- Warga Desa Buruk Bakul, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau, cemas dengar kabar akan ada kawasan industri di daerah mereka. Suhana, warga Buruk Bakul, sudah lama mendengar desas-desus rencana proyek tetapi tak mengerti sama sekali.
- Kawasan Industri Bukit Bandar membentang dari tepi laut hingga ke seberang jalan lintas Pakning–Dumai. Area 500 hektar jadi fokus utama berada di sisi laut, mencakup kampung tua, perkebunan dan kawasan mangrove.
- Khaidir, Ketua Sekat Bakau meminta, pemerintah daerah terbuka dengan rencana pengembangan kawasan industri. Niat memajukan kampung harus pemerintah sampaikan dengan itikad baik. Respon dan pendapat warga, harus pemerintah dengar dan pertimbangkan.
- Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, menganjurkan pemerintah daerah jujur pada warga. Pemerintah juga harus membuka ruang dialog yang adil dan setara, termasuk menanggapi respon masyarakat dengan solusi terbaik.
Warga Desa Buruk Bakul, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau, cemas dengar kabar akan ada kawasan industri di daerah mereka. Suhana, warga Buruk Bakul, sudah lama mendengar desas-desus rencana proyek tetapi tak mengerti sama sekali.
Halaman rumah perempuan 34 tahun ini untuk menyambut Gubernur Riau Abdul Wahid, 21 Maret lalu. Sehari sebelumnya, pemerintah desa mendirikan tenda. Wahid, panggilan Abdul Wahid, membawa Eri Ikhsan, Kepala Dinas PUPR-PKPP; Boby Rachmat, Kepala Dinas Ketenagakerjaan; serta Helmi, Kepala Dinas Perizinan Satu Pintu.
Sejumlah pejabat Pemerintah Bengkalis menyambut gubernur. Ada Andris Wasono, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Bengkalis dan Rinto, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bengkalis.
Rombongan itu meninjau lokasi proyek, persis di sebelah rumah Suhana, sekitar satu kilometer ke arah laut. Mereka berdiri di jembatan kayu kecil yang membelah parit, sembari memperhatikan selembar peta.
Jembatan itu masih tampak ketika Mongabay ke lokasi dua bulan kemudian. Sisi kiri, tengah berlangsung pengerjaan gardu induk.
Gardu induk ini merupakan proyek interkoneksi listrik dari Pulau Sumatera dan Pulau Bengkalis. Dari Buruk Bukul, listrik akan tersalur melalui kabel bawah laut ke Desa Pangkalan Batang, Kecamatan Bengkalis.
Garduk induk persis di depan rumah Suhana. Kabarnya ia juga mendukung pengembangan kawasan industri.
Pada sisi kanan proyek ini terpacak papan pemberitahuan: “tanah ini milik Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Dilarang melakukan aktivitas apa pun tanpa izin.”
Lahan ini sebagian dari 2.900 hektar luas kawasan industri yang Pemerintah Bengkalis alokasikan.
Wahid sempat berpidato di bawah tenda halaman rumah Suhana. Seingat Suhana, berlangsung lebih kurang 20 menit. Dia tak menyaksikan langsung, dari dalam rumah, dia mendengar Wahid menyampaikan akan terbangun kawasan industri dan investor segera datang.
Seingat Suhana, tak banyak warga meramaikan kedatangan Wahid. Hanya beberapa orang mendekat. Suhana mengatakan, kursi yang pemerintah desa sediakan hanya penuh oleh tamu dari pemerintah kabupaten maupun provinsi.
“Warga tak diundang. Warga yang mendekat bisa dihitung. Tak ada juga gubernur menyapa dan menegur. Tak ada tanya jawab setelah gubernur pidato. Dia juga tak beri kesempatan untuk bertanya (dialog),” katanya.
Dia penasaran. Sore, ketika orang-orang membongkar tenda, dia bertanya ke Sekretaris Desa Buruk Bakul, Beny Setiawan, tentang proyek itu. Dari sana, dia mulai cemas.

Ketika kawasan industri jalan, rumah masyarakat bakal tergusur. Mulai dari kantor desa sampai ujung pemukiman, sebelah laut akan terdampak.
“Kalau digusur jadi kayak Rempang (Rempang Eco City, Batam, Kepulauan Riau) kami. Tanah sekarang mahal. Biaya bangun rumah lebih mahal lagi. Suami cuma kuli bangunan. Saya ibu rumah tangga,” ujar Suhana.
Kecemasan soal proyek kawasan industri Buruk Bakul juga menyelimuti pikiran Susanti. Kalau Suhana baru masuk ke desa itu mulai 2011 dan menetap rumah saat ini 2016, Susanti justru lahir di Buruk Bakul. Dia lebih lama mendengar ‘gosip’ kawasan industri ini.
Bahkan, kata Susanti, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sudah tak asing dengan rencana itu.
“Beberapa kali juga investor datang ke sini. Kedatangan gubernur, kemarin, itu kunjungan orang-orang yang kesekian kali.”
Begitu juga Safril dan Afrizal, nelayan yang tak lama lagi akan memasuki usia 50 tahun. Sejak remaja mereka juga pernah dengar di desanya akan ada industri perakitan sepeda motor. Keduanya bahkan sempat mengantar lamaran sebagai securiti ke Pulau Bengkalis.
Namun tak ada kelanjutan. Industri tak terealisasi. “Padahal sudah ada peletakan batu pertama. Lokasinya sekarang jadi area tanam mangrove,” kata Safril.
Safril dan Afrizal, bersama Suhana serta Susanti, tergabung dalam kelompok konservasi mangrove dengan nama Sekat Bakau. Lebih lima tahun, mereka banyak menanam mangrove dengan swadaya dan pembibitan mandiri.
Beda dengan Suhana dan Susanti, saat Abdul Wahid berkunjung, Safril dan Afrizal, turut mendekat dan mendengar pidato sang gubernur.
Dia masih belum mengerti, bentuk industri yang akan dibangun di desanya. “Gubernur tak ada sebut mau buat apa saja. Cuma ditetapkan industri saja. Di sini industri, di Desa Api-api pelabuhannya.”

Seperti apa kawasan industri di Buruk Bakul?
Pemerintah Bengkalis menegaskan, pengembangan kawasan industri tetap fokus di Buruk Bakul, kini resmi berganti nama menjadi Kawasan Industri Bukit Bandar (KIBB). Penamaan itu menggabungkan dua kecamatan yang bersebelahan: Bukit Batu dan Bandar Laksamana.
Terkait nama kawasan, Rinto, Kepala Bappeda Bengkalis, menjelaskan, perubahan nama dari Buruk Bakul menjadi Bukit Bandar, untuk mengakomodasi kemungkinan perluasan wilayah pengembangan kawasan industri ke desa-desa pesisir lain. Seperti Api-api dan Parit I Api-api yang masuk dalam administrasi Kecamatan Bandar Laksamana.
Kawasan industri Buruk Bakul merupakan usulan Pemerintah Bengkalis. Ketika proyek ini sampai ke provinsi, Wahid menginginkan penambahan luasan kawasan.
Rinto bilang, secara lokasi, kawasan awal tetap di Buruk Bakul. “Nama bisa menyesuaikan. Tapi dalam perizinan dan tata ruang, kita tetap akan konsultasikan ke kementerian agar tidak tumpang tindih,” katanya.
Sejak awal, katanya, Buruk Bakul sudah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bengkalis sebagai kawasan pengembangan industri seluas 2.904 hektar.
Penetapan ini, katanya, sudah selaras dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau. “Sejak 2012 sudah ada studi kelayakan, lalu 2017 disusun master plan. Tahun lalu kami review untuk menyesuaikan dengan dinamika terbaru,” katanya.
Dari hasil tinjau ulang itu, prioritas kawasan industri untuk tahap awal jadi 500 hektar. Lokasi ini tetap berada di Buruk Bakul dan akan fokus sebagai zona awal pengembangan.
Di atas lahan itu akan bangun pelabuhan logistik, fasilitas perkantoran, perumahan pekerja, serta infrastruktur pendukung lain. Mereka pakai pendekatan ini, katanya, agar pengembangan kawasan bisa lebih cepat dan efisien.
“Lahan 500 hektar itu prioritas. Sisanya, akan dikembangkan bertahap sesuai kebutuhan dan respon pasar.”
Jauh sebelum mendapat respon Pemerintah Riau, Pemerintah Bengkalis aktif berkoordinasi dengan kementerian terkait, khusus Kementerian Perindustrian dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Setelah dokumen studi kelayakan (feasibility study/FS) dan master plan hasil review selesai pada Oktober 2023, pemkab langsung mengajukan kawasan ini ke pemerintah pusat.
Pada Januari 2024, Pemkab Bengkalis Menteri Perindustrian undang mempresentasikan rencana kawasan industri ini. Dalam pertemuan itu, kawasan ini mereka nilai potensial dan layak, namun ada syarat penting harus terpenuhi, yaitu, pembentukan badan pengelola kawasan industri.
“Badan pengelola itu harus dari swasta atau BUMD (badan usaha milik daerah), tidak boleh birokrasi. Itu catatan dari kementerian,” kata Rinto.
Menyikapi ini, pemkab sedang menyiapkan pembentukan anak usaha dari BUMD kabupaten gabung BUMD Riau sebagai bentuk kerjasama antar daerah.
Sejak dapat tanggapan dari pemerintah pusat, proses koordinasi ini terus berjalan dengan dukungan penuh dari Pemerintah Riau, setelah Wahid jadi gubernur penghujung Februari lalu.

Tim Konsolidasi Bersama antara pemerintah kabupaten dan provinsi, dengan Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Riau, Job Kurniawan, sebagai penanggung jawab koordinasi.
Kawasan Industri Bukit Bandar mereka rancang dengan pendekatan multisektor, tidak dibatasi hanya untuk industri tertentu. Ada potensi besar untuk pengembangan sektor agro industri, makanan dan minuman, kimia dasar, tekstil, bahkan pengolahan limbah.
Menurut Rinto, potensi bahan baku dari Riau seperti sawit dan karet sangat mendukung hilirisasi industri. “Bahkan dalam dokumen DED (design engineering daerah) kita, ada proyeksi tenaga kerja yang bisa diserap sampai 5.000 orang di 500 hektar pertama.”
Kesiapan infrastruktur juga menjadi perhatian utama. Saat ini, PLN sedang membangun Gardu Induk (GI) besar di dalam kawasan industry tersebut. Gardu ini akan menjadi pusat distribusi listrik ke wilayah pesisir dan sekitarnya. Meski tidak terkait dengan kawasan industri, namun tidak dipungkiri akan menjadi penopang kebutuhan energi.
“Gardu induk ini dibangun dengan skema jangka panjang, untuk menopang kawasan industri dan juga distribusi ke Pulau Bengkalis, Dumai, hingga Buton,” kata Rinto.
Pelabuhan logistik akan terbangun di area dekat gardu induk, tepat di atas lahan Pemerintah Bengkalis.
Bakul, katanya, memiliki keunggulan kedalaman laut lebih baik dari wilayah sekitar seperti Dumai atau Buton. PT Pelindo juga mengkonflirmasi dalam kajian awal.
“Laut di sini dalam. Lebih bagus untuk kapal besar.”
Beberapa investor, katanya, sudah menunjukkan ketertarikan, baik dari Batam, Pekanbaru, hingga Tiongkok. Namun, mereka belum membuka kerjasama resmi sebelum badan pengelola terbentuk.
“Kita ingin semua investasi masuk lewat mekanisme resmi agar tertib.”
Kawasan Industri Bukit Bandar membentang dari tepi laut hingga ke seberang jalan lintas Pakning–Dumai. Area 500 hektar jadi fokus utama berada di sisi laut, mencakup kampung tua, perkebunan dan kawasan mangrove.
Pembangunan akan mulai dari zona dengan lahan sudah siap dan akses transportasi memadai. Nantinya, perluasan kawasan akan menyesuaikan dengan minat dan kebutuhan para investor yang masuk. “Kita fleksibel. Desainnya bisa disesuaikan.”
Dengan kesiapan perencanaan, dukungan infrastruktur, dan komitmen lintas pemerintah, Rinto optimis, Kawasan Industri Bukit Bandar akan jadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang strategis di pesisir timur Pulau Sumatera.
Informasi masih kabur, harus transparan
Konsep dan rencana pengembangan kawasan industri yang Rinto masih paparkan belum terdengar di telinga dan terang benderang di mata Khaidir, Ketua Sekat Bakau. Layaknya pembangunan, sosialisasi maupun dialog terbuka belum pernah pemerintah lakukan hingga kini.
Khaidir menilai, kunjungan pemerintah daerah beberapa kali di areal yang bakalan jadi kawasan industri terkesan tertutup dan diam-diam.
“Menganggap tak ada orang di kampung ini,” katanya, 16 Juni 2025.
Dia meminta, pemerintah daerah terbuka dengan rencana pengembangan kawasan industri. Niat memajukan kampung harus pemerintah sampaikan dengan itikad baik. Respon dan pendapat warga, katanya, harus pemerintah dengar dan pertimbangkan.
Masyarakat perlu tahu, nasib mereka ketika pembangunan berjalan.
Sekat Bakau, katanya, menekankan soal keberlangsungan hutan mangrove. Orangtua kampung, tentu mempertanyakan budaya keberlanjutan mereka. Masyarakat ingin memastikan nasib sosial, ekonomi dan lingkungan mereka.
Khaidir bilang, masyarakat mengharapkan tuah atas kedatangan pemerintah di desa bukan sebaliknya, sumpah serapah yang keluar dari mulut masyarakat itu sendiri. Sebagai masyarakat kampung, kedatangan orang luar tanpa permisi dia nilai tak beradab.
“Yang kita kesalkan, lakukanlah sesuai adab. Kalau mau membangun silakan. Masyarakat pasti setuju asal beberapa hal seiring dan sejalan.”
Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari, mendukung pernyataan Khaidir. Dia menganjurkan pemerintah daerah jujur pada warga.
Pemerintah juga harus membuka ruang dialog yang adil dan setara, termasuk menanggapi respon masyarakat dengan solusi terbaik.
Dia meyakini, mayoritas warga tak tahu dengan rencana dan konsep pembangunan kawasan industri di Buruk Bakul. Apalagi, katanya, risiko menggusur kampung tua warga huni bergenerasi.
“Jangan mentang-mentang bicara investasi tapi tidak jujur ke rakyat sendiri. Jangan main potong atas dan bertindak sendiri. Kalau tidak terbuka pada warga, (kawasan industri Buruk Bakul) bisa lebih heboh dari Rempang,” kata Okto.
Rempang yang Okto maksud adalah Rempang Eco City di Batam, Kepulauan Riau, yang menuai konflik besar antara masyarakat, pemerintah memalui aparat keamanan dan pelaku usaha. Salah satu penyebab meletusnya konflik, adalah upaya relokasi mendadak dan secara paksa.
Dia menyoroti cara berpikir pemerintah terlalu kuno karena ngotot kawasan industri masuk dalam Peraturan Daerah RTRW Bengkalis dan terintegrasi pada tata ruang provinsi. Mestinya, pemerintah memperhatikan realita di lapangan, bahwa Buruk Bakul bukan tanah kosong belaka. “Kenapa pemerintah menjadikannya kawasan industri?”
Dia juga pertanyakan urgensi pengembangan kawasan industri di Buruk Bakul karena harus merusak hutan mangrove, pemukiman hingga penghidupan masyarakat.
Bila pemerintah hendak memburu ekonomi baru di tengah minimnya pendapatan daerah, Okto menyarankan memaksimalkan pemasukan dari sumber daya alam dari sawit dan kehutanan yang sudah ada.
Misal, mengejar pendapatan yang kecolongan dari sawit ilegal 1,8 juta hektar di Riau. Termasuk penerimaan dana bagi Hasil (DBH) dan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang terlalu kecil.
Masalah ini pernah Suhardiman Amby, ungkapkan saat jadi anggota DPRD Riau pada 2019. Waktu itu, dia Sekretaris Komisi III sekaligus Ketua Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Izin Lahan. Sekarang, jadi Bupati Kuantan Singingi.
Sampai saat ini, persoalan itu masih dan terus anggota DPRD Riau suarakan. Bahkan, ini jadi penyebab defisitnya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Riau.
*****