- Upaya penyelamatan keanekaragaman hayati tidak boleh lepas dari aspek manusianya. Untuk itu, perlu upaya untuk merubah paradigma konservasi yang selama ini memisahkan antara satwa dan alam dengan manusia, melarang masyarakat datang ke area tersebut.
- Cindy Julianty, Program Manager Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menyampaikan hal tersebut dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/6/2025). Menurutnya, konsep konservasi tersebut kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal.
- Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management WGII mengatakan, wilayah konservasi yang masyarakat adat kelola ini turut melestarikan keanekaragaman hayati. Analisis merea, 66,4% dari keragaman jenis burung di Indonesia dan 22,8% dari keragaman jenis reptilia di Indonesia berada di wilayah yang teridentifikasi sebagai ICCA.
- Inge Retnowati, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, pihaknya akan membuat roadmap untuk melindungi kekayaan alam Indonesia.
Upaya penyelamatan keanekaragaman hayati tak boleh lepas dari aspek manusianya. Untuk itu, perlu upaya mengubah paradigma konservasi yang selama ini memisahkan antara satwa dan alam dengan manusia, hingga melarang masyarakat berada dalam kawasan itu.
Cindy Julianty, Program Manager Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menyatakan itu dalam diskusi di Jakarta, Rabu (4/6/25). Menurut dia, konsep konservasi kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal.
“Manusia bagian integral dari ekosistem, dia bukan bermusuhan atau berkompetisi dengan satwanya atau keanekaragaman hayatinya, justru manusia bagian dari resolusi itu sendiri,” katanya.
Saat ini, ada 56 taman nasional, 212 cagar alam, 73 suaka margasatwa, dan 130 taman wisata alam di bawah Kementerian Kehutanan. Tak semua melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Padahal, masyarakat adat punya peran penting dalam konservasi. Mereka sudah lakukan praktik konservasi jauh sebelum negara hadir.
Masyarakat adat, katanya, pasti punya pengetahuan konservasi. WGII mengelompokkan praktik pemanfaatan keanekaragaman hayati berbasis kearifan lokal ini jadi lima.
Pertama, melindungi kawasan dan akses terbatas. Masyarakat adat biasanya menyakralkan kawasan ini dengan alasan sejarah, budaya, dan spiritual. Juga, terdapat aturan ketat yang mengatur akses hingga sanksi.
Di Sulawesi Tengah, misal, masyarakat adat Tau Taa Wana menyakralkan hutan larangan dengan sebutan Pangale, yang tidak boleh ditebang, karena dipercaya sebagai tempat tinggal roh pelindung.

Masyarakat adat Pakpak, di Sumatera Utara, menyakralkan kawasan hutan dengan sebutan Tombak Raja. Sebagai tempat ritual dan perlindungan sumber air.
Kedua, pemanfaatan secara subsisten. Masyarakat adat menerapkan penggunaan sumber daya alam hanya untuk kebutuhan dasar, tanpa adanya unsur komersial.
Di Kalimantan Utara, misal, terdapat istilah Tana’ Ulen. Hutan adat Dayak Kenyah yang pemanenannya terbatas, dengan sistem larangan dan sanksi adat yang ketat untuk menjaga keberlanjutan sumber daya.
Juga istilah Ponolu di Sulawesi Tengah. Mengacu pada kawasan hutan adat yang menjadi sumber pangan dan obat, dikelola secara kolektif dengan larangan eksploitasi berlebih.
Ketiga, ekonomi tradisional skala kecil. Pemanfaatan dengan tujuan komersil untuk menghidupkan ekonomi lokal, biasanya dalam bentuk pasar tradisional, wisata, dan pengembangan potensi lokal.
Di Maluku Tengah mengenal Pasar Ikan Adat Kataloka. Sebuah ruang ekonomi komunitas pesisir yang berbasis dari hasil tangkapan laut adat, dengan tetap menerapkan batasan alat tangkap dan larangan merusak.
Keempat, pemanfaatan secara adaptif dan temporal. Praktik ini merupakan kombinasi antara perlindungan berbasis spesies atau ekosistem, yang juga dapat berkontribusi pada penguatan ekonomi lokal dengan memperhatikan ekologis.
Di Papua, dikenal praktik Yot, yang mengacu pada wilayah laut adat yang pengelolaannya melalui kesepakatan buka-tutup, untuk menangkap ikan dan menjaga habitat penting seperti padang lamun dan terumbu karang.
Sumatera, mengenal Lubuk Larangan. Sebuah ceruk sungai yang pemanfaatannya hanyai pada waktu tertentu, atas dasar musyawarah adat. Praktik ini untuk memungkinkan populasi ikan berkembang dengan baik.
Kelima, sistem agrosilvopastura-fisheries. Pemanfaatan yang memadukan permakultur dari perhutanan, peternakan, wilayah tangkap dan budidaya nelayan dengan menekankan pengelolaan multi-layer dan regeneratif.
WGII mencatat, total registrasi nasional Indigenous and Community Conserved Area (ICCA) atau area-area konservasi yang masyarakat adat dan komunitas lokal langsung mencapai 647.457,49 hektar hingga Mei 2025. Wilayah terbesar berada di Kalimantan yakni 385.744,26 hektar.
Pemetaan potensi ICCA di Indonesia seluas 23,82 juta hektar, lebih tinggi dari data 2024 sebesar 22 juta hektar. Potensi ICCA terbesar ada di Papua 9,37 juta hektar.
Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management WGII mengatakan, kawasan konservasi masyarakat adat ini turut melestarikan keanekaragaman hayati. Analisis merea, 66,4% dari keragaman jenis burung di Indonesia dan 22,8% dari keragaman jenis reptilia di Indonesia berada di wilayah yang teridentifikasi sebagai ICCA.

Hak pengakuan
Kynan Tegar, pemuda Dayak Iban dari Sungai Utik di Kalimantan Barat, turut hadir dalam kesempatan itu, berharap pengakuan bagi masyarakat adat tidak sebatas karena kontribusi mereka dalam menjaga keseimbangan ekologis. Tapi karena memang pengakuan adalah hak mereka.
“Kalau kami dilindungi hanya sebagai penjaga hutan, buat saya itu kurang manusiawi, kami patut mendapatkan perlindungan dan pengakuan, karena itu adalah hak kami sebagai masyarakat adat.”
Dia berharap, ada pengembalian kedaulatan pada masyarakat adat supaya mereka bisa menceritakan diri mereka sendiri. Salah satunya, menceritakan pemaknaan alam dalam diri mereka masing-masing.
Kynan memandang alam sebagai Ibu, Bapak, dan darah yang harus dia jaga. “Saya teringat ucapan kakek, tanah ini ibu kami, hutan ini bapak kami, dan sungai ini darah kami. Itu cara kami memperlakukan wilayah kami di sana.”
Filosofi pemaknaan itu, harusnya terpatri dalam benak setiap manusia. “Kalau semua kita berpikir gitu gimana? Kita berhenti memikirkan nikel yang ada di tanah, hanya sebagai nikel yang harus dikeluarkan untuk keuntungan ekonomi; atau kita melihatnya sebagai bagian dari leluhur kita yang terus hidup di dalam tanah.”
Afrida Erna Ngato, Kepala Suku Pagu, Halmahera Utara juga punya pemaknaan serupa mengenai alam. Bagi mereka, alam merupakan saudara tertua manusia.
“Alam itu saudara tertua. Kita saudara keenam atau bungsu. Dalam kepercayaan kami, manusia itu diciptakan Tuhan pada hari keenam, sedangkan alam semesta dan isinya diciptakan hari pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima.”
Sebagai anak bungsu, manusia tidak patut merusak atau durhaka terhadap saudara tertuanya. Ia bilang, jika manusia durhaka kepada alam, akan berakibat malapetaka.
“Kalau kita bertindak tidak baik ke mereka (alam), Tuhan marah toh. Kita selama ini menganggap alam hanya pelengkap, kita manusia yang utama. Coba bayangkan kita hidup tanpa nyamuk. Nyamuk biarkan selemah-lemahnya serangga dia punya manfaat lho. Tanpa nyamuk hewan lain tidak bisa hidup.”
Dia bilang, Suku Pagu mempraktikkan konservasi keanekaragaman hayati dengan pengetahuan lokal. Contoh, mereka tidak memperkenankan pengambilan kerang di laut sembarangan, harus memerhatikan musim.
“Dua minggu ini air besar berarti kerang boleh diambil. Tapi kalau lagi bulan gelap jangan! Karena itu kerang menyusut. Dia sedang memulihkan diri.”

Ancaman eksternal
Industri ekstraktif menjadi ancaman keanekaragaman hayati dan praktik konservasi masyarakat adat dan komunitas lokal. Mufti Barri, Direktur Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, nikel yang belakangan sedang pemerintah gandrungi jadi ancaman terbesar kehati.
“Baru-baru ini ramai tambang nikel di Raja Ampat, terus Morowali hingga Weda Bay,” katanya dalam diskusi itu.
Tambang nikel di pulau-pulau kecil, lanjutnya, sangat mengkhawatirkan bagi keanekaragaman hayati. Contohnya, Pulau Obi di Halmahera Selatan, yang jadi korban eksploitasi.
Padahal, luas hanya 2.542 kilometer persegi. Hanya terpaut 542 kilometer dari aturan pulau kecil yang tidak boleh ditambang–Undang-Undang 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, melarang eksploitasi pulau berukuran kurang dari 2.000 kilometer.
“Pulau Obi luasnya hanya beda 500 kilometeran, tapi dieksploitasi sedemikian rupa layaknya pulau besar.”

Senada dengan Afrida. Dulu, katanya, teluk Kao tempatnya bermukim merupakan tempat singgah burung migran dari Korea, Tiongkok, Australia, Jepang, dan Rusia, setiap bulan September-November.
Menurut dia, burung-burung itu mencari makan di Teluk Kao setiap musim dingin. Mereka biasa konsumsi kerang dan ikan. Namun, Teluk Kao kini tercemar limbah tambang nikel dari Halmahera Timur dan tambang emas dari Halmahera Utara.
“Ini kan merusak (biodiversitas). Kami tidak merasakan kerja Kementerian Lingkungan Hidup,” tegas kepala suku perempuan pertama di Maluku Utara ini.
Dia juga menyoroti peran Kementerian Lingkungan Hidup dalam mengadvokasi kerusakan alam akibat industri ekstraktif. Afrida meminta Kementerian Lingkungan Hidup aktif koordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral—sebagai pemangku izin tambang.
“Kita kan punya kekayaan yang mau dirusak ini. Pemerintah ini mana? Ketika kawasan esensi diserang, mereka diam! Saya naik kapal dari pulang ke kampung, saya lihat Pulau Obi itu botak, saya menangis.”
Inge Retnowati, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, pihaknya akan membuat roadmap untuk melindungi kekayaan alam Indonesia.
Dia menyebut, pemerintah akan terus memperkuat instrumen hukum. “Pembangunan itu suatu keharusan, tapi bagaimana menjaga keberlanjutan itu yang tidak bisa hindarkan,” ujarnya.
Inge tidak merinci ihwal ancaman kehati dari industri ekstraktif dan bagaimana koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dengan KESDM.
Dia hanya bilang, akan menindak korporasi yang terbukti mencemari lingkungan. Inge menegaskan, korporasi tambang sebelum beroperasi harus memenuhi izin analisis dampak lingkungan terlebih dahulu.
“Dalam tataran pengawasan kita masuk ke penegakan hukum. Kita akan cari tau di mana penyebab kerusakan, kita akan cari tau siapa yang lakukan.”

*****
Sidang Gugatan di Mahkamah Konstitusi Buka Borok UU Konservasi