Indonesia hari ini, kekerasan terhadap pembela lingkungan dan tanah adat bukan lagi sebuah anomali. Ia telah menjelma menjadi pola yang berulang. Hampir setiap hari, kita dapat suguhan kabar bentrokan antara warga dan kekuasaan—tentang negara yang tak lagi menjadi pelindung rakyat–, melainkan menyatu dengan kepentingan industri ekstraktif.
Salah satu episode tragis terbaru datang dari Halmahera, Maluku Utara. Dulu daerah ini terkenal sebagai tanah rempah, wilayah ini kini berubah menjadi tapak tambang nikel. Hutan, pegunungan, laut, hingga kampung-kampung adat dipetakan ulang demi pasokan bahan mentah ke pasar global. Tanah yang dahulu menjadi sumber kehidupan, kini menjadi jalur distribusi nikel.
Namun kerusakan tak hanya menimpa alam. Perampasan itu juga menyasar manusia. Hak atas tanah, ruang hidup, hingga martabat masyarakat adat yang telah lama menjaga wilayahnya, ikut dilucuti. Ironisnya, mereka yang bersuara justru ditangkap, difitnah, bahkan diseret ke pengadilan seolah-olah pelaku kriminal.

Kriminalisasi struktural
Fenomena itu terjadi di Maba Sangaji, Halmahera Timur. Pada 16–17 April 2025, puluhan warga memprotes PT Position—anak usaha PT Harum Energy Tbk—atas perampasan tanah dan perusakan hutan adat. Sungai-sungai yang dulu bening kini tercemar. Namun alih-alih didengar, aspirasi warga terbungkam lewat laporan polisi.[1]
Sebulan berselang, pada 16 Mei, 30 warga kena tangkap paksa aparat bersenjata lengkap. Padahal, mereka tak merusak fasilitas atau menyerang aparat, hanya berdiri di tanah leluhur mereka. Dari jumlah itu, 27 orang digiring ke Ternate, dan 11 langsung jadi tersangka.[2]
Peristiwa ini bukanlah insiden tunggal. Ia bagian dari pola sistemik: kriminalisasi terhadap warga yang menolak ekspansi industri ekstraktif. Masyarakat yang dahulu menanam pala dan menggantungkan hidup dari sungai, kini terseret ke meja hijau. Mereka dapat cap “preman”, “pemeras”, bahkan “pemakai narkoba”—tuduhan yang bukan sekadar pelintiran hukum, tetapi strategi menghancurkan legitimasi perjuangan.
Di titik ini, kepolisian tak lagi bertindak sebagai penjaga hukum, melainkan sebagai pelindung korporasi. Negara, lewat aparatus keamanannya, bukan hanya merampas tubuh warga, tetapi juga membunuh karakter mereka.
Ini tak hanya terjadi di Maba Sangaji. Di Buli, warga yang menolak PT Priven Lestari mengalami kriminalisasi. Di Kawasi, mereka yang protes penyerobotan tanah dan pemutusan listrik dituduh menghalang-halangi dan mencemarkan nama baik. Di kawasan industri nikel, PT IWIP, buruh yang menuntut hak justru diberhentikan dan kena hukum. Di Patani, protes terhadap tongkang berujung tuduhan sebagai pemicu kerusuhan.
Aparat bergerak cepat membungkam warga, namun tak pernah berkutik saat perusahaan melanggar hukum. Pada titik ini, kita melihat hukum kehilangan netralitasnya. Ia menjadi senjata yang mengarah ke bawah, dengan sarung yang dipegang oleh kekuasaan dan kapital.

Narasi jahat dan represi kognitif
Setelah borgol mengikat tubuh, narasi pun dibangun untuk membelenggu persepsi. Di Halmahera, warga yang menolak tambang tiba-tiba dituduh sebagai pengguna narkoba—tuduhan serius yang dilempar tanpa proses transparan, tanpa bukti yang dapat teruji publik.
Ini bukan sekadar tindakan hukum. Ini strategi simbolik yang sengaja dirancang untuk membuat para pembela lingkungan tampak tak bermoral, dan karena itu tak layak dipercaya.
Di tingkat lebih luas, strategi ini menjadi bentuk represi kognitif, upaya sistematis mengendalikan persepsi publik melalui manipulasi makna.
Dalam kajian represi sosial, ini disebut sebagai represi non-fisik—tekanan yang bekerja melalui pengaburan realitas (Davenport, 2000). Negara dan korporasi berupaya menampilkan aksi warga sebagai bentuk kekacauan, bukan perlawanan yang sah. Dengan demikian, mereka tak perlu selalu menggunakan kekerasan fisik—cukup menghancurkan citra mereka yang melawan.
Pola ini tampak konsisten. Di Kawasi, warga yang bicara kerusakan lingkungan kena tudingan menyebar hoaks. Di Buli, pasal-pasal karet untuk membingkai perlawanan sebagai gangguan pembangunan. Di Patani, penolakan terhadap tongkang dicap sebagai tindakan provokatif.
Semua ini menciptakan satu benang merah: warga jadi “masalah”, bukan sebagai subjek yang sah atas tanah dan hak hidupnya. Narasi resmi hanya menonjolkan “kerusuhan oleh warga”, sementara fakta-fakta tentang perampasan tanah dan kerusakan lingkungan terabaikan.
Dalam konteks ini, teori framing dari Entman (1993) sangat relevan. Negara dan media arus utama memiliki kuasa menentukan aspek mana dari konflik yang disorot, dan mana yang diabaikan. Maka yang muncul adalah cerita tentang “gangguan terhadap investasi”, bukan tentang pelanggaran hak adat atau hancurnya ekosistem.
Lebih parah lagi, sebagian media arus utama justru menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol, mereka hanya mengutip pernyataan aparat atau perusahaan, menyiarkan tuduhan tanpa verifikasi, dan meniadakan praduga tak bersalah.
Hasilnya, warga bukan hanya kehilangan kebebasan, juga martabat, nama baik, dan kepercayaan publik.
Represi semacam ini tak lagi terbatas pada ruang fisik seperti hutan dan kampung, tetapi meluas ke ruang simbolik: media, dunia digital, dan ruang persepsi publik. Jika dibiarkan, bukan hanya gerakan rakyat yang patah, melainkan kesadaran kolektif kita tentang kebenaran.

Ujian bagi demokrasi, cermin bagi Republik
Apa yang terjadi di Halmahera bukan sekadar konflik agraria. Ia mencerminkan krisis demokrasi lebih dalam—pertanyaan mendasar tentang siapa yang dilindungi hukum, dan siapa yang dikorbankan olehnya.
Saat suara dari kampung terbungkam demi kepentingan investasi, kita terpaksa bertanya: apakah hukum masih milik rakyat, atau telah menjadi alat kekuasaan dan modal?
Pertarungan antara masyarakat adat dan perusahaan tambang bukan semata soal tanah, melainkan tentang keadilan. Seharusnya negara hadir sebagai pelindung, bukan justru menjadi pelaksana niat buruk korporasi.
Sayangnya, yang terlihat hari ini adalah negara justru memuluskan jalan investasi, sekaligus menutup jalan bagi rakyat untuk bersuara.
Masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan air sesungguhnya sedang menjaga warisan moral bangsa. Mereka mengingatkan kita bahwa tanah bukan sekadar komoditas, tetapi ruang hidup dan identitas. Ketika negara merespons dengan kekerasan dan fitnah, yang terampas bukan hanya wilayah adat—juga martabat republik ini sendiri.
Setiap penangkapan sewenang-wenang dan penggusuran tanpa dialog adalah luka bagi demokrasi. Demokrasi tidak teruji di bilik suara semata, tetapi dalam kesediaan mendengar suara dari pinggiran.
Hari ini, republik sedang bercermin. Wajah yang tampak adalah wajah buram: kabur oleh kompromi dengan kekuasaan, pengabaian terhadap konstitusi, dan bisu terhadap jeritan rakyat kecil.
Maka pertanyaannya: apakah kita masih punya republik yang berpihak pada keadilan sosial atau hanya negara yang tunduk pada kalkulasi laba?
Kalau suara dari Halmahera terus terabaikan, yang runtuh bukan hanya tatanan hukum, tetapi kepercayaan rakyat terhadap republik ini sendiri.

Catatan kaki:
[1] https://www.radarmalut.com/5631/regional/jatam-ungkap-11-warga-dipolisikan-pt-position-setelah-protes-lahannya-digusur
[2] https://jatam.org/id/lengkap/Polda-Malut-Kriminalisasi-Warga-Maba-Halmahera
* Penulis adalah Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Tulisan ini merupakan opini penulis.
*****