- Awik-awik di Teluk Jor, Kabupaten Lombok Timur merupakan perangkat kesepakatan di tingkat lokal untuk menjaga kelestarian laut sekaligus menjamin keadilan antar nelayan. Awik-awik menjadi mekanisme penyelesaian konflik sosial dan ruang laut di tengah maraknya budidaya lobster dan ketimpangan modal.
- Awik-awik di dua desa yaitu Desa Paremas dan Desa Jerowaru mengatur zonasi laut secara kolektif, mulai dari jarak antar keramba, intensitas cahaya, hingga jenis alat tangkap yang ramah lingkungan. Aturan ini mulai jadi kesepakatan tertulis sejak 2013.
- Meski efektif secara sosial dan ekologis, awik-awik masih menghadapi kendala legalitas karena tumpang tindih kewenangan pengelolaan laut antara desa dan negara.
- Sebagai perangkat hukum, awik-awik dihormati karena mampu menyelesaikan konflik tanpa harus melibatkan aparat negara. Meski terbukti efektif, awik-awik menghadapi tantangan legalitas akibat desentralisasi kelautan yang dipangkas oleh UU No. 23/2014.
Terletak di Kabupaten Lombok Timur, tenggara Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, dua desa pesisir yang bertetangga yaitu Paremas dan Jerowaru berbagi bentang alam yang sama, yaitu sebuah perairan laut yang menjorok ke dalam yang disebut Teluk Jor.
Secara turun-menurun, perairan ini tidak saja sebagai sumber mencari nafkah bagi penduduk, tetapi juga pusat dari nilai-nilai yang membentuk beragam aturan lokal yang disebut sebagai awik-awik.
Awik-awik sendiri adalah perangkat kesepakatan untuk menjaga laut dari praktik destruktif. Secara bagian dari pengaturan secara adat, ia tak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga menjamin tatanan sosial antar nelayan agar tetap dapat berlaku adil.
Dari total jumlah penduduk di Desa Paremas 2.215 jiwa dan Desa Jerowaru 10.599 jiwa, sekitar 60 persennya mengandalkan hidup dari perairan Teluk Jor. Karena itu kesadaran bahwa mereka sangat bergantung pada kelestarian laut yang mendorong warga kedua desa sepakat membentuk aturan adat yang dikenal dengan awik-awik.
Awalnya awik-awik laut adalah untuk mengatur penggunaan kerakat (pure sein) yang tidak boleh beroperasi di Teluk Jor, juga kerakat oros (sejenis alat tangkap cantrang) yang dilarang beroperasi di sekitar kawasan mangrove. Awik-awik juga ditujukan untuk mengatur tidak boleh penggunaan bom dan potasium (sianida) di tingkat warga.
Awik-awik pun turut mengatur kegiatan pencarian ikan secara tradisional yang disebut mada’ dengan menetapkan penggunaan gareng (semacam tombak mata capit) yang tidak boleh lebih dari tiga ujung mata tombak.

Awik-Awik, Peredam Konflik Sosial
Dengan bertambahnya penduduk, maka berkembang pula perikanan budidaya di Teluk Jor, yang menjadikan perairan ini semakin padat dengan keramba jaring apung (KJA) milik warga.
Sejalan dengan maraknya budidaya lobster, KJA lobster menjadi tren di Teluk Jor pada sekitar tahun 2010-2015. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB pada tahun 2022 saja, jumlah KJA di Teluk Jukung sebanyak 6.069 lubang. Jumlah ini terus meningkatkan mengingat setiap tahun nelayan membangun lubang baru tanpa melaporkan ke dinas secara resmi.
Untuk menjaga persaingan para pembudidaya dapat berjalan sehat, awik-awik mengatur jarak antar satu bagang ke bagang lainnya adalah 50 meter. Aturan ini pun mengatur KJA sehingga jarak antar satu KJA ke KJA lainnya harus bisa dilewati satu perahu bercadik yang memakai penyeimbang kiri-kanan diantara lunas perahu.
Untuk penerang, tiap satu bagang tak boleh melebihi kekuatan tiga lampu petromax. Para nelayan baru yang akan membuat keramba pun wajib berkoordinasi dengan nelayan lama sebelum menempatkan keramba mereka.
Berkembangnya budaya tulis dan seiring meningkatnya aktivitas budidaya lobster, menyebabkan awik-awik yang tadinya hanya bersifat lisan sejak 1970-an mulai diformalkan dalam bentuk tulisan. Pada tahun 2013 Perwakilan BPD kedua desa menyepakati aturan ini yang tujuannya untuk mengurangi konflik ruang laut yang dapat terjadi akibat maraknya KJA.
“Nelayan Jerowaru dan Paremas mengelola teluk yang sama, Teluk Jor, jadinya tata kelolanya harus diatur,” kata Sahman, Kepala Desa Paremas menyebutkan kepada Mongabay, Jumat (8/5/2025).

Sahman mencontohkan sebuah kasus yang pernah terjadi. Seorang pengusaha dari luar Kecamatan Jerowaru yang ingin membuat KJA di Teluk Jor yang mendaftar secara online melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Izinnya keluar dan mendapatkan koordinat untuk memasang KJA. Namun, ketika sampai di lokasi, di titik koodinat yang ditentukan itu sudah ada KJA lainnya. Walhasil cekcok pun terjadi, masyarakat lalu membuat pengaduan ke pemerintah desa.
Warga yang sudah memiliki KJA pun bersikeras bahwa mereka sudah berusaha sejak lama. “Kadang keluar titik koordinat itu tanpa melihat fakta di lapangan, sudah banyak terisi KJA,’’ kata Sahman. “Ini yang perlu penyelesaian di tingkat lokal.”
Akhirnya diputuskan bahwa pengusaha luar desa yang ingin membangun KJA harus berkoodinasi dengan nelayan dan pemerintah Desa Paremas dan Desa Jerowaru. Persoalan pun bisa diselesaikan dengan dialog antar pihak yang dimediasi oleh pihak desa.
“Masyarakat dua desa ini kalau mau bangun KJA mereka harus rembuk keluarga, rembuk dengan nelayan lainnya untuk mengatur di mana lokasi dan jaraknya. Tidak bisa semau-maunya,’’ lanjut Sahman.
Keberadaan awik-awik terbukti efektif menyelesaikan sengketa antar nelayan. Dalam satu kasus lain, dua nelayan berbeda berselisih soal jarak bagang.
Contohnya, seorang nelayan bernama Haji Sahrul sempat tidak setuju dengan pembangunan bagang yang dilakukan oleh nelayan lainnya Amaq Idi. Dalam proses mediasi di kantor desa, Idi tetap membangun karena dalam penempatan bagangnya sudah sesuai jarak ketentuan yang diatur awik-awik. Pertemuan berakhir, Sahrul pun akhirnya menerima keputusan itu.
Seperti aturan hukum negara, keputusan dalam awik-awik bersifat final. Ini pun mencakup jika ada sanksi bagi warga yang melanggar.
“Sanksi sosial dalam awik-awik lebih ditakuti. Sekali melanggar, reputasi [si pelaku] bisa rusak,” ujar Muhammad Nasrudin, Kepala Desa Jerowaru.

Direktur Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah yang ikut mendampingi dan memfasilitasi penyusunan peraturan bersama kepala desa mengatakan praktik yang dilakukan nelayan di kedua desa bisa menjadi contoh pengelolaan pesisir di tempat lain.
“Masalah yang ada cukup diselesaikan di tingkat desa dan jadi tidak melebar kemana-mana,’’ sebutnya.
Dia mencontohkan perkara lain perihal penggunaan lampu di atas bagang. Pada zaman dulu, masyarakat memasang tiga lamput minyak petromax di atas bagang. Lampu itu tujuannya untuk menarik minat ikan mendekat ke bagang. Dengan bantuan cahaya petromax, saat jaring diturunkan ikan pun berkumpul, dan siap diangkat.
Namun, zaman yang berubah membuat para nelayan tidak lagi menggunakan petromax, tapi menggunakan lampu yang sumber listrinya dari genset. Awik-awik ini mengatur agar lampu dari bohlam tidak sampai melebihi kekuatan cahaya tiga petromax.
Ini bertujuan agar lampu dari satu bagang jangan sampai mendominasi di sebuah kawasan tempat bagang-bagang berdiri. Lampu yang lebih terang menyedot perhatian ikan yang lebih banyak.
“Kalau punya modal besar semau-maunya nanti pasang lampunya, bagang yang lain sulit dapat ikan karena semua ikan ke bagang besar yang memiliki banyak modal untuk pasang lampu,’’ jelas Nasrudin. Hal-hal seperti ini jelasnya penting untuk diatur agar terjadi persaingan yang sehat di tingkat nelayan.
Dalam konteks lebih luas, awik-awik sebenarnya tidak hanya tentang kesepakatan ruang hidup dan sumber penghidupan bagi masyarakat di teluk Jor. Keberadaannya turut berperan menjaga nilai beserta menghindari tindakan dan perbuatan yang merusak.

Aturan Lokal dan Kendala Legalitas Hukum
Dalam perkembangannya, pemerintah kedua desa sadar jika awik-awik ini perlu mendapatkan legalitas yang lebih kuat. Pada tahun 2024, Desa Jerowaru dan Desa Paremas sepakat mengeluarkan peraturan bersama pemanfaatan dan keberlanjutan pesisir dan laut kawasan Teluk Jor.
“Peraturan Bersama Kepala Desa (Permakades) ini memperkuat awik-awik yang sudah ada,’’ kata Sahman. Tujuannya untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya dan keberlanjutan kawasan pesisir di Teluk Jor.
Meski efektif, namun aturan ini menghadapi kendala legalitas. Sebab pada UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, regulasi ini telah menarik kewenangan kelautan ke pusat, membuat desa kehilangan legitimasi formal untuk mengelola laut.
Saat dijumpai, Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum Sekertaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Aang Rizal menerangkan, bahwa secara regulasi negara awik-awik sulit diakui.
Pasalnya, pemanfaatan kawasan kelola pesisir saat ini tidak lagi di daerah, tetapi sudah berada di kewenangan pemerintah pusat.
“Jika mengacu pada regulasi, maka dalam konteks awik-awik, Desa tidak memiliki kedudukan maupun kewenangan mengelola sektor perikanan dan kelautan,” sebut Aang.
Aang mengakui, Pemerintah Daerah sulit mengambil peran dalam hal ini. Sekalipun tahu ihwal potensi wilayahnya termasuk warisan aturan lokal adat, potensi ekonomi hingga persoalan lingkungan, namun porsi dan posisi sebagai penentu kebijakan, otonominya sudah tidak berlaku lagi saat ini.
“Tentunya ini berdampak pada dukungan dari Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten terhadap desa,” lanjutnya.
Meski demikian, Aang bilang peluangnya ada di Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang semangatnya memberikan kewenangan kepada Desa untuk mengatur serta mengelola sumberdaya alam secara lokal, termasuk dalam hal konservasi.

Dalam aturan ini, Desa bisa membentuk regulasi dalam bentuk peraturan kepala desa melalui mekanisme musyawarah dengan masyarakat. Secara yuridis, Desa diberikan ruang untuk membuat peraturan, termasuk menetapkan peraturan desa yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk konservasi.
Untuk itu jelasnya, lewat Dinas teknis di Pemprov NTB, kini sedang didorong perumusan Perda yang mengakui hukum lokal seperti awik-awik, yang selaras dengan kebijakan nasional, sekaligus bisa memberi ruang perlindungan hukum kepada masyarakat pesisir.
Salah satunya perihal pengelolaan ruang laut yang terhitung dari 0 hingga 12 mil. Sehingga aturan awik-awik bisa dimasukkan sebagai bagian dari zona pemanfaatan.
“Kami sedang merancang Perda terkait pengelolaan sumber perikanan dengan memberdayakan masyarakat pesisir,” jelas Lalu Parjadinata, Plt Kepala Bidang Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Pulau-Pulau Kecil (P2SDP3K) NTB, membenarkan hal itu.
Menurutnya, keberadaan Permakades selaras dengan fungsi Pemprov NTB dalam perlindungan dan pelestarian kawasan pesisir. Hanya saja perlu diperkuat dengan beberapa regulasi agar mudah diimplementasikan.
Di balik masih terkendalanya Permakades di mata hukum positif, namun awik-awik di Teluk Jor adalah contoh nyata bagaimana warga dapat berpartisipasi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan di daerahnya.
Artikel ini hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan WGII dan LPSDN.
*****
Foto utama: Keramba Jaring Apung (KJA), tempat budidaya perikanan laut yang ada di Teluk Jor, Lombok Timur, NTB. Foto: Donny Iqbal