- Pemerintah mendorong mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) bertumpu sawit sebagai jalan transisi dan menciptakan kemandirian energi seperti Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Berbagai organisasi masyarakat sipil mengingatkan lagi kebijakan ini rentan menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat.
- Penelitian Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia hingga 2023 mencapai 25,33 juta hektar. Luasan ini, berisiko bertambah luas menyusul berbagai kebijakan pengelolaan sawit.
- Giorgio Budi Indrarto, Deputy Director Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, peningkatan kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil) untuk industri biodiesel berisiko memperluas lahan sawit lebih 6 juta hektar. Ekspansi ini bisa mendorong deforestasi yang berujung kerusakan ekosistem serta hilangnya keanekaragaman hayati.
- Mereka berikan beberapa masukan, seperti berhenti permanen ekspansi kebun sawit, pemerintah harus memprioritaskan intensifikasi dan penanaman kembali untuk mencapai produktivitas 5-6 ton per hektar. Terutama untuk perkebunan sawit swadaya atau petani sawit melalui program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Juga mendorong pengembangan bioenergi berbasis komunitas dengan memanfaatkan minyak jelantah, biji karet dan tanaman lokal lain sebagai sumber bahan baku lain.
Pemerintah mendorong mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) bertumpu sawit sebagai jalan transisi dan menciptakan kemandirian energi seperti Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Berbagai organisasi masyarakat sipil mengingatkan lagi kebijakan ini rentan menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat.
Kini campuran solar dengan minyak nabati mulai jalan bertahap dari B35, B40, B50 bahkan target jangka panjang B100 alias 100% biodiesel berbasis sawit gantikan solar murni.
Giorgio Budi Indrarto, Deputy Director Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, peningkatan kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil) untuk industri biodiesel berisiko memperluas lahan sawit lebih 6 juta hektar. Ekspansi ini bisa mendorong deforestasi yang berujung kerusakan ekosistem serta hilangnya keanekaragaman hayati.
“Tanpa pembatasan tegas, ekspansi perkebunan sawit akan semakin meningkatkan pelepasan emisi karbon yang masif. Sehingga menjadi ancaman bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia yang telah tertuang dalam dokumen NDC (nationally determined contributions),” katanya dalam diskusi Rasionalisasi Bauran Energi dan Transformasi Tata Kelola BBN, di Jakarta Pusat, akhir Mei lalu.
Masalahnya, hampir semua produksi biodiesel berbahan baku CPO. Pada 2025 ini, pemerintah menetapkan campuran biodiesel berbasis minyak sawit 40% (B40) dalam solar. Untuk memenuhi itu, membutuhkan 17,57 kilo liter CPO. Pada 2026, pemerintah menargetkan campuran 50% (B50) dengan perkiraan perlu 20 juta kilo liter CPO.
Giorgio bilang, produktivitas sawit di Indonesia rendah, rata-rata nasional 3,6 ton per hektar per tahun. Sedang konsumsi minyak sawit untuk dalam negeri terus mengalami peningkatan tiap tahun. Pada 2024, konsumsi minyak sawit mencapai 23,85 juta ton, naik 2,78% dari 2023 23,21 juta ton.

Kalau terus ekspansi kebun sawit, bisa berdampak ekologis terhadap tutupan hutan primer dan sekunder, degradasi lahan gambut, serta penurunan jasa lingkungan hidup, termasuk penyerapan karbon dan pengaturan siklus hidrologi. Selain itu, pelepasan emisi karbon dari lahan yang alih fungsi untuk sawit mengancam target Folu Net Sink 2030 dan Enhanced NDC 2030.
Analisis Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan, dari total 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia, 5,7 juta hektare berada dalam izin sawit.
“Dari angka itu, 1,3 juta hektar berupa hutan alam di ekosistem gambut yang keberadaannya esensial,” katanya.
Konflik agraria juga akan terjadi karena tumpang tindih lahan dan ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada sawit. Selain itu, ekspansi lahan sawit yang tidak terkendali akan memicu konflik agraria, mengancam stabilitas sosial.
Tantangan pada aspek tata kelola, tata niaga dan transparansi, katanya, masih menjadi penghalang jadikan industri BBN berkelanjutan.
Setiap aktor dalam rantai pasok, katanya, memainkan peranan penting dan menghadapi tantangan hingga perlu perhatian lebih agar manfaat dari industri BBN bisa berkeadilan.
Meski biodiesel memiliki potensi besar mendukung kemandirian energi nasional, saat ini belum mampu memberikan manfaat merata, terutama bagi petani kecil yang mengelola sekitar 40- 42% lahan sawit Indonesia. Petani swadaya, yang menjadi tulang punggung sektor hulu, justru seringkali pada posisi paling rentan.
“Ketergantungan dengan sawit akan memperkuat dominasi pelaku industri besar dan memperlemah posisi petani sawit rakyat yang menghadapi hambatan dalam akses pasar dan subsidi,” kata Giorgio.

Picu konflik agraria
Penelitian Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia hingga 2023 mencapai 25,33 juta hektar. Luasan ini, katanya, berisiko bertambah luas menyusul berbagai kebijakan pengelolaan sawit.
“Misal, kita lihat di Sulawesi, itu ada program mega proyek Sulawesi Palm Oil Belt. Itu rencana pembukaan sawit 1 juta hektar,” kata Hadi Saputra, Kepala Departemen Kampanye, Kebijakan Publik dan Riset Sawit Watch.
Ekspansi sawit,katanya, menimbulkan perubahan bentang alam, struktur perekonomian lokal dan regional. Kemudian, perubahan sumber penghidupan masyarakat lokal, terutama komunitas lokal dan adat yang selama ini tergantung pada hutan.
Kini sawit sudah ‘menguasai’ Kalimantan dan Sumatera. Pemerintah yang mendorong ekspansi sawit sebagai ‘jlan’ pengembangan ekonomi pada 1970-an.
Selain Sumatera dan Kalimantan, wilayah Indonesia timur seperti Sulawesi hingga Papua juga menjadi sasaran sawit di Indonesia.
Industri sawit, katanya, sarat dengan konflik agraria. Setidaknya ada 1.126 kelompok masyarakat berkonflik dengan perusahan sawit. Jumlah itu, tersebar di 22 provinsi, melibatkan 385 perusahaan sawit yang tergabung dalam 131 grup.
Berdasarkan tipologinya, antara lain, konflik tenurial atau agraria mendominasi 55,86%, dan masalah kemitraan 9,33%.
“Jadi dengan semakin bertambah instalasi konflik itu akan menyebabkan munculnya tahapan krisis.”
Hadi mengatakan, konflik agraria karena sawit ini terpicu beberapa hal, antara lain, tergiur janji manis perusahaan, perusahaan tidak menerapkan prinsip informasi utuh (FPIC) dengan baik, penyerobotan dan tumpang tindih lahan masyarakat, bahkan tanpa kompensasi.
Ada juga hak-hak masyarakat melalui skema kerjasama tak terpenuhi, kriminalisasi dan intimidasi masyarakat.
Akhirnya, konflik ini akan berdampak pada masyarakat kehilangan mata pencaharian dan sumber penghidupan maupun wilayah kelola mereka.
Hadi bilang, menghadapi konflik berkepanjangan tanpa penyelesaian juga berpengaruh jangka panjang pada kestabilan sosial, ekonomi dan dinamika politik.
“Aparat yang dilibatkan perusahaan justru memperparah konflik dengan masyarakat. Contoh, kasus di Seruyan, masyarakat bentrok dengan polisi satu orang meninggal,” katanya.
Menurut dia, penyelesaian konflik ini bergantung kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat. Hasil penelitian Daemeter dan Lingkar Pembaruan Desa Agraria (Karsa), penyelesaian konflik sosial dari sengketa lahan sawit menelan biaya Rp80 juta-Rp240 juta per hektar per konflik.
“Pantauan kami penyelesaian konflik rentang 2022-2024 ditemukan 198 kasus dengan mekanisme pengadilan dan mediasi,” katanya.

Apa solusinya?
Giorgio tak saklek meminta pemerintah menghentikan program BBN itu. Hanya saja, dia menekankan perlu rasionalisasi dalam tata kelola BBN guna menciptakan transisi energi berkelanjutan dan berkeadilan.
Rasionalisasi itu yakni setop ekspansi kebun sawit. Dengan peningkatan keperluan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam untuk mencapai target pencampuran biodiesel tidak bisa dengan pembukaan lahan baru.
Sesuai analisis daya dukung lingkungan, luas tutupan sawit yang menjadi ambang batas maksimal 18,15 juta hektar. Untuk itu, perlu menetapkan cap maksimal 18,15 juta hektar untuk tutupan lahan sawit nasional sesuai hasil studi daya dukung lingkungan.
“Harus berhenti permanen [ekspansi kebun sawit], seperti moratorium hutan yang kita permanenkan,” katanya.
Kemudian, pemerintah harus memprioritaskan intensifikasi dan penanaman kembali untuk mencapai produktivitas 5-6 ton per hektar. Terutama untuk perkebunan sawit swadaya atau petani sawit melalui program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Juga mendorong pengembangan bioenergi berbasis komunitas dengan memanfaatkan minyak jelantah, biji karet dan tanaman lokal lain sebagai sumber bahan baku lain. Serta mengoptimalkan fungsi pengawasan kebijakan BBN dengan memperkuat kapasitas serta kewenangan lembaga.
“Kemudian menghidupkan BUMDes dan Koperasi Desa sebagai pusat produksi bioenergi skala kecil, yang berkontribusi meningkatkan pendapatan masyarakat desa hingga US$2 miliar.”
Yayasan Madani Berkelanjutan bersama organisasi masyarakat sipil yang lain mendorong pemerintah menerapkan skenario Intervensi yang mengedepankan pendekatan lokal. Misal, dengan membuka peluang pengembangan bahan baku selain sawit atau penguatan kebun sawit swadaya.
Upaya ini, katanya, bisa menawarkan peningkatan produktivitas tanpa ekspansi lahan dan manfaat ekonomi yang lebih besar.
Berbanding terbalik bila pemerintah menerapkan skenario business as usual (BaU) dalam memenuhi target pencampur biodiesel akan menyebabkan ekspansi lahan sawit dan peningkatan biaya sosial dan lingkungan.
“Kalo pakai business as usual petani hanya dapat capeknya doang. Tapi kalo intervensi lokal, harga ekspor masih sama, sisanya balik ke desa lagi. Yang terpenting, biaya sosialnya kecil karena petani yang melakukannya sendiri.”

*****