- Warga Pulau Sangiang, Banten, belum lama ini protes karena perusahaan yang bergerak di bisnis pariwisata ini, PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) akan memperpanjang izin hak guna bangunan di Sangiang. Warga mendesak pemerintah tak memperpanjang izin perusahaan yang menguasai sebagian besar pulau itu.
- Berpuluh-puluh tahun warga Pulau Sangiang mendesak agar hak atas tanah ulayat yang mereka tempati negara akui. Bak mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, suara mereka kerap hilang ditelan deru investasi dan kebijakan sepihak yang cenderung memihak korporasi.
- Muhammad Najib Hamas, Wakil Bupati Serang, menyebut, pemerintah daerah membuka ruang dialog antara masyarakat, perusahaan, dan instansi terkait guna mencari solusi atas konflik di Sangiang ini.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, pemberian HGB di atas tanah masyarakat Pulau Sangiang adalah pelanggaran hak. Kasus ini juga menunjukkan reforma agraria di Banten belum serius berjalan.
Puluhan warga Pulau Sangiang melakukan protes di depan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Serang, 20 Mei lalu. Kedatangan mereka menolak perpanjangan hak guna bangunan (HGB) PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) di pulau itu.
Konflik agraria di Pulau Sangiang, Banten ini sudah berlangsung 30 tahun, 1994-2024. Konflik agraria ini telah merugikan warga Sangiang secara ekonomi dan sosial.
Warga menuntut, pemerintah memperhatikan hak-hak mereka sebagai pemilik tanah adat dan menghentikan perpanjangan itu.
Sofian Sauri, tokoh masyarakat Sangiang, mengatakan, sejak awal PKP di pulau itu, tak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Justru akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam menjadi terbatas sejak perusahaan mengklaim kepemilikan atas sebagian besar wilayah pulau.

Ustad Pian, begitu sapaan akrabnya bilang, pemerintah mestinya dapat melihat masalah ini secara objektif bukan gara-gara ada investasi lalu segalanya legal termasuk perusakan lingkungan.
“Lahan-lahan yang dulunya kami garap, kini dianggap milik perusahaan. Kami tidak pernah diajak bicara, tiba-tiba saja ada plang HGB. Sekarang malah mau diperpanjang lagi,” katanya.
Sudah beberapa kali warga Pulau Sangiang mengajukan keberatan atas status lahan itu, namun hingga kini belum ada penyelesaian berarti.
“Kami bukan anti investasi, tapi ingin hak kami diakui. Jangan sampai kami malah jadi tamu di tanah sendiri.”
Sejak terjadi konflik lahan, serangkaian peristiwa terjadi di pulau dengan status taman wisata alam ini mulai pengusiran dan kriminalisasi warga, hingga pelepasan satwa seperti babi hutan dan ular.
Satwa-satwa itu bikin warga tak betah. Alhasil, sebagian warga Sangiang pindah ke luar. Kini, tersisa 20 keluarga yang menempati pulau dengan julukan “seven wonders of Banten” itu.
Warga menduga pelepasan satwa-satwa itu bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari strategi intimidasi agar mereka meninggalkan lahan tempat hidup mereka.
Beberapa warga melaporkan kenaikan jumlah babi hutan yang merusak kebun dan ladang mereka, serta kemunculan ular-ular besar yang sebelumnya tak pernah terlihat di sana.
“Banyak warga yang kehilangan mata pencahariannya, karena kebun dan ladang rusak di rusak babi hutan,” kata Pian.

Mediasi
Pada 2 Mei 2024, Mad Haer Effendi, Direktur Pena Masyarakat, organisasi lingkungan hidup di Banten, menyurati Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang, Elfidian Iskariza. Surat itu berisi permintaan tak memperpanjang izin hak guna bangunan PKP.
Surat itu baru Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang tespon 16 Mei 2025. Kemudian, pemerintah mediasi pertama dengan PKP dan masyarakat Sangiang 20 Mei 2025. Ruang Rapat Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Pertanahan Kabupaten Serang.
Saat proses mediasi berlangsung, Mad Haer menyampaikan sejumlah keberatan masyarakat terhadap aktivitas PKP di Sangiang.
Dia bilang, perusahaan selama bertahun-tahun tidak memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan warga. Seharusnya, justru memicu berbagai persoalan, mulai pembatasan akses terhadap kawasan pesisir hingga dugaan kerusakan lingkungan.
“Masyarakat sudah lama merasa terasing di tanahnya sendiri. Pulau Sangiang seolah jadi milik privat, padahal secara historis dan ekologis, wilayah ini bagian dari ruang hidup masyarakat,” kata Mad Haer kepada Mongabay 27 Mei lalu.
Mediasi pertama tersebut tak berujung pada titik temu antara PKP dengan masyarakat. Mediasi kedua pun mereka canangkan kembali 3 Juni 2025.

Tak usah perpanjang HGB
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, pemberian HGB di atas tanah masyarakat Pulau Sangiang adalah pelanggaran hak. Kasus ini juga menunjukkan reforma agraria di Banten belum serius berjalan.
“Tanah di Pulau Sangiang yang dikuasai masyarakat secara de facto seharusnya menjadi objek prioritas reforma agraria, bukan untuk kepentingan perusahaan..”
Situasi di Sangiang itu mestinya jadi kesempatan bagi pemerintah memulihkan keadilan agraria dengan tidak memperpanjang HGB itu.
Dewi mengatakan, perpanjangan HGB harus mematuhi prosedur hukum berlaku, tak boleh melanggar hak-hak konstitusional masyarakat di sana.
Kalau merujuk Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah, permohonan pengajuan perpanjangan HGB paling lambat dua tahun sebelum masa berlaku hak berakhir.
“Perlu ada political will pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini sebagai bagian dari agenda reforma agraria di Banten,” katanya.
Dia bilang, persoalan konflik agraria di Indonesia terjadi karena beberapa faktor antara lain, termasuk ketidakkonsistenan dalam penerapan hukum agraria, dominasi kepentingan perusahaan atas kepentingan masyarakat lokal. Juga, komitmen pemerintah minim untuk menyelesaikan masalah agraria secara adil dan berkelanjutan.
Muhammad Najib Hamas, Wakil Bupati Serang, menyebut, pemerintah daerah membuka ruang dialog antara masyarakat, perusahaan, dan instansi terkait guna mencari solusi atas konflik di Sangiang ini.
“Sekitar 90% pulau itu kan sudah dikuasai swasta, jadi kita coba evaluasi dulu, apa yang mesti kita tuntaskan. Yang pasti pemerintah daerah akan menuntaskan sesuai kewenangannya,” katanya kepada wartawan saat ditemui di Gedung Sekretariat Daerah Pemerintah Serang, 28 Mei lalu.
Mongabay mengonfirmasi PKP melalui pesan singkat WhatsApp pada 27 Mei 2025. Lewat Muhammad Iriyanto, kuasa hukum mereka kami menanyakan sejumlah tudingan termasuk pembatasan akses masyarakat terhadap lahan yang PKP lakukan.
Iriyanto membalas pesan singkat.
“Masih dalam proses mediasi. Saya nggak mau komentar soal itu,” katanya.
Kami juga mengonfirmasi Elfidian Iskariza, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang, dengan berkirim surat ke Kantor ATR/BPN 27 Mei 2025. Lewat sambungan telepon pegawai ATR/BPN, kami dihubungkan dengan Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa, Fathurahman.
Fathur berdalih kasus di Pulau Sangiang masih proses klarifikasi dan belum bisa memberikan keterangan resmi.
“Nggak boleh ada wawancara apapun. Hormati para pihak yang sedang bermediasi,” katanya melalui sambungan telepon.
Surat yang kami tujukan kepada Elfidian Iskariza, tak ada tanggapan apapun hingga artikel ini terbit.
*****