- Kelompok Tani Timamo di Ternate Barat mempraktikkan pertanian organik dan ramah lingkungan dengan rotasi tanaman dan pupuk mikroba alami. Kini mereka kembangkan jadi kawasan agrowisata.
- Sistem pertanian ini menekan biaya produksi karena menggunakan limbah organik, tidak menimbulkan residu kimia, dan aman bagi lingkungan serta kesehatan petani.
- Betty Lahati, dosen Agroteknologi dari Fakultas Pertanian Universitas Khairun (Unkhair) Ternate paparkan, hasil penelitian 2022-2025 buktikan kalau sistem pertanian berbasis mikroba lokal efektif tingkatkan produksi sekaligus menjaga keberlanjutan lahan.
- Petani mulai beralih ke sistem organik setelah diseminasi hasil riset, dan Pemkot Ternate tengah mempertimbangkan regulasi wajib pupuk organik untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Aroma tanah lembab bercampur dedaunan menyambut langkah para petani di Agrowisata Loto di Kota Ternate, Maluku Utara, Juni lalu. Di lahan seluas empat hektar itu, Madjid bersama koleganya tak sekedar menanam, namun merawat harapan. Mereka terapkan pertanian ramah lingkungan hingga jadi tumpuan ekonomi, sekaligus wajah baru pariwisata kota di kepulauan seluas 249,8 km2 ini.
Bersama anggota kelompok Tani Timamo, lelaki 65 tahun ini menjalankan praktik pertanian berkelanjutan dengan sistem rotasi tanaman dan pemanfaatan mikroba alami.
Setiap musim, tanaman mereka rotasi-dari pare ke buncis, dari tomat ke cabai. Tujuannya, memutus mata rantai hama dan menjaga kesuburan tanah.
“Kami tidak pernah tanam satu komoditas terus-menerus. Itu kunci menjaga kesehatan lahan dan hasil panen tetap bagus,” kata Madjid, di pondokan tani, Selasa (17/6/25).
Salah satu kekuatan dari praktik pertanian mereka adalah penggunaan pupuk alami, yaitu mikroba yang membantu residu kimia dalam tanah dan menyuburkan kembali lahan. Dengan sistem ini, kelompok petani mampu menjaga kesuburan tanah tanpa harus terus menerus bergantung pada pupuk kimia sintesis.
“Sistemnya kocor, bergantian. Minggu ini gunakan mikroba ini, minggu depan pakai mikroba lain. Tidak dicampur, supaya efektif.”
Madjid bilang, mikroba juga untuk frementasi pupuk kandang, yang taruh di lubang tanam. Praktik ini, katanya, menjadikan tanaman tumbuh lebih kokoh, tahan hama dan panas, serta lebih efisien dalam konsumsi air.
Sistem tanam ini mereka kenal sebagai pola “mati-sambung”─selalu ada tanaman tumbuh, tak pernah kosong. Saat satu panen selesai, lahan segera mereka bersihkan, olah dan tanami kembali.
Baginya, menjadi petani yang tak gunakan pupuk kimia bukan sekadar praktik bertani, melainkan belajar dari alam.
Satu contoh, pengetahuan lokal dengan pupuk kulit telur ayam. “Kami lihat di kandang ayam yang mengeram, tidak ada semut. Ternyata kulit telurnya punya zat alami yang bisa mengusir semut.”
Cara ini mereka terapkan dalam skala lebih luas di kebun. Ia merupakan pengetahuan lokal berpadu dengan ilmu mikrobiologi modern, menghasilkan praktik berkelanjutan. “Bertani organik itu soal kejujuran.”

Dari sertifikasi ke agrowisata
Sebelum jadi kawasan agrowisata, kelompok tani yang beranggotakan 15 orang ini sudah menjalankan pertanian organik di lahan berbeda selama lima tahun.
Dengan dampingan Dinas Pertanian dan Wahana Visi Indonesia (WVI), kelompok ini pernah memperoleh sertifikasi organik selama tiga tahun berturut-turut dari Lembaga Sertifikasi Organik INOFICE.
Prosesnya tidak mudah. Petani harus menyusun dokumen panjang mencakup peta lokasi, sejarah penggunaan lahan, standar prosedur operasi setiap tanaman–seperti panjang bedengan, jarak tanam, hingga penanganan pascapanen–serta resep-resep pupuk organik.
“Semua kami ceritakan dalam dokumen. Ini pekerjaan sehari-hari, bukan dibuat-buat,” kata Jabur, petani lain.
Kini, setelah mengelola lahan empat hektar tanah pemerintah, mereka merintis ulang upaya sertifikasi untuk kawasan ini.
Secara karakteristik, kawasan agrowisata ini mempunyai topografi relatif curam. Kondisi ini menuntut perhatian khusus dalam pengelolaan lahan, supaya tak menimbulkan dampak lingkungan seperti erosi maupun penurunan produktivitas lahan.
Untuk itu, petani terapkan konsep konservasi lahan sebagai pendekatan utama. Upaya ini tak hanya untuk menjaga kestabilan tanah, juga adaptasi perubahan iklim yang makin petani rasakan.
Salah satu strategi mereka dengan sistem rotasi tanaman. Pergiliran jenis tanaman dari musim ke musim mereka yakini mampu mengurangi risiko serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) sekaligus memulihkan unsur hara dalam tanah.
Pendekatan petani Loto dalam mengelola lahan dan menghindari pupuk kimia juga sejalan dengan hasil riset akademik di wilayah yang sama.
Betty Lahati, dosen Agroteknologi dari Fakultas Pertanian Universitas Khairun (Unkhair) Ternate paparkan, hasil penelitian 2022-2025 buktikan kalau sistem pertanian berbasis mikroba lokal efektif tingkatkan produksi sekaligus menjaga keberlanjutan lahan.
“Pengujian pupuk organik hasil fermentasi mikroba lokal seperti Trichoderma kami lakukan pada beberapa tanaman holtikultura seperti tomat dan kangkung,” katanya.
Uji coba, katanya, di dua lokasi di Pulau Ternate. Penelitian ini terapkan tiga perlakuan, pupuk hayati alami penuh, kombinasi pupuk hayati alami dan kimia, serta perlakuan murni pupuk kimia.
Hasilnya, mencengangkan. Pada tanaman tomat, pupuk alami mampu menghasilkan hingga 10 kilogram per tanaman. Sedangkan kimia, hanya 0,9 gram buah matang per tanaman.
“Dari total 340 tanaman yang kami uji, masing-masing perlakuan mendapat 85 tanaman. Hasil terbaik selalu datang dari perlakuan full pupuk alami.”
Hasil ini, kata Betty, tak hanya terlihat dari produksi, juga pertumbuhan fase vegetatif seperti jumlah daun, tinggi tanaman, dan diameter batang yang jauh lebih baik. Semua proses dokumentasi, katanya, secara ilmiah bersama mahasiswa yang turut terlibat dalam pengamatan.

Ramah lingkungan
Menurut Betty, salah satu keunggulan pupuk alami adalah biaya produksi rendah. Petani tak perlu membeli pupuk yang mahal. Petani, katanya, cukup memanfaatkan limbah pertanian atau organik yang terfrementasi dengan mikroba lokal.
“Trichoderma hidup alami di tanah. Kami isolasi dari tanah lokal, perbanyak di laboratorium, lalu aplikasikan kembali ke lapangan. Hasilnya, sangat efektif mengendalikan hama dan mempercepat pertumbuhan tanaman,” katanya.
Sistem ini juga tak menimbulkan pencemaran lingkungan karena tidak meninggalkan residu kimia.
Penyemprotan untuk mengendalikan hama pun menggunakan larutan organik, hingga tak membahayakan tanah, air, maupun kesehatan petani.
Betty katakan, tantangan terbesar dalam mendorong pertanian organik adalah mengubah cara pikir petani yang lama bergantung pada pupuk dan pestisida kimia.
Perubahan, katanya, sudah mulai tampak. Melalui desiminasi hasil riset kepada petani dan kelompok tani di Ternate, respons sangat positif.
“Banyak yang antusias, sebagian mulai beralih.”
Petani-petani ini, katanya, mulai jadi agen perubahan di tengah komunitasnya. Mereka menunjukkan, bertani organik bukan hanya mungkin, juga menguntungkan.
Rizal Marsaoly, Sekda Ternate mengatakan, dalam waktu dekat Pemerintah Kota Ternate akan menerbitkan peraturan wali kota yang mewajibkan penggunaan pupuk organik dalam praktik pertanian.
Bentuknya, bisa berupa insentif, pendampingan, hingga regulasi. Petani lokal, katanya, harus ada nilai tambah, dan saat sama juga menjaga keberlanjutan.

*****