- Masyarakat Adat Dayak Wehea, di Kabupaten Muara Wahau, Kalimantan Timur, dikenal sebagai penjaga hutan yang hidup selaras dengan Dalam ritual adat, komunitas ini turut mendoakan kelestarian satwa liar dilindungi, seperti orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio).
- Ledjie Be Leang Song, Ketua Adat Besar Dayak Wehea, menuturkan bahwa dari generasi ke genarsi, mereka hidup berdampingan dengan alam. Mereka mewarisi pengetahuan mendalam tentang hutan dan isinya, termasuk keberadaan orangutan.
- Mereka menanamkan pentingnya hidup harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan pemahaman mendalam tentang ekosistem, mereka mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
- Masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita merawat hutan dan semua kehidupan di dalamnya.
Masyarakat Adat Dayak Wehea, di Kabupaten Muara Wahau, Kalimantan Timur, dikenal sebagai penjaga hutan yang hidup selaras dengan alam. Dalam ritual adat, komunitas ini turut mendoakan kelestarian satwa liar dilindungi, seperti orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio).
Ledjie Be Leang Song, Ketua Adat Besar Dayak Wehea, menuturkan bahwa dari generasi ke genersi, mereka hidup berdampingan dengan alam. Mereka mewarisi pengetahuan mendalam tentang hutan dan isinya, termasuk keberadaan orangutan.
“Bagi kami, hutan adalah ibu yang memberikan kehidupan. Orangutan merupakan bagian tak terpisahkan dari hutan, seperti saudara sendiri sejak leluhur kami ada,” katanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Wehea menjadi pemandu bijak dalam menjaga hutan dan konservasi lingkungan. Suku ini tidak pernah melupakan hubungan keseimbangan antara manusia dan alam.
Mereka menanamkan pentingnya hidup harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Dengan pemahaman mendalam tentang ekosistem, mereka mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
“Tugas kami hanya menjaga hutan seisinya,” katanya.

Pada peringatan Hari Bumi 22 April 2025 lalu, masyarakat Wehea menggelar ritual adat bersama tim Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) di Hutan Kehje Sewen. Tujuannya, menyambut kepulangan enam individu orangutan yang telah dinyatakan layak rilis oleh Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Samboja Lestari, untuk hidup di hutan.
Menggunakan pakaian adat lengkap, Ledjie Be memimpin acara dengan menyanyikan pujian Bahasa Dayak kepada Tuhan dan meminta restu leluhur Wehea.
“Nenek moyang mangatakan, dulunya orangutan bagian orang Wehea seperti kami. Namun ada tantangan yang mereka langgar, sehingga harus pergi ke hutan. Karena sumpah yang mereka buat, akhirnya kami terpisah dengan mereka,” ujarnya.

Hukum adat
Di Hutan Kehje Sewen, masyarakat Wehea turut memantau pergerakan orangutan. Mereka memiliki pengetahuan tentang jalur jelajah kera besar tersebut dan sumber pakannya.
“Kami punya kelompok patroli untuk mencegah perburuan dan penebangan liar. Kelompok ini aktif menaman pepohonan yang menjadi sumber pakan orangutan,” terang Ledjie Be.
Selain Kehje Sewen, komunitas Wehea juga mengembangkan ekowisata bertanggung jawab, seperti di Hutan Lindung Wehea. Banyak peneliti datang untuk melihat orangutan di habitat alaminya.
“Hutan Kehje Sewen murni untuk pelepasliaran, sementara Hutan Lindung Wehea sebagai pusat penelitian. Kolaborasi dilakukan untuk kemaslahatan dan pelestarian orangutan,” sebutnya.
Masyarakat Wehea berpegang teguh pada hukum adat, yaitu melarang perambahan. “Siapa saja yang melakukan akan kami tangkap. Mesinnya kami buang dan perahunya kami hanyutkan,” ungkapnya.
Pelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau organisasi besar, tetapi juga butuh peran aktif masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan alam.
“Ini dedikasi kami menjaga hutan dan orangutan,” katanya.

Bangun pendidikan adat di kampung
Masyarakat Dayak Wehea dan PT RHOI telah meluncurkan Buku berjudul Dayak Wehea.
“Buku itu memuat sejarah, legenda, kehidupan sehari-hari, kelembagaan dan hukum adat, serta ritual dan seni budaya Dayak Wehea,” kata Siti Rahmah, Community Development Officer RHOI.
Buku ini juga menampilkan narasi para tetua adat dan cerita rakyat yang selama ini diwariskan secara lisan. Kolaborasi ini diharapkan menjadi model kemitraan berkelanjutan antara lembaga dan komunitas adat dalam menjaga warisan budaya dan lingkungan.
“Semoga adat masyarakat terus terjaga dan tidak lekang karena moderenisasi zaman,” tutupnya.
Hutan Kehje Sewen diadopsi dari bahasa lokal Dayak Wehea berarti orangutan. Kehje Sewen artinya ‘hutan bagi para orangutan’.
PT RHOI, merupakan perusahaan yang didirikan BOSF untuk mengelola hutan seluas 86.593 hektar, di Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sejak 18 Agustus 2010.

Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS (BOSF), mengatakan bahwa konservasi orangutan bukan hanya soal menyelamatkan satu spesies.
“Tetapi juga, memulihkan ekosistem, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan menciiptakan harmoni antara manusia dengan alam,” terangnya, Rabu (21/5/2025).
Di Yayasan BOS, kami menjalankan mandat ini melalui kerja kolaboratif dengan para pemangku kepentingan, pemerintah, mitra konservasi, dunia usaha, dan masyarakat global.
“Masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita merawat hutan dan semua kehidupan di dalamnya,” tegasnya.
*****