- Polemik empat pulau Aceh yang sempat pindah administrasi ke Sumatera Utara, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, tidak lepas dari potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Meski akhirnya kembali ke Aceh, masyarakat sipil menilai pemerintah ingin menguras potensi migas dan perikanan yang harusnya jadi hak Bumi Serambi Mekkah.
- Nasri Jalal, Kepala Badan Pengelola Migas Aceh, dalam saluran Youtube MetroTV, membenarkan adanya cadangan migas di 4 pulau tersebut, karena dekat dengan blok offshore southwest Aceh atau blok Singkil. Meskipun demikian, perlu studi lebih lanjut untuk mengetahui besaran potensi cadangan migasnya.
- Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, menyatakan, empat pulau tersebut jadi andalan nelayan mencari tuna. Melimpahnya sumber daya perikanan di sana membuat nelayan dari Sibolg dan Tapanuli Tengah ikut mencari peruntungan di sana. Bahkan, tidak jarang pula nelayan tradisional Aceh Singkil melihat kapal-kapal asing masuk dan mencuri ikan di wilayah itu.
- Subkiyadi, dari Sentral Referendum Aceh (SIRA), saat Mongabay hubungi menyebut pemerintah hanya berfokus pada sumber daya alam semata saat memindahkan administrasi 4 pulau Aceh ke Sumatera Utara. Padahal, ada jejak historis dan budaya Aceh yang kuat di pulau tersebut yang harusnya jadi kajian sebelum menelurkan Kepmendagri nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Polemik empat pulau Aceh yang sempat pindah administrasi ke Sumatera Utara (Sumut), Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, tidak lepas dari potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Meski akhirnya kembali ke Aceh, masyarakat sipil menilai pemerintah ingin menguras potensi migas dan perikanan yang harusnya jadi hak Bumi Serambi Mekkah.
Nasri Jalal, Kepala Badan Pengelola Migas Aceh, dalam saluran Youtube MetroTV, membenarkan ada cadangan migas di empat pulau itu, karena dekat dengan Blok Offshore Southwest Aceh atau Blok Singkil. Meskipun demikian, perlu studi lebih lanjut untuk mengetahui besaran potensi cadangan migasnya.
“Itu joint study area. tapi belum ada studi seismik untuk mengetahui cadangan di sana.”
Sedangkan untuk potensi perikanan, Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyatakan, empat pulau itu jadi andalan nelayan mencari tuna. Melimpahnya sumber daya perikanan di sana membuat nelayan dari Sibolga dan Tapanuli Tengah ikut mencari peruntungan di sana. Bahkan, tidak jarang pula nelayan tradisional Aceh Singkil melihat kapal-kapal asing masuk dan mencuri ikan di wilayah itu.
“Sehingga tidak mengejutkan apabila Gubernur Sumut, Bobby Nasution begitu berambisi untuk menguasai ke-4 pulau memiliki sumber daya ikan berlimpah di sana,” katanya pada Mongabay, Selasa (17/6/25).
Catatan Kiara, produksi perikanan tangkap laut di Aceh mengalami peningkatan setelah turun drastis pada 2021 yang hanya berjumlah 222.422 ton. Tahun 2023, jumlah mencapai 291.676 ton. Selain tuna, ikan kuwe menjadi andalan tangkapan di Aceh Singkil dengan tangkapan 2.492 ton tahun 2023.
Karena itu, alih-alih berpolemik, Susan meminta pemerintah melakukan kontrol kuat terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan di sana. Di antaranya dengan mencegah penangkapan ikan berlebihan dan menjaga kelestarian karang yang penting untuk pertumbuhan beragam biota laut, termasuk tuna.
Selama ini, katanya, nelayan tradisional Aceh melakukan praktik penangkapan yang ramah lingkungan dan tak berlebihan. Sedangkan, banyak nelayan dari Sumut yang menggunakan alat tangkap yang merusak. Belum lagi dengan kapal-kapal besar yang hilir-mudik di perairan itu.
“Laut Indonesia open access, namun harus dilihat yang masuk ke perairan pulau ini apakah kapal-kapal skala industri atau kapal nelayan tradisional antara 7-10 GT.”
Keduanya memiliki karakteristik berbeda. Kalau nelayan tradisional yang mendominasi perairan, maka mereka akan sangat berhati-hati dalam menangkap ikan.
Tidak seperti kapal besar skala industri. “Yang mengambil ikan dengan sangat banyak dan nantinya akan habislah potensi ikan di sana.”
Menurut dia, bukan tak mungkin perebutan administrasi empat pulau ini berkaitan dengan upaya eksploitasi sumber daya alam migas dan perikanan. Ujungnya, nelayan akan rugi karena kehilangan sumber mata pencaharian karena eksploitasi laut dan eksplorasi migas. Juga, laut mereka terancam rusak karena dampak aktivitas itu.
“Kawan di Aceh Harus melihat ini dengan serius. Apabila eksplorasi dan eksploitasi migas terjadi tanpa kendali, Yakinlah kita tidak akan pernah lagi bisa melihat karang-karang begitu indah di empat pulau tersebut, ikan-ikannya juga akan mati dan sulit ditemukan termasuk ekosistem di sana juga terancam hancur,” katanya.
Dia mengaku tidak anti investasi, tetapi negara kerap tidak menunjukkan keseriusan dalam memberikan sanksi pada perusak lingkungan ataupun menindak investasi yang berdampak buruk pada lingkungan. Apalagi, rezim UU Cipta Kerja menekankan sanksi yang bersifat administratif dan menegasikan sanksi pidana.
“Sudah banyak contoh di Indonesia karena eksplorasi dan eksploitasi yang buruk menyebabkan pencemaran dan kehancuran lingkungan serta ruang kelola hidup masyarakat terdampak.”

Jejak budaya Aceh
Subkiyadi, dari Sentral Referendum Aceh (SIRA), saat Mongabay hubungi menyebut, pemerintah hanya berfokus pada sumber daya alam semata saat memindahkan administrasi empat pulau Aceh ke Sumatera Utara. Padahal, ada jejak historis dan budaya Aceh yang kuat di pulau itu yang harusnya jadi kajian sebelum menelurkan Kepmendagri nomor 300.2.2-2138/2025.
“Di sana ada Tugu tentang sejarah kerajaan Aceh, kemudian ada kuburan leluhur keturunan masyarakat Singkil serta bukti-bukti sejarah lain yang ini semua tak dimiliki oleh Sumut sebagai daerah mengklaim empat pulau itu milik mereka,” katanya, Sabtu (14/6/25).
Mereka, katanya, juga memiliki aturan hukum adat yang harus mereka patuhi. Bahkan, masyarakat Sumut yang tinggal di Aceh Singkil pun mematuhinya.
Contoh, aturan hukum adat yang melarang nelayan melaut pada hari Jumat. Pelanggarnya harus membayar denda atau memotong kerbau dan kambing.
Menurut dia, banyak nelayan dengan puluhan kapal yang menerima hukuman adat dari Panglima Laut karena melanggar larangan itu. Kebanyakan, berasal dari perbatasan Aceh Singkil, yakni Sibolga dan Tapanuli Tengah. mereka patuh akan hukuman.
“Sehingga menunjukkan kalau rakyat Sumut pun tahu bahwa 4 pulau itu milik Aceh. Faktanya mereka mengikuti otoritas adat Aceh.”
Crisna Akbar, Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan, menyebut, upaya pemindahan administrasi empat pulau Aceh ke Sumut berkaitan erat dengan minimnya sumber daya perikanan di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Jadi, nelayan di dua kabupaten itu bisa menangkap ikan di perairan empat pulau itu. Juga, menggunakan alat tangkap mereka, pukat trol atau pukat hela yang tidak ramah lingkungan.
Dari catatannya, Polairud dan Marinir mengamankan puluhan kapal ikan dari Sibolga dan Tapanuli Selatan yang menangkap ikan di daerah perairan Aceh Singkil. Mereka bersalah karena melanggar batas wilayah dan menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan.
“Ini menjadi salah satu trigger mengapa Sumut berharap 4 pulau ini berada di wilayah kewenangan adminsitratif mereka,” katanya pada Mongabay, Sabtu (14/6/25).
Menurut dia, upaya pemindahan administrasi empat pulau ini ke Sumut mengangkangi sejarah di pulau-pulau itu, misal. Pulau Panjang, merupakan pulau terdepan, ada tugu cagar budaya Pemerintah Aceh Singkil bangun. Pembangunan tugu ini berdasarkan cerita sejarah dari salah satu kerajaan Aceh di pulau tersebut.
“Sebenarnya beberapa penelitian terdahulu baik yang dilakukan dalam konteks peneliti lokal maupun secara internasional, ini sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Aceh.”

*****