- Danau Ranau merupakan landskap purba yang terbentuk puluhan ribu tahun lalu. Aktivitas vulkanik di sekitar Danau Ranau kini ditandai dengan munculnya empat titik mata air panas.
- Di satu titik, terdapat kisah putri Raja Seminung dan seekor kucing besar yang dahulu sangat dihormati oleh warga sekitar, namun kini mulai terlupakan, seiring menghilangnya beragam jenis kucing liar serta habitatnya.
- Sekitar 40 daerah aliran sungai [DAS] tumpah ke Danau Ranau, menjadikannya sebagai daerah tangkapan air [DTA] yang penting dalam menjaga siklus air di Sumatera Selatan.
- Saat ini, landskap Danau Ranau didominasi areal perkebunan yang menggerus daerah tangkap air, mengganggu keseimbangan ekosistem, sehingga menyebabkan banjir dan kekeringan.
Letusan gunung api yang disusul gempa bumi skala besar, membentuk sebuah landskap purba menakjubkan di bagian Selatan Pulau Sumatera. Peristiwa dahsyat tersebut meninggalkan sebuah kaldera berisi air, yang saat ini kita kenal sebagai Danau Ranau.
Mengutip penelitian Natawidjaja dan kolega (2017), Danau Ranau terbentuk sekitar 33 ribu tahun lalu, atau lebih muda dari perkiraan awal.
Dengan luas mencapai 12.648 hektar, Danau Ranau membentang di dua provinsi. Bagian terbesarnya, yaitu 77,88 persen, berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Sumatera Selatan, sementara sisanya (22,12 persen) masuk wilayah Lampung Barat, Lampung.
“Tepi tenggara danau ini dibatasi apron Gunung Seminung berbentuk kerucut, yang menunjukkan morfologi aliran dan kawah baru. Indikasi adanya aktivitas di masa Holosen.”
Dengan kata lain, Gunung Seminung (1881 mdpl) tergolong masih aktif, karena memiliki bentuk aliran lava dan kawah relatif baru. Hal yang menandakan bahwa ia pernah meletus atau menunjukkan aktivitas vulkanik dalam periode Holosen [puluhan ribu tahun lalu].
Saat ini, aktivitas vulkanik di landskap Danau Ranau berwujud sejumlah titik mata air panas yang diselimuti beragam cerita.

Kenedi (65), pemiliki pemandian air panas di kaki Gunung Seminung, mengatakan air panas yang dikelolanya sejak 2015, dipercaya warga sebagai tempat pemandian putri Raja Seminung.
“Saat putri turun dari Gunung Seminung, warga yang berkebun sering mencium bau wangi. Biasanya saat tengah hari, menjelang malam, hingga pagi menjelang subuh,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, awal Mei 2025.
“Hingga saat ini, jejak pemandian sang putri ditandai dengan lingkaran sejumlah batu dan sebuah meja yang kami percaya sebagai tempat duduk putri setelah mandi,” lanjutnya.
Berdasarkan kajian Ibrahim dan kolega (2022), terdapat empat titik mata air panas di sekitar Danau Ranau dengan suhu bervariasi, yakni dari 55 – 63 derajat Celcius. Semuanya tersebar di hamparan atau kumpulan batu vulkanik yang dinamai warga sekitar Lubuk Batu.
“Air panas ini hanya digunakan untuk kebutuhan mandi sehari-hari, karena mengandung belerang,” kata Kenedi. “Dalam beberapa kasus, naiknya kadar belerang seringkali menyebabkan kematian pada ikan (nila dan mujair) yang dibudidayakan warga setempat.”
Seingat Kenedi, kasus kematian ikan di sekitar Danau Ranau terjadi tahun 1995, 1962, 2011, 2018, dan terakhir 2023. Semuanya karena belerang, air berubah warna jadi putih susu dan muncul bau belerang.
“Belasan ton ikan di keramba mati,” katanya.

Kucing yang menghilang
Dalam kisah Purit Raja Seminung, diceritakan ia memiliki seekor kucing peliharaan yang digunakannya sebagai kendaraan saat menuruni Gunung Seminung.
“Kucing itu punya belang kuning dan ukurannya dua hingga tiga kali harimau. Itu salah satu alasan warga dulunya takut untuk beraktivitas di sekitar air panas dan Danau Ranau ini,” lanjut Kenedi.
Menurut Yulia (68), warga Desa Kotabatu yang berkebun di Desa Way Wangi Seminung, sekitar tahun 2000-an, hutan di sekitar Danau Ranau memang menjadi habitat bagi sejumlah jenis kucing liar.
“Yang paling sering itu kucing kecil yang punya motif loreng mirip harimau. Kami menyebutnya kucing hutan atau kuwuk (Prionailurus Bengalensis). Ia bermain di bawah pondok kebun di sekitar Danau Ranau,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, awal Mei 2025 lalu.
“Agak jarang terlihat yang agak besar, kami menyebutnya macan (macan dahan/Neofelis diardi diardi). Warnanya, agak keabu-abuan dengan bintik hitam,” lanjutnya.
Tercatat, ada lima jenis kucing liar yang hidup di dataran tinggi Sumatera Selatan, yakni harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang dikategorikan sebagai kucing besar. Dan empat jenis kucing kecil, yakni macan dahan (Neofelis diardi), kucing emas (Catopuma temminckii), kucing kuwuk atau macan akar (Prionailurus bengalensis), dan kucing batu (Pardofelis marmorata).
Semua jenis kucing tersebut dilindungi Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Yulia mengatakan, hampir semua warga lokal dulunya menghormati kucing-kucing tersebut, karena terkait kisah putri Raja Seminung. Tapi sekarang, cerita itu mulai terlupakan.
Bagaimana dengan nasib kucing-kucing kecil?
“Sekitar 10 tahun terakhir, mereka jarang terlihat lagi. Ini seiring banyaknya pendatang yang membuka kebun dan menetap di sekitar tepi Danau Ranau,” lanjut Yulia.
Sri Wati (69), warga Lampung [keturunan Jawa], yang telah berkebun dan menetap di sekitar kaki Gunung Seminung sejak 30 tahun lalu mengatakan, selain berbagai jenis kucing kecil, dulu, Danau Ranau merupakan habitatnya gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Juga, ada kijang (Muntiacus montanus), rusa sambar (Cervus unicolor), dan siamang (Symphalangus syndactylus).
“Tapi kini semuanya hilang, bahkan monyet dan beruk juga jarang terlihat,” paparnya.

Hutan yang tergerus
Ada tiga kecamatan di sekitar Danau Ranau yang masuk Kabupaten OKU Selatan, yakni Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah (BPRRT) dengan 56 desa, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan (16 desa), dan Kecamatan Banding Agung (71 desa dan kelurahan).
Sementara desa di sekitar Danau Ranau yang masuk Kabupaten Lampung Barat, Lampung, adalah Kecamatan Sukau (10 desa) dan Kecamatan Lumbok Seminung (11 desa).
Merujuk analisis data melalui Mongabay Data Studio (Mongabay, n.d.), menunjukkan bahwa tutupan hutan primer di sekitar Danau Ranau kini hanya tersisa di area sekitar Gunung Seminung dan dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Sementara dalam rentang waktu 10 tahun (2010- 2020), tutupan pohon mulai tergerus, mengindikasikan berlangsungnya aktivitas alih fungsi lahan.
Penelusuran Mongabay Indonesia di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar hutan di tepian Danau Ranau telah berubah menjadi perkebunan kopi, lada, cabai, dan alpukat, menyisakan sedikit hutan di sekitar jurang danau.
“Sekarang, warga sudah membuka kebun hingga lereng Gunung Seminung, karena di kaki gunung dan sekitar Danau Ranau sudah habis. Hanya tersisa hutan di sekitar jurang,” kata Leno, (36), warga Desa Kotabatu, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten OKU Selatan.

Banjir dan kekeringan
Dikutip dari situs resmi Dewan Sumber Daya Air Nasional, ada sekitar 40 daerah aliran sungai (DAS) tumpah langsung ke Danau Ranau yang menjadi hulu Sungai Komering dan Sungai Warkuk, lalu bermuara ke Sungai Sukau, Lampung Barat, Lampung.
Hilangnya hutan, satwa, termasuk kucing liar di landskap hutan Danau Ranau, berdampak pada tergerusnya area tangkap air yang penting menjaga siklus air di Sumatera Selatan.
“Hampir setiap tahun banjir merendam Desa Kotabatu dan desa terdekat lainnya. Air datang dari depan dan belakang rumah akibat meluapnya air di Sungai Warkuk dan Danau Ranau,” jelas Leno.
Berdasarkan pemetaan BPBD OKU Selatan, Kecamatan Warkuk Selatan merupakan wilayah rawan banjir dan longsor. Pada 2022 lalu, dikutip dari sripoku.com, banjir parah menerpa ratusan rumah di tujuh dusun di Desa Kotabatu. Jembatan terputus dan enam hektar sawah terendam banjir.
“Jika di Danau Ranau banjir, wilayah di sekitar Sungai Komering ikut terdampak,” kata Leno.
“Sudah banyak rencana pemerintah untuk danau ini. Mulai dari wisata, perikanan, pertanian, dan lainnya. Tapi belum ada yang terlaksana,” terang Yulia.
Tahun lalu, kemarau panjang membuat sejumlah kolam air panas di Danau Ranau mengering. “Banyak ikan mati, mungkin kekurangan oksigen karena air danau menyusut,” lanjut Yulia.

Mengutip paparan Rencana Pengelolaan Danau Prioritas II Nasional (Danau Ranau, 2019), luas daratan di sekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Ranau mencapai 38.176,48 hektar.
Dari dokumen yang sama, menurut data BPDAS HL Musi tahun 2018, wilayah DTA di Danau Ranau yang tidak kritis hanya sekitar 926 hektar (gabungan antara Kabupaten OKU Selatan dan Lampung Barat).
Sementara kategori lahan terluas adalah agak kritis (32.396 hektar). Di susul lahan kategori kritis (5.083 hektar), sangat kritis (4.824 hektar), dan potensial kritis (1.405 hektar).
Pada 2018, di sekitar Danar Ranau hanya tersisa kawasan hutan seluas 742 hektar. Sementara pemukiman 66 hektar, perkebunan 2.072 hektar, dan pertanian sawah/tadah hujan 192 hektar.
“Kami berharap, kedepannya Danau Ranau bisa dijadikan tempat berkunjung orang luar Sumatera bahkan luar negeri, dengan tujuan wisata atau penelitian. Agar semua bermanfaat maka alam harus dipulihkan. Jangan ada kegiatan dengan orientasi merusak,” papar Kenedi.
Referensi:
Danau Ranau. (2019). Rencana Pengelolaan Danau Prioritas II Nasional. https://id.scribd.com/document/431430687/Danau-Ranau
Ibrahim, M. M., Pranata, R., Nababan, B. S., Heriani, H., Maharani, A., Situmorang, A. S. J., Puspita, D., Landia, K. P., & Harfiandri, M. S. (2022). Karakteristik Manifestasi Dan Rekomendasi Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Pada Daerah Danau Ranau, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Applicable Innovation of Engineering and Science Research (AVoER), 14(1), 87–91.
Mongabay. (n.d.). Mongabay Data Studio. Retrieved June 9, 2025, from https://maps.mongabay.com/.
Natawidjaja, D. H., Bradley, K., Daryono, M. R., Aribowo, S., & Herrin, J. (2017). Late Quaternary eruption of the Ranau Caldera and new geological slip rates of the Sumatran Fault Zone in Southern Sumatra, Indonesia. Geoscience Letters, 4(1), 21.
*****
Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar