- Masyarakat Adat Kaluppini kuat merawat tradisi adat. Perempuan adat aktor penentu dalam pelestarian adat ini. Perempuan adat Kaluppini berperan dalam mentransfer pengetahuan adat kepada generasi muda. Lewat medium dongeng, ibu-ibu Kaluppini mengajarkan pengetahuan adat kepada anak-anak mereka.
- Haswisa, perempuan adat Kaluppini mengatakan, lewat dongeng jadi salah satu sarana lestarikan adat. Kala malam hari, para perempuan adat mendongengkan anak sebelum tidur. Dongeng mereka tuturkan dengan bahasa Kaluppini, beragam cerita seperti kisah binatang dan cerita leluhur yang sarat makna.
- Peran perempuan Kaluppini dalam berbagai sektor, dari adat, budaya, sampai ekonomi dan sosial. Perempuan adat Kaluppini memegang peranan kunci dalam pengelolaan hasil berkebun. Di sektor sosial, mereka terlibat dalam acara musyawarah desa. Perempuan Kaluppini, aktif memberikan saran pembangunan saat musyawarah desa.
- Inisiasi perempuan adat Kaluppini bukan perihal ekonomi belaka. Menurut Muslimin Lancong, fasilitator dari Sulawesi Cipta Forum (SCF), keterlibatan perempuan adat dalam pembangunan Desa Kaluppini bertujuan melestarikan pengetahuan tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Haswisa bergegas keluar rumah. Dia memetik pinang dan daun sirih yang tertanam di pekarangan. Perempuan 60 tahun itu membawa segelas air dan toples berwarna putih.
“Ini kapur sirih, kami buat sendiri,” kata Mama Patte, sapaan akrab Haswisa, kepada Mongabay.
Jemari keriput Mama Patte lincah membungkus kapur dengan daun sirih dibantu Mama Mail dan Mama Hawi memotong pinang jadi lima bagian.
“Ini pinangnya sudah tua, jadi kurang enak buat dimakan,” katanya.
Sirih, pinang, dan kapur, merupakan bahan wajib di setiap ritual adat Desa Kaluppini, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bahan-bahan itu dia rangkai sedemikian rupa; sebagai Alan nota.
Masyarakat Kaluppini, biasa lakukan ritual adat yang bersifat insidentil, seperti ritual pernikahan, kematian, dan tolak bala. Ada juga ritual rutin, seperti pangewaran yang dirayakan setiap delapan tahun sekali.
Ada pula ritual maulid setiap tahun. Juga pengelolaan sumber daya alam, setiap tahun ada 13 ritual wajib dilaksanakan.
Ritual-ritual di Kaluppini dalam dua masa setahun, yaitu, pada musim basah untuk tanam padi yang disebut tahun bo’bo sebanyak sembilan ritual dan musim kering untuk musim tanam palawija yang disebut tahun ba’tan, ada empat ritual.
Setiap ritual adat, perempuan berperan menyiapkan kebutuhan acara. Mereka sudah sibuk beberapa hari sebelum ritual, seperti menganyam bambu untuk wadah, mencari sirih, pinang, kapur, dan memasak kebutuhan acara.
“Cari sirih, pinang, kapur, semua persiapan-persiapan acara kami yang (lakukan),” ujar Mama Patte, saat Mongabay berkunjung ke rumahnya, 27 Mei lalu.

Sejak beranjak dewasa, perempuan Kaluppini diajarkan menyiapkan kebutuhan ritual adat. Pengetahuan itu turun-temurun orang tua mereka ajarkan.
Perempuan adat Kaluppini berperan dalam mentransfer pengetahuan adat kepada generasi muda. Lewat medium dongeng, ibu-ibu Kaluppini mengajarkan pengetahuan adat kepada anak-anak mereka.
Kala malam hari, mereka mendongengkan anak sebelum tidur. Dongeng mereka tuturkan dengan bahasa Kaluppini, beragam cerita seperti kisah binatang dan cerita leluhur yang sarat makna.
Bagi Mama Patte, mendongengkan anak-anak sangat penting demi lestarikan adat. “Menghibur anak-anak, kan kita dulu juga begitu (didongengkan) sama nenek-nenek kita. Malu kalau sudah tua gak tau.”
Abdul Halim, pemangku adat Kaluppini, mengatakan, peran perempuan dalam ritual adat sangat dominan. Perempuan selalu hadir lebih banyak daripada lelaki dalam ritual adat.
“Yang paling berperan dalam ritual-ritual itu adalah perempuan,” ujar Imam, gelar pemangku adat yang disematkan kepada Abdul Halim.
Masyarakat Adat Kaluppini, katanya, membagi peran antara lelaki dan perempuan dalam ritual adat. Perempuan menyediakan segala kebutuhan ritual, dan lelaki memimpin jalannya ritual.
Meski peran itu terbagi, perempuan seringkali lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan adat.
“Jika ada ritual atau adat, ibu-ibu yang datang. Laki-laki mungkin masih bekerja di ladang, tapi perempuan yang diutus untuk hadir mewakili keluarga.”

Masyarakat Kaluppini punya dua rumah adat. Rumah itu terletak di puncak pegunungan. Berjarak satu kilometer dari pemukiman, sekitar 30 menit berjalan kaki; atau 10 menit dengan motor.
Masing-masing rumah adat perempuan jaga, salah satunya, Rasi. Nenek berusia 80 tahun ini menjaga rumah adat yang setiap saat didatangi tamu.
Baru-baru ini, dia menjamu seorang dari luar Desa Kaluppini. Tamu itu datang membawa ayam untuk disembelih di rumah adat. Meski tak kenal, Rasi tetap menjamu orang itu dengan baik.
“Kalau ada maulid adat (tiga kali dilakukan), baru (ramai) tamu,” ujar Nenek Rasi, sapaan akrabnya.
Selain jaga rumah adat, Nenek Rasi jadi orang yang bisa bermain karumbing, alat musik tiup terbuat dari pelepah pohon aren. Saat ini, tidak banyak warga mahir memainkan alat musik khas Kaluppini itu.
Ketika Mongabay berkunjung ke rumah adat, Mei lalu Nenek Rasi unjuk kebolehan bermain karumbing, begitu merdu.
Nenek Rasi biasa memainkan karumbing saat bulan purnama tiba, mengiringi ritual adat.
Dia juga aktif mengajar karumbing kepada pemuda adat. Walau dia tak bisa melihat sejak lahir, tak menyurutkan semangat Nenek Rasi terus lestarikan adat.
“Sering ke sini anak-anak (belajar karumbing), apalagi waktu mau festival,” katanya.
Pada sektor ekonomi, perempuan adat Kaluppini punya peran dominan. Mereka berkebun dan mengurus keuangan keluarga. Mama Hawi, misal, perempuan berusia 70 tahun ini ke kebun setiap hari.

Dia menempuh jarak dua kilometer dari rumah untuk sampai ke kebun, terletak di lereng pegunungan.
Mama Hawi menanam padi, jagung, hingga kacang di lahan seluas sekitar satu hektar.
“Siapa lagi yang mengurus? (lahan) Kalau bukan saya?” ujar Mama Hawi. Semua anaknya merantau keluar Kaluppini.
Mama Hawi dan perempuan adat Kaluppini lain punya wewenang mutlak memutuskan kapan menanam dan kapan panen. Lelaki tidak bisa ikut campur urusan itu.
Menurut Abdul Halim, perempuan Kaluppini juga memegang peranan penting dalam mengatur ekonomi keluarga. Perempuan yang memegang kendali pengelolaan uang dan hasil kerja keluarga.
Perempuan adat Kaluppini juga memegang peranan kunci dalam pengelolaan hasil berkebun, seperti beras dan jagung. “Kalau soal pabbarassang (tempat penyimpanan beras) itu memang perempuan yang pegang.”
Di sektor sosial, perempuan Kaluppini juga sering terlibat dalam acara musyawarah desa. Muh. Salata, Kepala Desa Kaluppini mengatakan, mayoritas musyawarah desa dihadiri perempuan adat. Jumlah penduduk perempuan di Desa Kaluppini lebih sedikit dari lelaki, 518 perempuan dan 560 laki-laki.
Perempuan Kaluppini, menurut Salata, juga aktif memberikan saran pembangunan saat musyawarah desa.
“Di musyawarah terakhir 2024, ada masukkan dari perempuan, taman bermain untuk anak-anak yang sudah mau roboh atapnya agar diperbaiki.”

Prakarsa perempuan adat
Isra, perempuan muda Kaluppini, sibuk membungkus gula semut ke dalam kemasan. Malam itu, dia dibantu Ayuni mengemas sekitar lima kilogram gula semut, total ada 10 bungkus.
Kalau cuaca stabil, tidak musim hujan, mereka mampu bikin tujuh kilogram gula semut dalam sehari.
Produk ini terbuat dari gula aren yang disaring hingga halus menyerupai butiran semut. Mereka menjual gula semut Rp35.000 per 500 gram.
Mereka menjual gula itu lewat media sosial, dan ke kedai kopi di pusat Kabupaten Enrekang.
Gula semut merupakan inisiasi ekonomi perempuan adat Kaluppini. Sejak 2023, Isra bersama Ayuni dan perempuan adat lain mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mabarakka Kaluppini.
“Bahan baku di sini mencukupi. Kami bagi tugas dengan pemuda lelaki, mereka menyadap (mengambil air enau),” ujar Isra.
Inisiasi ekonomi serupa juga Sutira dan ibu-ibu lain lakukan. Sutira bersama ibu-ibu Kaluppini membuat sari jahe merah dalam botol sejak 2019.
Dalam seminggu, mereka bisa bikin sari jahe 10 kilogram atau 20 botol. Sari jahe ini mereka jual Rp30.000 per botol.
Mereka jual lewat media sosial, peredaran buah karya perempuan Kaluppini itu hingga ke Malaysia, Papua, dan Kalimantan. Produk sari jahe ini mampu bertahan hingga setahun, tanpa pengawet buatan.
“Bahan mudah didapat di kampung sendiri, jahe kan banyak tumbuh di kebun-kebun, bahkan di hutan pun banyak jahe. Terus untuk gula arenanya juga bisa diproduksi di kampung sendiri. Jadi, bisa dikatakan ini adalah kearifan lokal Masyarakat Adat Kaluppini,” kata Sutira.
Inisiasi ekonomi perempuan Kaluppini masih menghadapi kendala minor. Produksi gula aren, misal, terbatas karena alat manual. Juga sebaran produksi terbatas di Kaluppini saja.
Begitu juga dengan sari jahe; Sutira belum menemukan formula tepat untuk mengatasi kendala pengemasan. Sari jahe dengan kemasan botol plastik kerap meletus kalau dibawa perjalanan jauh dalam waktu lama.
Inisiasi perempuan adat Kaluppini bukan perihal ekonomi belaka. Menurut Muslimin Lancong, fasilitator dari Sulawesi Cipta Forum (SCF), keterlibatan perempuan adat dalam pembangunan Desa Kaluppini bertujuan melestarikan pengetahuan tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Muslimin mengatakan, perempuan adat sebagai pewaris utama pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya, pertanian tradisional, obat-obatan herbal, dan berbagai praktik budaya lain.
“Keterlibatan mereka memastikan, pembangunan tidak mengabaikan kearifan lokal yang telah terbukti lestari dan berkelanjutan,” katanya kepada Mongabay.
Keterlibatan perempuan, dapat berdampak pada pengambilan keputusan inklusif. Pembangunan desa harus memastikan kebutuhan dan perspektif perempuan terwakili.
“Hal ini penting menciptakan program pembangunan yang relevan, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat,” ucap Muslimin.
Dia mengatakan, perempuan juga berperan dalam keberlanjutan lingkungan. Sebab, kedekatan mereka dengan alam memicu pemahaman mendalam ekosistem lokal.
Dia menyebut, keterlibatan perempuan dapat mendorong praktik pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Penguatan lewat perdes
Desa Kaluppini, terletak di lereng pegunungan dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl), berjarak enam jam perjalanan darat dari Kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan.
Letak jauh dan terpencil tidak membuat masyarakat Kaluppini abai terhadap peran perempuan.
Sejak 2023, Pemerintah Desa Kaluppini memperkuat peran perempuan adat lewat Peraturan Desa (Perdes) tentang Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI).
Perdes ini bertujuan, menjamin hak-hak perempuan, mengantisipasi diskriminasi dan eksploitasi, dan meningkatkan partisipasi perempuan.
Lewat perdes ini, pemerintah desa membuat berbagai program pemberdayaan perempuan. Misal, membentuk kelompok usaha seperti yang Isra dan Ayuni lakukan.
Pada Januari lalu, pemerintah desa dan pemangku adat menginisiasi program Sekolah Mattanun. Perempuan Kaluppini belajar menenun kain polos putih dengan ciri khas panjang delapan meter, yang sering digunakan saat ritual adat.
Di Kaluppini, tradisi menenun hanya boleh oleh perempuan. Lelaki dianggap pamali menyentuh alat tenun. Alhasil kain tenun perempuan adat dianggap memiliki nilai spiritual tinggi.
Muh. Salata, Kepala Desa Kaluppini mengatakan, dari total dana desa Rp1,190 miliar, kurang dari 10% untuk program pemberdayaan perempuan adat dan disabilitas serta perlindungan anak.
Di luar dari pos anggaran itu, ada program kedaulatan pangan. “Mereka dibelikan bibit, sayur-sayuran, tumbuhan obat-obatan untuk ditanam di pekarangan rumah,” katanya.
Belakangan, pemerintah pusat mengubah kebijakan bahwa program pangan harus oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Alokasi anggaran pangan Rp140 juta atau 20% dari dana Desa Kaluppini.
Perdes juga mengatur perihal perlindungan anak. Adapun hal paling signifikan berubah dengan perdes, kata Salata, adalah berkurangnya angka pernikahan dini.
Dia bilang, angka pernikahan dini nol sejak Perdes Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terbit. Padahal, katanya, dulu Kaluppini dikenal dengan tingginya angka pernikahan dini.
“Kami juga berupaya mencegah pernikahan dini dengan sosialisasi ke warga. Saat ini, masyarakat mulai sadar untuk mendapatkan pernikahan yang berkualitas harus umur sekian baru bisa menikah.”

Perdes tentang Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) sangat penting. Muslimin mengatakan, perdes itu sebagai penguatan perlindungan hak-hak kelompok rentan, termasuk perempuan.
Dia juga mendorong partisipasi setara seluruh masyarakat desa tanpa pandang gender, disabilitas, atau latar belakang sosial.
“Ini memastikan, suara dan kebutuhan semua pihak didengar,” katanya yang juga mendampingi pembentukan Perdes GEDSI di Kaluppini, sejak 2023.
Perdes GEDSI, katanya, juga bisa menghapus diskriminasi dan ketidakadilan gender, praktik itu seringkali terjadi di desa.
“Komunitas yang inklusif dan adil cenderung lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Perdes GEDSI membantu membangun kohesi sosial dengan memastikan bahwa tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses pembangunan,” kata Muslimin.
Muslimin menyebut, Perdes GEDSI dapat meningkatkan kualitas pembangunan desa. Ketika pembangunan mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan beragam kelompok, hasilnya tentu lebih komprehensif, relevan, dan berkelanjutan.
Lembaga tempat Muslimin bernaung, SCF bersama Kemitraan turut mengawal Perdes GEDSI di Kaluppini.
Moch Yasir Sani, Program Manager Kemitraan menilai, perdes itu capaian penting yang menunjukkan komitmen desa menjadi lebih inklusif dan berpihak pada kelompok rentan.
“Ini praktik baik yang lahir dari proses partisipatif dan dialog antara komunitas adat, perempuan, dan pemerintah desa. Kami percaya model seperti ini dapat direplikasi di desa-desa lain di Indonesia.”
*****
*Liputan ini dari media visit dukungan Kemitraan bersama SCF melalui program Estungkara yang didukung oleh Inkusi.