Pagi jelang siang itu, Nenek Awe bersama beberapa warga adat Melayu Rempang memasuki gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta. Raut wajah menyiratkan kelelahan tak semata karena perjalanan jauh dari pulau ke ibu kota, juga beban batin yang mengendap sejak kampung halaman mereka terancam tergusur atas nama pembangunan.
Langkah-langkah kaki mereka menyisakan gema di lantai marmer gedung parlemen, seakan mengumandangkan jeritan diam dari kampung-kampung tua yang kini berdiri di ambang hilang.
Nek Awe, sapaan akrabnya, menggenggam erat map plastik berisi dokumen-dokumen penting, bukti tinggal turun-temurun, surat tanah adat, bukti kekerasan orang-orang suruan pengembang Rempang Eco-City. Hingga bukti aparat juga menjalankan tugas keamanan nir-kemanusiaan, mengejar dan memukuli warga tanpa welas asih.
Nek Awe, adalah satu dari sekian banyak korban yang terjadi saat kericuhan di Rempang pada 17 Desember 2024. Pada usia renta, dia mengalami patah tulang di bagian tangan. Benturan keras dari tim keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG) penyebabnya, yang datang meneror dan menyerang warga.
Dari kejadian ini, bukan hanya fisik Nek Awe yang luka, juga harga diri terinjak-injak-, ketika seorang nenek, penjaga tradisi dan tanah leluhur–justru jadi tersangka.

Rintihan HAM di tanah leluhur
Ironi menyakitkan: korban kekerasan malah jadi pelaku, dan pelaku kekerasan terbungkus dalam legitimasi hukum. Gramsci menyebutnya sebagai kekerasan bersolek sebagai “penegakan hukum,” dan mirisnya dianggap sebagai “tindakan wajar.”
YLBHI dkk (2023), menorehkan bukti-bukti nyata, bahwa pada 7 September 2023, kekerasan oleh aparat gabungan terdiri dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap warga Pulau Rempang. Kekerasan yang merobek keheningan pagi dan menyulut amarah warga itu terjadi di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Dalam pantauan Komnas HAM (2024), tindakan intimidatif dan represif mengalami intensitas cukup tinggi. Sebanyak 1.000 pasukan gabungan, pada 7 September 2023 itu turun untuk pembebasan lahan adat Pulau Rempang. Gas air mata ikut serta menari di antara jerit warga Rempang, menyelubungi udara dengan menyayat mata dan nurani.
Alhasil, 10 siswa dan satu guru SMPN 22 Galang menjadi korban. Dada sesak, pusing, dan mual yang merayap penuh lara.
LHKP PP Muhammadiyah (2024), menyebut, warga mengalami kondisi sangat buruk, merasa tak aman dengan intimidasi yang datang.
Dalam kurun dua tahun, 2023 hingga Desember 2024, setidaknya terjadi delapan kasus intimidasi, kekerasan dan upaya perampasan tanah masyarakat Rempang. Dari peristiwa yang mengguncang senyap itu, sedikitnya 44 orang dibungkam jerat hukum yang dipelintir, mengalami kriminalisasi, 51 orang mengalami tindak kekerasan dan satu orang tertembak.
Semua ini bukan serpihan kesalahan yang tak disengaja, bukan juga kebetulan yang melintas di sela-sela kebijakan, melainkan jejak kuasa yang sadar betul arah langkahnya, namun memilih menutup telinga dari jerit warga.
Hampa keadilan
Pembangunan tanpa keadilan adalah kehampaan makna dari pembangunan itu sendiri. Hatta menyebutnya, “hanya menguntungkan segelintir elit.”
Kemakmuran bersama yang para pendahulu bangsa cita-citakan sudah sangat jauh panggang dari api. Padahal, sejak bangsa ini lahir, Hatta berpesan tegas nan lugas, napas pembangunan nasional harus berkeadilan sosial.
Semangat pembangunan yang berkeadilan sosial memiliki dasar konstitusional kuat dalam UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) itu berbunyi nyaring, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Apalagi jika rujukan moral-etiknya Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup berbangsa bernegara, sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menekankan pentingnya pembangunan yang menghormati keadilan dan hak asasi manusia.
Proyek Rempang Eco-City memang menjanjikan investasi besar dan peluang ekonomi baru, namun apa artinya semua itu kalau rakyat jadi korbannya? Dalam rentang waktu panjang, pembangunan yang menyingkirkan tanah leluhur, meredam denyut budaya, dan menggusur kehidupan masyarakat akhirnya hanya akan menabur benih konflik dan mengguncang keseimbangan sosial yang rapuh.

Mimpi hijau
Adakah arti dari pembangunan kalau perencanaan kabur dan menyingkirkan masyarakat lokal? Mungkin, dalam benak yang jernih dan hati yang jujur, kita semua akan menjawab: tidak ada!
Rempang Eco-City adalah impian raksasa yang digadang di antara angka-angka investasi dan ambisi pembangunan yang digulirkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama MEG. Di atas hamparan tanah seluas 7.572 hektar, atau hampir separuh nadi Pulau Rempang, mereka hendak menorehkan kota baru, tempat di mana industri, perdagangan, dan wisata berpadu dalam satu tarikan napas.
Sampai detik ini, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan studi kelayakan (fisibility study) masih saja belum dapat terakses publik. Padahal, amdal dan studi kelayakan seharusnya jadi lentera dalam gelapnya kebijakan.
Kalau memang tidak ada amdal dan studi kelayakan, maka ini jelas melanggar UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Pasal 25 UU Lingkungan Hidup itu menyematkan makna setiap rencana tak bisa lepas dari akibatnya. Di situ, tercantum kewajiban menelisik tak hanya satu dimensi, tetapi keseluruhan ekosistem, menimbang sebab dan akibat secara holistik.

Partisipasi minus
Selanjutnya, Pasal 26 UU Lingkungan Hidup mengajarkan tentang penghormatan. Ia meminta, ajak masyarakat bicara, karena merekalah penjaga setia tanah-tanah itu. Saran mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan cahaya penuntun bagi keputusan yang bijak.
Ibnu Khaldun percaya, pemerataan akses terhadap sumber daya dan kekayaan adalah fondasi kemakmuran sosial. Wujud pemerataan akses itu salah satunya adalah partisipasi masyarakat.
John Rawls (1971), menenun gagasan yang hampir sama. Dia menekankan pentingnya keadilan distributif dan hak setiap individu untuk terlibat dalam keputusan yang mempengaruhi kesejahteraannya. Bukan sekadar membagi roti di meja bersama, melainkan memastikan bahwa roti itu dipanggang dalam oven yang disepakati bersama oleh semua yang berhak.
Rawls menyimplikasinya dengan prinsip “equal basic liberties,” yang mencakup hak atas partisipasi dalam keputusan publik.

Transmigrasi lokal
Alih-alih menyulam amanat UU dengan segera menunjukkan amdal dan melibatkan partisipasi masyarakat, pengambil kebijakan justru kembali menuliskan kisah lama dengan naskah baru. Muncullah satu babak baru: transmigrasi lokal.
Transmigrasi lokal, menurut Menteri Transmigrasi dalam transmigrasi.go, bukan sekadar pemindahan penduduk, melainkan menciptakan pusat perekonomian baru dengan memberdayakan penduduk setempat dalam ekosistem industri yang akan terbangun.
Kata-kata itu meluncur dengan manis, rapi, tersusun dalam logika pembangunan yang sistematis. Sang menteri bicara tentang rumah-rumah yang akan terbangun kembali, tentang sekolah-sekolah yang akan menunggu anak-anak, tentang rumah sakit yang akan siaga di tempat baru. Namun dia lupa satu hal: tanah tidak sekadar tempat berpijak, juga tempat jiwa menetap.
Martin Heidegger, dalam esainya “Building Dwelling Thinking” (1951), coba menggugah sebuah pemahaman bahwa manusia tidak semata-mata menghuni ruang secara fisik, melainkan “berdiam” dalam arti yang lebih hakiki, menetap dalam makna dan dalam keberadaan.
Bagi Heidegger, tanah bukan sekadar alas pijak, melainkan ruang batin tempat manusia merajut keberadaan, tempat di mana makna dibangun dan jati diri perlahan menemukan bentuknya.
Dalam lanskap pemikiran postkolonial, Edward Said, dalam magnum opus-nya Orientalism (1978), menekankan, tanah bukan sekadar wilayah yang direbut, melainkan ruang eksistensial yang terampas dari jiwa. Kolonialisme, baginya, tidak hanya menaklukkan secara fisik, juga memisahkan manusia dari tanah dan identitasnya melalui narasi “Othering”, yang mengasingkan bahkan penduduk aslinya dari tanah kelahiran mereka.
Kalau memang demikian, selanjutnya kita perlu bertanya dengan hati-hati namun pasti: apakah ini hanya sebuah pembangunan, ataukah kolonialisme dalam wujud lain yang lebih halus, lebih administratif dan lebih modern?

Hukum abu-abu
Sebuah kebijakan baru era presiden Prabowo Subianto tertuang dalam Perpres Nomor 12/2025 tentang RPJMN Tahun 2025-2029. Perpres ini melahirkan 77 proyek strategis nasional baru: 29 PSN baru dan 48 PSN lanjutan (carry over).
Rempang Eco City memang tidak masuk secara eksplisit dalam batang tubuh Perpres 12/2025. Ia hanya muncul dalam Lampiran IV, yang berisi arah perencanaan kewilayahan, dan bukan pada bagian yang eksplisit menyatakan daftar PSN. Artinya, proyek Rempang Eco-City di sini lebih bersifat indikatif atau sebagai potensi pengembangan wilayah, bukan mandat implementatif.
Dalam Perpres PSN sebelumnya, misal, Perpres Nomor 109/2020, PSN terjabar eksplisit dan rinci, termasuk penanggung jawab, lokasi, estimasi pembiayaan, dan skema pendanaan.
Berbeda dengan itu, dalam Perpres 12/2025, Rempang Eco-City tidak memiliki rincian implementatif, hingga muncul pertanyaan,” apakah proyek ini masih berstatus PSN, ataukah hanya menjadi bagian dari narasi perencanaan pembangunan wilayah?”
Sebelumnya, proyek ini sempat ditopang Permenko Perekonomian Nomor 7/2023, yang memasukkan dalam daftar PSN. Namun, Perpres 12/2025 tidak eksplisit mengafirmasi atau memperbaharui daftar PSN ini. Jadi, terdapat ketidaktegasan norma, atau dengan kata lain hukum abu-abu (grey area law).
Hukum berada dalam ranah abu-abu, maka peraturan kehilangan ketajamannya sebagai pedang keadilan.

Pengakuan hak ulayat
Sebenarnya, masyarakat adat sudah lama menuntut pengakuan atas hak ulayat mereka sebagai prasyarat perlindungan hukum yang sah. Meskipun mereka sudah bermukim lama di wilayah itu, status hukum atas tanah adat mereka belum diakui resmi oleh pemerintah.
Peraturan perundang-undangan sektoral mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Namun, Gubernur Kepulauan Riau dan Walikota Batam belum mengambil tindakan pengakuan atas masyarakat hukum adat Rempang beserta tanah ulayat melalui produk hukum peraturan daerah.
Kalau pengakuan terhadap Masyarakat Adat Rempang dan hak ulayat mereka tidak segera dilakukan melalui produk hukum yang sah seperti peraturan daerah, maka akan terjadi beberapa konsekuensi serius. Mereka rentan penggusuran tanpa ganti rugi yang adil, kehilangan identitas budaya dan sosial, pelanggaran HAM, serta konflik sosial dan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat, seperti yang pernah Nek Awe alami.
Kini, Nek Awe tidak hanya menanggung rasa sakit di tangan yang patah, juga menanggung beban batin sebagai simbol perlawanan yang diperlakukan seperti penjahat. Meskipun begitu, justru dari luka itu, lahir tekad tak padam, bahwa, meski dengan tubuh lemah, Nek Awe, bersama mereka yang terzalimi akan terus bersuara lantang: “Tolak Rempang Eco-City!”
*****
*Penulis adalah Muh Fitrah Yunus adalah Direktur Eksekutif Trilogia Institute, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tulisan ini adalah opini penulis.