- Burung hantu memainkan peran vital dalam ekosistem. Predator alami ini membantu mengendalikan populasi hewan pengerat seperti tikus, yang bisa menjadi hama dan pembawa penyakit di lingkungan perkotaan.
- Selain burung hantu, di Jakarta masih terdapat burung malam lain seperti cabak-cabak, dari famili Caprimulgidae.
- Urbanisasi yang masif dan pencahayaan kota yang berlebihan menganggu pola aktivitas burung malam. Banyak yang kesulitan mencari makan, bahkan bisa mati tertabrak kendaraan atau tersesat karena cahaya buatan yang berlebihan (light pollution).
- Ruang terbuka hijau di Jakarta kondisinya Hal terpenting adalah kualitas dan persebarannya. Bisa jadi, satu titik sangat kaya spesies, tetapi lainnya gersang. Ini menandakan ketimpangan berbahaya dalam jangka panjang.
Muhammad Aldin Fahreza (26) tampak antusias mengikuti pengamatan burung malam di Taman Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Menggunakan binokuler, bersama peserta lainnya, dia mendongakkan kepala ke arah pucuk pohon. Berharap melihat burung malam yang bersembunyi di gelapnya kota.
Tampak seekor celepuk reban (Otus lempiji) bertengger di cabang tinggi pohon trembesi (Samanea saman).
“Tidak nyangka, masih ada burung hantu liar,” jelasnya, Jumat (16/5/2025).
Pengalaman itu, membuka mata Aldin bahwa kota yang dihuni sekitar 11 juta jiwa ini masih menyediakan ruang terbuka hijau bagi satwa liar.
Nisa Lutfiana, peserta lain, mengaku penasaran mengamati burung malam hari.
“Jenisnya berbeda dengan yang aktif siang hari,” ujarnya, di sela kegiatan yang digagas komunitas Jakarta Birdwatcher’s Society (JBS).

Ruang edukasi publik
Ruang terbuka hijau yang diamati tidak hanya Taman Menteng, namun juga Ragunan, hingga kawasan Soekarno-Martina Sattua. Peserta yang hadir juga berasal dari latar beragam, mulai mahasiswa, pekerja, fotografer, akademisi hingga masyarakat umum.
Dinda Safira Fauziah, koordinator kegiatan JBS, mengatakan lebih 250 jenis burung liar terpantau di Jakarta dan sekitar.
“Beberapa bahkan endemik, yang bertahan dari tekanan urbanisasi.”
Namun, tidak semua burung yang terlihat di ruang publik Jakarta berasal dari alam bebas. Ada beberapa ‘burung lepasan’, yaitu burung-burung eksotis yang kemungkinan besar merupakan peliharaan.
Satu kasus menarik adalah keberadaan cenderawasih kuning kecil yang sudah 10 tahun terakhir berada di sekitar Gelora Bung Karno (GBK).
“Kemungkinan besar dulunya peliharaan yang dilepas. Sampai sekarang masih terlihat.”
Dinda juga pernah menjumpai julang alias rangkong, serta koloni kakaktua jambul kuning di Ragunan, yang sudah beranak pinak secara liar.
“Kakatua bisa berkoloni hingga belasan ekor. Artinya, mereka mampu beradaptasi dengan habitat kota.”
Setiap bulan, JBS mendokumentasikan temuan burung liar, termasuk jenis-jenis burung malam yang lebih sulit dijumpai seperti burung hantu.

Burung hantu memainkan peran vital dalam ekosistem. Predator alami ini membantu mengendalikan populasi hewan pengerat seperti tikus, yang bisa menjadi hama dan pembawa penyakit di lingkungan perkotaan.
“Tanpa kehadiran burung malam, keseimbangan kota bisa terganggu,” ungkapnya.
Namun, urbanisasi yang masif dan pencahayaan kota yang berlebihan menganggu pola aktivitas burung malam. Banyak yang kesulitan mencari makan, bahkan bisa mati tertabrak kendaraan atau tersesat karena cahaya buatan yang berlebihan (light pollution).

Indikator penting kesehatan kota
Oki Hidayat, peneliti dari Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa burung malam bisa menjadi indikator penting kesehatan ekologi kota. Tidak hanya habitat, melainkan juga tekanan yang dihadapi.
Selain burung hantu, berdasarkan pengamatannya, di Jakarta masih terdapat burung malam lain seperti cabak-cabak, dari famili Caprimulgidae.
“Ruang terbuka hijau di Jakarta kondisinya tertekan. Hal terpenting adalah kualitas dan persebarannya. Bisa jadi, satu titik sangat kaya spesies, tetapi lainnya gersang. Ini menandakan ketimpangan berbahaya dalam jangka panjang,” ujarnya, Kamis (22/5/2025).

Dalam penelitian ekologi, keanekaragaman hayati sering dinilai melalui indeks-indeks seperti Shannon-Wiener atau Simpson. Namun, pendekatan ini bisa dilengkapi dengan metode lebih sederhana dan partisipatif seperti citizen science.
“Peneliti jumlahnya sedikit, waktu terbatas. Namun, jika kita bisa memanfaatkan kekuatan warga, maka kita dapat data sangat kaya.”
Platform pengamatan berbasis masyarakat telah berkontribusi besar dalam menyediakan data biodiversitas di kota.
“Meski begitu, verifikasi data bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”

Oki contohkan sebuah studi di luar negeri yang memadukan data burung malam dengan variabel lingkungan seperti jarak dari badan air dan tipe permukiman. Hasilnya, ada korelasi antara keberadaan burung malam dengan variabel-variabel itu, meski tidak selalu linier.
“Yang menarik, beberapa jenis burung malam justru bisa beradaptasi dengan kondisi urban yang ekstrem, seperti cahaya berlebihan dan kebisingan. Artinya, mereka mempunyai fitness atau kemampuan adaptasi tinggi,” pungkasnya.
*****
Seribu Burung Hantu Atasi Hama Tikus di Majalengka, Efektif?