pertambangan memicu masalah multi dari persoalan lingkungan sampai ancaman keselamatan bagi warga, seperti yang terjadi di Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, belum lama ini. Tambang juga jadi arena memicu konflik berkepanjangan hingga pengelolaan kekayaan alam jadi lebih buruk.
- Wahyudin, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, menyatakan, audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan laporan KATR/BPN, Jawa Barat sebagai provinsi dengan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang tertinggi se-Indonesia. Hal itu, mengindikasikan penegakan hukum tata ruang lemah.
- Budi Sulistijo, Dosen Eksplorasi Sumber Daya Bumi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, mengatakan, tambang perhatikan lingkungan mungkin secara teknis, tetapi menuntut biaya lebih dan komitmen kuat. Tak hanya memikirkan proses eksploitasi, tetapi perusahaan tambang juga wajib menyediakan dana dan sumber daya untuk pengelolaan lingkungan pasca tambang.
- M Jamil, Koordinator Advokasi Kebijakan dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pemerintah mesti mengkaji kembali tata kelola dan pengawasan pertambangan. Apalagi praktik pertambangan di Indonesia tidak membawa kesejahteraan kepada masyarakat. Sebaliknya, rakyat makin sengsara dan lingkungan menjadi rusak.
Pertambangan memicu masalah multi dari persoalan lingkungan sampai ancaman keselamatan bagi warga, seperti yang terjadi di Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, belum lama ini. Tambang juga jadi arena memicu konflik berkepanjangan hingga pengelolaan kekayaan alam jadi lebih buruk.
Belum lama ini, masyarakat juga protes atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Jawa Barat. Sekitar 300 massa protes terkait dampak kerusakan lingkungan ke Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Mei lalu. Massa yang mengatasnamakan Koalisi Rakyat Selamatkan Bumi (Sabumi) menyuarakan kegelisahan terhadap ruang hidup akibat kebijakan politik yang eksploratif.
Mereka datang dari berbagai daerah se-Jawa Barat. Berlatar belakang petani, aktivis, mahasiswa, buruh, hingga berbagai elemen masyarakat kompak curhat di jalan. Alih fungsi hingga penguasaan lahan yang tidak berpihak pada rakyat menjadi pemicunya.
Rofi, rela menempuh jarak 65 kilometer dari Cianjur hanya ingin ingin memperjuangkan sumber mata air yang mulai kering oleh tambang galian C.
“Praktik itu tidak saja berdampak pada hasil tani, juga membuat hidup tidak nyaman. Banyak pihak mengintimidasi warga agar diam,” katanya.
Untuk itu, Rofi berharap suara mereka bisa menyumbang perubahan. Setidaknya, memberi jaminan kelayakan hidup ketika memilih nasib sebagai petani.
“Saya ingin bekerja dengan aman supaya bisa membawa sejahtera bagi keluarga,” katanya sembari membentangkan spanduk bertuliskan kata perjuangan.
Di sudut mimbar orasi, Wahyudin, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, menyatakan, audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan laporan KATR/BPN, Jawa Barat sebagai provinsi dengan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang tertinggi se-Indonesia.
Hal itu, katanya, mengindikasikan penegakan hukum tata ruang lemah. Proyek strategis nasional (PSN), contohnya, kerap menjadi dalih untuk mengabaikan peruntukan ruang yang sudah ditetapkan. Apalagi, dasar kebijakan dominan kepentingan ekonomi. Jauh api dari panggang keberpihakan terhadap ekologi.
“Alih fungsi lahan yang terjadi masif, mengikis resapan air dan menghancurkan ekosistem hutan. Krisis ekologis makin nyata. Data terakhir menyebutkan, hampir satu juta lahan di Jawa Barat berstatus kritis,” katanya.
Wahyudin juga mempersoalkan ihwal penggusuran paksa tanpa dialog ataupun ganti rugi layak terhadap mereka yang merelakan tanahnya. Sisi lain, justru makin masif kriminalisasi warga yang memperjuangkan hak hidup.
“Terdapat ketimpangan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam. Malahan lebih banyak kerugian yang diterima daripada manfaat,” imbuh dia.

Karut marut
Berjarak 139 kilometer, Pelaksana Tugas Kepala Bapenda Kabupaten Cirebon, Sudiharjo, kelimbungan menghitung retribusi dari tambang di Gunung Kuda terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Dari konsesi tambang kurang dari 20 hektar milik Koperasi Pesantren Al Azhariyah hanya mampu menyetor Rp 6-Rp7 juta setiap bulan ke kas daerah.
Jumlah itu mereka peroleh melalui sistem perhitungan ritase atau kendaraan pengangkut material tambang. Pemerintah dan warga sama-sama mendapat kontribusi ekonomi paling minim dan rentan.
Pekerja menanggung risiko kerja hingga kehilangan nyawa, pemerintah menanggung beban dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.
“Selama ini, pemungutan berdasarkan laporan jumlah ritase dari pengelola tambang. Tapi ini belum bisa diverifikasi secara maksimal,” katanya, belum lama ini.
Dia mengakui, sulit menakar kesesuaian pembayaran. Alasannya, mereka menghadapi tantangan dalam pengawasan di lapangan. Pembayaran itu terakhir April lalu.
Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat, , penerimaan tambang hanya 7% atau Rp258 miliar dari PAD 2024. Kas daerah juga kehilangan pemasukan dari tambang karena teridentifikasi 176 tambang ilegal di 16 kabupaten dan 1 kota.
Menurut M Jamil, Koordinator Advokasi Kebijakan dan Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pemerintah mesti mengkaji kembali tata kelola dan pengawasan pertambangan. Apalagi praktik pertambangan di Indonesia tidak membawa kesejahteraan kepada masyarakat. Sebaliknya, rakyat makin sengsara dan lingkungan menjadi rusak.
Dia contohkan, banyak perizinan tambang tumpang tindih. Banyak izin kuasa tambang keluar karena perusahaan membayar kepada kepala daerah. Dalam realitanya, terkait erat dengan dinamika politik. Tambang, katanya, jadi mesin uang bagi elite politik.
Karena itu, katanya, pengelolaan tambang sangat eksploitatif. Investasi tambang pun masih berbasis peningkatan produksi, sering mengabaikan hak asasi masyarakat juga kewajiban pemulihan lingkungan.
Selain tata kelola pemerintahan buruk dan rendahnya tanggung jawab perusahaan, katanya, regulasi juga bermasalah. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), misal, kerap mengikuti pengajuan si pengusaha.
Pada mulanya, tambang berada di zona hijau. Akibat praktik kotor itu, bisa saja kemudian diubah menjadi kuning atau merah, katanya. Dampaknya, banyak izin pertambangan yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria.
“Yang berizin saja itu banyak sekali pelanggaran bahkan proses perizinannya banyak manipulatif bahkan laporan juga banyak dimanipulasi. Lebih-lebih kalau yang tidak berizin dipastikan tidak punya kaidah soal lingkungan dan keselamatan pekerja,” katanya kepada Mongabay.
Belum lagi, penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari tambang galian C. Hasil analisa Jatam mengungkap, tak ada pemasukan ke kas negara jika tidak dilaporkan. Sedianya ada laporan pun, pemerintah hanya menerima tanpa verifikasi apapun.
“Kalau tambang-tambang ilegal, kami sering bilang itu perampokan terang-terangan oleh para mafia. Karena ada praktik beking membekingi di situ. Buktinya, itu bisa berlangsung waktu lama tanpa diganggu.”
Jamil memperingatkan jaminan reklamasi (jamrek). Biasanya dana itu bayar di awal sebagai jaminan sebelum eksplorasi. Di banyak kasus, dana itu justru tidak untuk pemulihan lingkungan pasca tambang.
Hal itu makin mengindikasikan kalau persoalan tambang sarat dengan korupsi. Dia bilang, ada 17 celah korupsi antara lain, dalih minim pengawasan lapangan dan penegakan hukum.
“Banyak tambang dilaporkan dan ditangkap tapi tidak lama dilepas lagi. Atau penangkapan itu hanya menyasar operatornya sehingga jarang sekali penegakan hukum ini memberi efek jera.”
Kasus koperasi pesantren mengelola tambang, kata Jamil, bisa jadialat pengingat.
Dia bilang, ormas keagamaan masuk dalam pertambangan khawatir memperdalam krisis lingkungan dan memperuncing konflik sosial. Sebab kapasitas ormas dalam mengelola tambang secara efisien berisiko menimbulkan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Kepatuhan
Budi Sulistijo, Dosen Eksplorasi Sumber Daya Bumi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, mengatakan, tambang perhatikan lingkungan mungkin secara teknis, tetapi menuntut biaya lebih dan komitmen kuat.
Tak hanya memikirkan proses eksploitasi, tetapi perusahaan tambang juga wajib menyediakan dana dan sumber daya untuk pengelolaan lingkungan pasca tambang.
Untuk tambang di Gunung Kuda, masalah utama adalah pengkaplingan tambang hingga pengawasan tak proper dan akuntabel.
Konsekuensi pertambangan adalah memastikan kondisi pasca tambang benar-benar aman dan bisa untuk kegunaan lain. Maka, ongkos reklamasi menjadi tidak murah.
“Idealnya biaya untuk pemulihan Rp 80-Rp160 juta per hektar,” katanya.
Status hutan
Area eksplorasi Gunung Kuda merupakan eks petak 19 dengan pengelola Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani Majalengka. Luas dari Gunung Kuda 66,3 hektar.
Suparno, Administratur KPH Majalengka, mengatakan, pengurusan izin untuk pertambangan teregistrasi 2009. Saat itu, rekomendasi keluar atas dasar bahwa status lahan itu masuk sebagai hutan tidak baik untuk produksi. Kalau mengacu aturan anyar, fungsi kawasan itu menjadi kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK).
“Pemberian izin itu dari pusat melalui surat keputusan, bukan ada KPH,” katanya.
Tercatat, izin usaha penambangan (IUP) oleh Pesantren Al-Azhariyah sudah tiga kali perpanjangan. Terakhir pengajuan 2021, berakhir pada 4 November 2025. Sudah 15 tahun koperasi melakukan eksplorasi seluas 10 hektar.
Suparno bilang, ada pelaku usaha lain, seperti Al Islah nambang sejak 2016 luas 12 hektar. IUP sudah berakhir September 2018.
Ada juga Koperasi Unit Desa (KUD) Bumi karya sekitar lima hektar dan masih berjalan sampai saat ini. Lokasinya, di sebelah selatan dari lokasi longsoran.
“Ada satu masih pengajuan itu ada satu lagi pesantren Al Hikmah, cuma belum diberikan izinnya. Jadi yang pakai kawasan itu ada tiga perusahaan,” kata Suparno.
KPH Perhutani Majalengka, katanya, hanya memonitoring batas patok dengan area yang masih dikelola yaitu 23 hektar. Mereka hanya bisa mengingatkan bilamana izin akan habis.
Dari aspek lingkungan, pemberi rekomendasi pertambangan layak atau tidak perpanjangan itu di Dinas Kehutanan Jabar. “Pada proses monev (monitoring dan evaluasi) kami (Perhutani) sebagai anggota hanya melaporkan dari sisi fungsi kami saja.”
Bagi KPH Perhutani Majalengka, tidak ada kontribusi apapun dari tambang.
“Keputusan kembali atau tidak (ke Perhutani) itu tergantung pusat. Sejauh ini kami belum ada alternatif solusi pasca penutupan tambang.”

*****