- Kementerian Kehutanan mencabut Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) untuk kegiatan pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan (Konkep) Sulawesi Tenggara (Sulteng). Langkah itu diambil menyusul adanya putusan hukum berkekuatan tetap dari Mahkamah Agung (MA).
- mendesak Pemerintah harus segera mencabut IUP GKP karena melanggar aturan, mengusut dugaan korupsi, dan mengembalikan lahan produktif kepada masyarakat tanpa menunggu putusan resmi lebih lanjut. LBH Makassar menilai pencabutan IPPKH harus dilakukan lebih awal tanpa desakan eksternal, serta perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kerugian ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya yang ditimbulkan.
- Laode Muhammad Aslan, pakar Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo menilai Pemerintah lalai dan lemah dalam pengawasan, menyebabkan kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan. Harus ada perhitungan kerugian yang valid untuk mengungkap dugaan korupsi dalam penerbitan IUP
- Sahidin (Wakil Ketua DPRD Konkep) menyebut GKP harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kerusakan lingkungan, dan Pemerintah menjadikan kasus Wawonii sebagai percontohan penyelesaian konflik tambang di pulau kecil. Warga Wawonii mendesak pemulihan lingkungan, akses air bersih, dan pengembalian lahan kepada pemilik sah, serta mencegah konflik baru setelah penghentian aktivitas tambang
Kementerian Kehutanan mencabut izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) untuk pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan (Konkep) Sulawesi Tenggara (Sulteng). Langkah itu menyusul putusan hukum berkekuatan tetap dari Mahkamah Agung (MA).
“Pencabutan PPKH di Pulau Wawonii bukan karena izin bidangnya dicabut, namun karena ada putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan masyarakat untuk pencabutan SK PPKH tersebut,” kata Ade Triaji Kusumah, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, dalam siaran persnya.
PPKH, katanya, keluar setelah ada izin usaha pertambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) atau pemerintah daerah melalui Dinas ESDM. Juga, rekomendasi daerah (gubernur atau bupati/wali kota), serta izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup atau Dinas Lingkungan Hidup.
“Jika seluruh syarat tersebut terpenuhi, barulah Kementerian Kehutanan memberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan,” katanya dalam keterangannya, Selasa (17/6/25).
Menurut Ade, persetujuan ini disertai kewajiban teknis, antara lain penataan batas lokasi kegiatan agar tidak melebihi area izin serta penyusunan dan penataan areal kerja (PAK). Selain itu, pemegang izin juga wajib melaksanakan reklamasi pasca tambang, dengan dana melalui jaminan reklamasi di KESDM.
Selain itu, pemegang izin juga wajib rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) dan melakukan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kepada sektor kehutanan. “Namun, karena izin utama dari sektor pertambangan telah dicabut [perintah pengadilan], maka secara otomatis persetujuan penggunaan kawasan hutan juga dihentikan, sesuai dengan prinsip legalitas yang berlaku,” ujar Ade. Sebaliknya, pencabutan PPKH juga bisa menjadi dasar pencabutan IUP.
Terkait protes masyarakat di Pulau Wawonii, Ade memaklumi. Protes itu sebagai bentuk kontrol publik. Terlebih jika ada pelanggaran batas wilayah, izin yang tidak lengkap, atau ketidaksesuaian dengan ketentuan.
Karena itu, dia pun mendorong masyarakat berkoordinasi dengan aparat penegak hukum kehutanan seperti Direktorat Jenderal Gakkum, atau aparat lokal (kepolisian/kejaksaan) yang tergabung dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan.

Perhitungan independen
“Kita apresiasi walaupun itu terlambat mengambil keputusan untuk pencabutan PPKH,” kata Andi Rahman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, Senin (16/6/25).
Dia meminta, pemerintah tidak setengah hati menegakkan keadilan dan melindungi pulau-pulau kecil. Karena itu, dia pun mendesak IUP GKP juga dicabut karena proses penerbitan dokumen tersebut melanggar ketentuan dantak sesuai prosedur.
Dia menuding, ada tindak pidana sejak putusan MA yang menguatkan putusan MK tentang larangan menambang di pulau kecil. Pasalnya, kendati sudah ada putusan MK itu, penambangan di lapangan terus berjalan.
GKP, kata Rahman, harus mengembalikan lahan kepada masyarakat, tanpa harus menunggu pencabutan IUP. Lahan bukan milik pemerintah atau perusahaan, melainkan punya masyarakat yang mereka klaim melalui PPKH.
Dia mendesak perusahaan mengganti kerugian warga karena tambang perusahaan baik baik aspek lingkungan maupun sosial. “Karena kita anggap selama ini mereka (GKP) melakukan kegiatan ilegal.”
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, menerima salinan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 264/2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.576/Menhut-II/2014, yang sebelumnya memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada GKP.
Keputusan itu mencabut izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 707,10 hektar di Konkep, pada 19 Mei 2025, lengkap dengan lampiran peta wilayah. Dengan demikian, secara hukum, anak usaha Harita Grup ini tidak lagi memiliki dasar legal untuk beraktivitas di kawasan hutan Pulau Wawonii.
“Kemenangan hukum, bukti negara-korporasi salah,” kata Jamil.
Pencabutan IPKH ini merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat Pulau Wawonii dalam menolak perampasan ruang hidup atas nama investasi tambang nikel.
IPKH ini tidak bisa sekadar sebagai koreksi administratif, melainkan bentuk pengakuan negara atas pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan yang sudah lama terjadi. Ini adalah langkah korektif terhadap praktik perampasan ruang hidup rakyat yang menyimpang dari keadilan.
“Bahkan dalam SK itu, poin ketujuh angka 4, ada penegasan, apabila terjadi pelanggaran pidana, GKP tidak dibebaskan dari sanksi pidana,” ucap Jamil.
Semestinya semua izin tambang GKP, termasuk IUP operasi produksi cabut total. Dia juga mendesak, pencabutan PPKH-PPKH yang lain.

Dampak sosial dan ekologis
Mirayati Amin, Koordinator Divisi Hak Perempuan, Anak dan Penyandang Disabilitas – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang turut mengadvokasi warga Wawonii menilai, pencabutan IPKH seharusnya sudah sejak dulu. Tanpa menunggu respons dari KPK maupun laporan masyarakat.
Seharusnya, sejak putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kasasi Nomor: 403 K/TUN/TF/2024 Majelis Hakim MA membatalkan putusan judex facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta nomor 367/B/2023/PT.TUN.JKT dan menguatkan putusan PTUN Jakarta bernomor: 167/G/TF/2023/PTUN.JKT,” kata Mirayati
Dalam aspek pertanggungjawaban atas kerusakan ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya, katanya, semua kerugian itu harus perusahaan tanggung.
Laode Muhammad Aslan, Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, juga merespon putusan Kemenhut. Dia menyesalkan langkah pemerintah lamban melarang penambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti di Pulau Wawonii.
Ketidakpedulian pemerintah dan lemahnya pengawasan menjadi faktor utama yang memperparah kerusakan lingkungan di Wawonii. Pertambangan nikel GKP merusak lingkungan hingga pada level sangat parah. “Bahkan, mungkin sampai kiamat tidak akan pulih lagi,” katanya geram.
Sebelumnya, pemerintah terkesan tidak netral. Penerbitan IUP untuk GKP, kata Aslan, sebagai pembiaran atas perampokan kekayaan alam di pulau kecil yang secara nyata dilarang. Akibatnya, negara merugi hingga triliunan rupiah.
Dia mendesak, berbagai pihak segera menghitung kerugian yang objektif dan transparan baik dari pihak GKP dan pihak independen, atas dampak penambangan di Wawonii.
“Dia (GKP) bisa buat juga hitungan sendiri lalu diuji secara akademik. Mana yang lebih valid, lebih sahih hitungannya.”
Hasil perhitungan itu bisa menjadi dasar untuk mengungkap dugaan korupsi di balik penerbitan IUP GKP yang menyalahi Undang-undang.

Baru PPKH, kapan cabut IUP?
Sahidin, Wakil Ketua DPRD Konkep, penghentian operasi GKP di Pulau Wawonii berlaku sejak 9 Mei 2025, berdasarkan surat dari pemerintah pusat yang dia terima. Penghentian operasi ini merupakan langkah pertama dari proses hukum yang melibatkan Kejaksaan Agung dan KPK, yang mulai sejak 28 April 2025.
DPRD Konkep telah mengajukan permohonan pencabutan izin GKP pada 13 dan 17 Februari 2025 ke tiga kementerian, KESDM, Kemenhut dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Alhamdulillah sejak 19 Mei 2025 Kementerian Kehutanan sudah mencabut PPKH GKP, sementara di KSDM masih proses,” katanya.
Sahidin optimis IUP GKP akan dicabut sepenuhnya karena dasar hukum IUP lemah. GKP tidak memiliki izin lingkungan, sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan. Dia pun meminta GKP bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan; termasuk kerusakan hutan, dan melakukan pemulihan seperti sebelumnya. ‘
Dia menegaskan, langkah selanjutnya adalah bagaimana memproses bidang pidana dan menjadikan Wawonii sebagai percontohan penyelesaian kasus penambangan di pulau-pulau kecil lainnya.
LBH Makassar menyoroti Polda Sultra yang tidak menindak tegas laporan pidana warga sejak 2019, hingga kini tidak ada titik terang seperti apa perkembangan laporan mereka. Telah banyak upaya yang Warga Wawonii tempuh untuk mencari keadilan.
Sebaliknya, upaya warga mempertahankan tanah kena tuding penghalang investasi. “Dalam catatan kami, kurang lebih 44 orang mengalami kriminalisasi selama GKP beraktivitas,” ucap Mirayati.
Kini, Yamir, warga lokal bersama warga beberapa desa di Wawonii Tenggara yang terdampak kerusakan lingkungan dari aktivitas penambangan nikel GKP terus memonitor implementasi Kemenhut yang mencabut PPKH GKP.
Meskipun aktivitas GKP kini berhenti, masih terlihat beberapa alat berat berada di lokasi proyek. Masalah utama tersisa adalah akses air bersih dan pencemaran sungai masih keruh karena lumpur, terutama setelah hujan.
Harapannya, perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, termasuk reklamasi lahan dan pemulihan sumber air. Warga berharap GKP menarik diri setelah putusan dan mengembalikan lahan yang telah diambil secara paksa.
*****