- Eceng gondok, flora pendatang dari Sungai Amazon, Brazil, telah menginvasi danau-danau dan juga aliran sungai yang tenang di Indonesia.
- Tumbuhan yang memiliki bunga anggun ini, sekilas tampak tak berbahaya, namun sangat mengancam ekosistem perairan air tawar Indonesia.
- Masalah yang disebabkan oleh masifnya eceng gondok seperti terjadinya pendangkalan, tertutupnya permukaan perairan dan eutrofikasi.
- Meskipun eceng gondok adalah gulma yang meresahkan, skala keberadaannya yang masif di perairan Indonesia telah mendorong para peneliti dan masyarakat untuk mencari solusi inovatif. Di banyak tempat, eceng gondok mulai dipandang sebagai sumber daya dengan potensi yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi.
Di setiap sudut perairan tawar Indonesia, mulai dari danau-danau hingga aliran sungai yang tenang, sering kita jumpai hamparan hijau mengapung yang begitu mendominasi: eceng gondok. Tanaman dengan nama ilmiah Pontederia crassipes ini, dengan bunganya yang anggun, sekilas tampak tak berbahaya. Namun di balik keindahannya, eceng gondok ternyata mengancam ekosistem perairan di Indonesia.
Eceng gondok bukanlah flora asli nusantara. Tumbuhan yang berasal dari wilayah lembah Sungai Amazon di Brazil ini, pertama kali ditemukan dan dideskripsikan pada 1824 oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Phillip von Martius. Dia ahli botani berkebangsaan Jerman saat melakukan ekspedisi di Sungai Amazon.
Namun, sifatnya yang mudah beradaptasi dan berkembang biak dengan kecepatan luar biasa membuatnya cepat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di sinilah eceng gondok mendapatkan julukan gulma, istilah yang diberikan pada tumbuhan yang tumbuh begitu masif hingga merugikan ekosistem di sekitarnya.
Kecepatan reproduksinya sungguh mencengangkan. Dalam kondisi ideal, populasi eceng gondok dapat berlipat ganda dalam hitungan hari. Mereka membentuk “karpet” hijau tebal yang menutupi permukaan air, menciptakan serangkaian dampak negatif yang serius. Apalagi, bila didukung aktivitas manusia yang membuang limbah.

Di Danau Batur di Kintamani, Bali, danau alami di Indonesia, adalah contoh nyata bagaimana kegiatan manusia dapat memperburuk penyebaran eceng gondok. Penelitian yang dilakukan oleh Lisa Rosalia Prayuda dkk, mengungkap bahwa kualitas air Danau Batur mengalami penurunan karena berbagai aktivitas di sekitarnya, termasuk perikanan, pertanian, pariwisata, dan pemukiman.
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Marine and Aquatic Sciences tersebut secara spesifik menyoroti bahwa kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu penyumbang utama nutrien, terutama unsur nitrogen, ke dalam danau.
Sisa pakan dan kotoran ikan yang menumpuk di dasar perairan berkontribusi pada peningkatan limbah organik dan domestik. Selain itu, limbah dari kegiatan pertanian yang menggunakan pupuk berlebihan juga mengalir ke danau, menambah pasokan nutrien.
Peningkatan kadar nitrogen dan fosfor secara berlebihan ini memicu eutrofikasi, yaitu peristiwa peningkatan bahan organik dan nutrien yang membuat perairan menjadi sangat subur. Kondisi tersebut sangat ideal bagi eceng gondok, yang memiliki kemampuan luar biasa untuk berkembang biak dengan cepat dan menyerap nutrien.
“Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi sebuah masalah baru pada perairan yang dapat mengganggu ekosistem, seperti terjadinya pendangkalan, tertutupnya permukaan perairan dan eutrofikasi,” tulis para peneliti.
Penelitian mereka di Danau Batur menemukan bahwa, peningkatan biomassa eceng gondok paling tinggi terjadi di stasiun Songan, yang merupakan area dengan banyak keramba jaring apung. Pada akhir penelitian (hari ke-42), biomassa eceng gondok di stasiun Songan meningkat 338,2% dari berat awal, sementara di stasiun lain peningkatannya berkisar 75%-158%. Hal ini mendukung kesimpulan bahwa pertumbuhan eceng gondok cenderung lebih cepat pada kondisi nitrat yang lebih tinggi. Kadar nitrat di Danau Batur sendiri mengindikasikan perairan tersebut tergolong sangat subur eutrofikasi.

Fenomena serupa juga terjadi di Danau Limboto, Provinsi Gorontalo. Danau Limboto merupakan aset Gorontalo yang memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Namun, danau ini menghadapi masalah utama yaitu pendangkalan akibat sedimentasi.
Sedimentasi di Danau Limboto disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk erosi hutan, limbah rumah tangga, dan keberadaan eceng gondok itu sendiri, serta pembudidayaan ikan yang tidak ramah lingkungan. Sebuah penelitian mengenai eceng gondok di Danau Limboto menyebutkan bahwa masalah ini telah mendorong upaya pemodelan matematis untuk revitalisasi danau, termasuk rencana pengerukan.
“Pendangkalan di Danau Limboto terjadi karena adanya pembudidayaan ikan yang tidak ramah lingkungan dan perkembangan populasi tumbuhan air (eceng gondok) yang tidak terkendali di danau yang menyebabkan pengurangan daya tampung air di danau serta menyebabkan kehilangan air, karena proses evapotranspirasi yang berlebihan,” ujar para peneliti.

Mengubah gulma eceng gondok
Meskipun eceng gondok adalah gulma meresahkan, skala keberadaannya yang masif di perairan Indonesia telah mendorong para peneliti dan masyarakat untuk mencari solusi inovatif. Di banyak tempat, eceng gondok mulai dipandang sebagai sumber daya dengan potensi yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi.
Salah satu pemanfaatan paling menjanjikan adalah dalam bidang fitoremediasi. Eceng gondok memiliki kemampuan untuk menyerap polutan, termasuk logam berat dan kelebihan nutrisi seperti amonia dan fosfat dari air. Dengan pengelolaan yang tepat, eceng gondok dapat menjadi biofilter alami yang ekonomis dan ramah lingkungan, sehingga membuatnya sebagai agen alami yang efektif untuk membersihkan perairan yang tercemar, termasuk air limbah dari industri atau pertanian.
Selain itu, biomassa eceng gondok yang melimpah juga telah dieksplorasi untuk berbagai kegunaan lain. Sebuah studi kasus mengenai Waduk Jatiluhur, Purwakarta, di mana eceng gondok telah menyebar hingga 10% dari total luas waduk, menimbulkan ancaman ekosistem. Namun, melalui partisipasi masyarakat, khususnya Kelompok Tani Tirta Emas di Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, eceng gondok diolah menjadi humus aktif atau kompos dan pupuk cair.
Para peneliti menjelaskan, dengan pemanfaatan ini tidak hanya mengurangi volume eceng godok sebagai gulma yang invasif, tetapi juga mampu menciptakan nilai ekonomi masyarakat. Pengolahannya menjadi produk seperti humus memberikan keuntungan kepada kelompok petani, yakni dengan mengubah biaya pengelolaan gulma menjadi pendapatan.
Selain sebagai penyedia pupuk organik dan kompos, gulma ini bisa menyediakan bahan baku kerajinan. Sebab, batang eceng gondok yang kering dapat diolah menjadi berbagai produk kerajinan tangan yang menarik, seperti tas, sandal, atau perabot rumah tangga, sehingga memberikan nilai tambah lain. Penelitian ini juga mengeksplorasi potensi eceng gondok sebagai bahan dasar produksi biogas atau sebagai pakan tambahan untuk ternak, meskipun perlu perlakuan khusus.
Referensi:
Mahmud, S. L., Achmad, N., & Panigoro, H. S. (2020). Revitalisasi Danau Limboto dengan Pengerukan Endapan di Danau: Pemodelan, Analisis, dan Simulasinya. Jambura Journal of Biomathematics (JJBM), 1(1), 31-40.
Poernama, T., Pebriansyah, E., Arifin, A. L., & Yusuf, R. (2023). Ubah gulma menjadi emas: studi kasus pengolahan eceng gondok menjadi humus aktif & enzimatik di Waduk Jatiluhur Purwakarta. Entrepreneurship Bisnis Manajemen Akuntansi (E-BISMA), 43-66.
Prayuda, L. R., Arthana, I. W., & Dewi, A. P. W. K. (2017). Pengaruh Nitrat (NO3) Terhadap Pertumbuhan Alami Eceng Gondok (Eichornia crassipes Solms.) Berdasarkan Biomassa Basah Di Danau Batur, Kintamani, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(2), 215.
*****