- Proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kayan, Kalimantan Utara, tampaknya bakal lanjut setelah kembali pemerintah masukkan lagi dalam proyek strategis nasional (PSN) pada 2025.
- Masyarakat terutama perempuan di lokasi terdampak, seperti di Desa Long Pelban, gundah dan khawatir ruang hidup mereka bakal hilang. Megaproyek ini bakal menggusur seluruh desa yang dihuni mayoritas Komunitas Dayak Uma’ Kulit ini. Hutan, ladang, kebun, sampai pemukiman yang menjadi ruang hidup mereka bakal lenyap.
- PLTA Kayan merupakan proyek gagasan pemerintah sejak 2012, sebelumnya masuk dalam proyek strategis nasional, sempat keluar dan masuk lagi dalam PSN dalam penetapan 2025. Dengan kapasitas terpasang mencapai 9.000 MW, proyek ini digadang terbesar di Asia Tenggara.
- Ketika Long Pelban jadi bendungan maka masyarakat akan kehilangan segala. Meta Septalisa, periset dari Inaya Kayan Indonesia mengatakan, semua yang ada akan menjadi kenangan.“Mereka bukan titik di peta yang bisa digeser begitu saja.”
“Desa kami belum punya listrik, tapi ditenggelamkan demi listrik,” kata Sulau, getir.
Perempuan Uma’ Kulit di Long Pelban ini, desa adat di hulu Sungai Kayan, Kalimantan Utara, sedih dan khawatir karena kampungnya terancam tenggelam oleh proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Megaproyek ini bakal menggusur seluruh desa yang dihuni mayoritas Komunitas Dayak Uma’ Kulit ini. Hutan, ladang, kebun, sampai pemukiman yang menjadi ruang hidup mereka bakal lenyap.
Bagi warga Long Pelban, terutama para perempuan, tanah bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah ibu, sekolah, dan dapur kehidupan. Desa itu, katanya, merupakan gantungan hidup bagi mereka, tempat berladang, menugal benih, memanen padi, maupun tangkap ikan di sungai.
Long Pelban, katanya, merupakan gantungan hidup bagi mereka. Sulau tak bisa bayangkan kalau desanya tenggelam.
Guna peroleh tanah, warga dapat janji-janji ganti lokasi lebih baik. “Katanya kami akan dipindah ke tempat yang lebih baik. Tapi kami belum lihat gambarnya, belum tahu tanahnya di mana, airnya bagaimana,” keluh Selvi, perempuan Long Pelban.
Lebih dari sekadar relokasi, ancaman PLTA berarti mereka akan kehilangan identitas. Sekolah, makam leluhur, hutan, dan semua bakal lenyap.
Dalam tulisan sebelumnya di Mongabay, PT Kayan Hydro Energy (KHE), selaku pelaksana proyek sedang mencari investor baru pasca Sumitomo hengkang dari proyek ini.
“Kalau sebelumnya dengan Sumitomo, kami masih akan mencari (investor), setidaknya yang setara,” kata Steven Kho, Komite Eksekutif KHE, di Bulungan, Kaltara, belum lama ini, seperti dikutip dari media ini.
PLTA Kayan merupakan proyek gagasan pemerintah sejak 2012, sebelumnya masuk dalam proyek strategis nasional, sempat keluar dan masuk lagi dalam PSN dalam penetapan 2025. Dengan kapasitas terpasang mencapai 9.000 MW, proyek ini digadang terbesar di Asia Tenggara.

Pembangkit air ini akan dibangun dengan membendung aliran Sungai Kayan sepanjang 576 kilometer dan bermuara di Selat Sulawesi.
Konstruksi bendungan di lima titik dengan tinggi bendungan 85-125 meter, nyaris setara Monas di Jakarta.
Proyek ini juga berkaitan dengan pengembangan kawasan industri hijau dan pasokan energi ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara serta Malaysia. Namun, klaim ‘pembangunan hijau’ itu menyimpan luka ekologis dan sosial yang dalam.
Sebanyak 184.270 hektar lahan akan terkena dampak langsung maupun tidak. Rencana pembangunan lima bendungan akan mengakibatkan relokasi paksa dua desa: Long Lejuh dan Long Pelban. Jika dilihat lebih jauh dalam kajian dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), setidaknya ada enam desa yang akan terdampak, antara lain, Long Pelban, Long Lejuh dan Long Peso.
“Nah, dalam konteks ini akan ada relokasi. Harapan kita masyarakat memahami apa itu relokasi. Bagaimana genangan akan berdampak, dan berbagai hal lainnya, tak hanya iming-iming kesejahteraan kota yang berkorelasi pada materi bukan pada keberlanjutan sumber hidup,” kata Aray, Manager Kampanye Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari.
Desa Long Peso, katanya, daerah terdekat dengan Tugu Lima, merupakan lokasi peletakan batu PLTA, dan lokasi utama pengembangan KHE. Di sepanjang bibir sungai merupakan kawasan hutan yang masuk dalam hutan desa.
“Masyarakat melestarikan hutan, investasi ini memungkinkan alih fungsi hutan untuk infrastruktur jalan atau lain-lain yang mengancam alam sekitar dan masyarakat,” katanya.

Mengenal Long Pelban
Arus membelah Sungai Kayan deras dan batuan besar menghadirkan tantangan tersendiri bagi siapa pun yang menuju Long Pelban. Sekitar empat jam perjalanan dari Tanjung Selor, perahu merapat ke tepian.
“Kami tinggal di tempat yang jauh, tapi jangan kira kami tidak tahu apa yang terjadi,” ujar Rostina, perempuan tetua kampung yang tengah duduk di beranda rumah kayunya. “Long Pelban ini bukan tempat baru, kami sudah di sini sejak leluhur kami membuka ladang pertama kali,” katanya.
Long Pelban, berada di batas Kabupaten Bulungan dan Malinau, di Kecamatan Peso. Luas wilayah lebih 235.000 kilometer persegi dihuni sekitar 261 jiwa dari 57 keluarga.
Tak ada jalan darat yang menghubungkan langsung desa ini dengan dunia luar—hanya Sungai Kayan, yang berhulu di Gunung Ukeng dan mengalir ke Laut Sulawesi, menjadi urat nadi kehidupan.
Menurut cerita warga, nama “Long Pelban” berasal dari bahasa Dayak. Long berarti sungai atau muara, dan Pelban diduga merupakan nama leluhur atau penanda lokasi sakral.
“Kami hidup dari sungai ini. Di sini kami mandi, masak, cari ikan, bahkan mengantar anak sekolah,” kata Orva, warga Pelban lain.
Dulu, masyarakat Dayak hidup nomaden. Ketika rombongan Uma’ Kulit tiba di tepi Sungai Kayan lebih dari seabad lalu, mereka tahu bahwa tempat ini adalah rumah. Mereka membuka ladang, mendirikan rumah panjang, dan hidup berdampingan dengan hutan.
“Kata orang kota, kami terisolasi. Tapi bagi kami, justru di sinilah kami paling hidup,” ujar Murni, petani padi yang masih menanam benih lokal dari warisan leluhurnya.
Setiap petak tanah di Long Pelban menyimpan cerita. “Kami bisa hidup dari hutan. Dari tanah ini kami makan, dari air ini kami minum. Jadi kalau tanah ini hilang, hidup kami ikut hilang,” kata Sulau, sambil menunjuk ladang yang rimbun dengan sayur-sayuran.

“Bukan hanya titik di peta yang tinggal geser…”
Ketika Long Pelban jadi bendungan maka masyarakat akan kehilangan segala.
Semua yang ada akan menjadi kenangan.
“Mereka bukan titik di peta yang bisa digeser begitu saja,” ujar Meta Septalisa, periset dari Inaya Kayan Indonesia.
Dia bilang, Desa Long Pelban juga memiliki nilai sejarah dalam. Sejak 1901, desa ini telah dihuni Masyarakat adat Dayak Kayan dan Dayak Kenyah. Lebih khusus lagi, Suku Uma’ Kulit, merupakan kelompok yang mendominasi wilayah ini.
“Suku ini punya sejarah panjang kehidupan sampai akhirnya menetapi, di pedalaman hulu Sungai Kayan, di antara hutan belantara yang belum tersambung jalur darat,” katanya, mengutip dokumen lapangan FPAR Kaltara.
Selain menjadi pemukiman masyarakat adat, Long Pelban juga saksi penting sejarah berdirinya Kerajaan Bulungan. Kehadiran desa ini mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah panjang yang terus hidup di tengah ancaman pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan ruang hidup mereka.
“Di sini, perempuan menjadi penjaga benih lokal, sumber air, hingga hasil bumi yang dijadikan bagian dari ritual keagamaan dan sosial seperti perpuluhan dan gotong royong,” kata Jannah, penulis lokal.
Desa ini juga memiliki lumbung padi dan danau ikan yang dikelola kolektif, tradisi menuba untuk menangkap ikan, dan praktik berburu babi hutan yang masih bertahan.
Semua sistem ini, katanya, tidak hanya menopang ekonomi, juga bagian dari identitas budaya dan keberlangsungan hidup.
“Jika semua telah hilang, lantas, di mana lagi mereka dapat berdaulat akan ruang hidupnya?” kata Jannah.
Perempuan di Long Pelban, tak hanya menggantungkan hidup pada alam, juga pengelola utama sumber daya alam dan penentu keberlangsungan keluarga. Namun, dalam seluruh proses perencanaan PLTA, mereka tidak dilibatkan secara bermakna.

Informasi yang mereka terima hanya berupa iming-iming pekerjaan dan kesejahteraan.
Kehilangan ladang berarti hilangnya ruang ekonomi dan sosial perempuan, kata Meta, juga ruang belajar antar-generasi, tempat berbagi pengetahuan tentang budaya lokal, serta meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender.
Ketika ruang hidup dan kedaulatan atas tanah terampas, katanya, perempuan menjadi pihak yang paling rentan dan terpinggirkan.
“Perempuan Long Pelban memiliki pengetahuan tentang jenis tanah, pola tanam, dan penentuan musim panen,” kata Meta.
Keahlian ini, katanya, tidak dianggap penting dalam logika pembangunan industrial. Perempuan, kata Meta, masih dipandang sebatas pekerja domestik, bukan pengambil keputusan.
Meta meminta, pemerintah kaji ulang pembangunan PLTA Kayan, bukan hanya dari sisi energi atau ekonomi, juga sisi keberlanjutan kehidupan, keadilan ekologis, dan hak perempuan atas ruang hidupnya.
Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi proses peminggiran dan perampasan yang berselimut retorika kesejahteraan. “Apa arti kemajuan jika dibangun di atas reruntuhan rumah, ladang, dan kenangan? Warga Long Pelban berdiri bukan untuk menolak masa depan, tetapi memperjuangkan masa depan yang tidak melupakan masa lalu.”
Dia ajak pemerintah melihat Long Pelban sebagai tempat kehidupan berakar dalam tanah dan tradisi. Dalam setiap cerita warga, tergambar bahwa mereka tidak hanya mempertahankan tanah, juga makna.
“Warga Long Pelban berdiri tegak. Bukan sebagai penonton dari proyek besar, tapi sebagai penjaga dari rumah, sejarah, dan masa depan mereka.”

*****
Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati Terancam Kalau Megaproyek PLTA Kayan Jalan