- Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) menggelar unjuk rasa ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) provinsi itu, Kamis (22/5/25). Mereka menolak perusahaan kayu PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kini, perusahaan dalam proses pengajuan izin untuk bisa menguasai kawasan hutan lebih 20.000 hektar.
- Koalisi menilai, pemberian izin hanya akan memperparah krisis ruang dan kerusakan lingkungan yang sudah lama membayangi bumi Mentawai ini. Ancaman krisis pangan dan air juga akan meningkat, termasuk bencana banjir tatkala izin tersebut diberikan.
- Sipora adalah pulau kecil dengan luas 61.518 hektar. Pulau ini memiliki hutan produksi seluas 28.905 hektar, hutan produksi konversi seluas 5.883 hektar dan 26.066 hektar areal penggunaan lain (APL). Masalahnya, dari puluhan ribu hektar hutan yang ada di Sipora, sekitar 70 persen dikuasai oleh perusahaan. Termasuk, izin PBPH milik SPS seluas 20.706 hektar yang didalamnya termasuk hutan adat seluas 14.000 hektar.
- Daud Sabalabat, kuasa perusahaan menyatakan, sampai saat ini operasional perusahaan belum dimulai karena masih menunggu izin dari pusat. Senyampang itu, pihaknya terus menerima masukan dari berbagai pihak. Pihaknya akan mengecek ulang kemungkinan adanya hutan adat yang masuk konsesi perusahaan.
Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) menggelar unjuk rasa ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) provinsi itu, Kamis (22/5/25). Mereka menolak perusahaan kayu PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kini, perusahaan dalam proses pengajuan izin untuk bisa menguasai kawasan hutan lebih 20.000 hektar.
Mereka sempat merangsek masuk ke Aula DLH dimana rapat Komisi Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) SPS tengah berlangsung.
“Kami dengan tegas menolak izin Sumber Permata Sipora seluas 20.706 hektar di Sipora Utara dan Sipora Selatan,” kata Markolinus Sagulu, Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (Formma).
Pemberian izin, katanya, hanya akan memperparah krisis ruang dan kerusakan lingkungan yang sudah lama membayangi bumi Mentawai ini. Ancaman krisis pangan dan air akan meningkat, termasuk bencana banjir tatkala izin keluar.
“Secara langsung maupun tidak langsung rencana Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) ini juga akan menghilangkan sumber-sumber makanan pokok maupun tanaman penunjang kehidupan masyarakat. Sumber-sumber air juga banyak ada di hutan,” katanya.
Bagi masyarakat Mentawai, hutan bukan sekadar tegakan kayu juga identitas budaya yang memiliki keterikatan dengan leluhur.
“Masyarakat Adat Mentawai yang menjaga hutan karena pangan dan obat-obatan mereka ada di sana. Sehingga hutan Sipora selalu tumbuh, namun ancaman eksploitasi terus mengintai hutan yang dijaga turun temurun ini. Aktivitas penebangan kayu di sana akan memutus keyakinan luhur ini,” katanya.

Afriandi Talisipet, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai, tegas menolak PBPH SPS yang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terbitkan. AMAN Mentawai putuskan tak hadiri undangan rapat Amdal SPS yang digelar DLH Sumbar.
Afriandi bilang, ada tujuh komunitas adat yang kini mendiami Pulau Sipora di kawasan seluas 23.562,9 hektar. Ada Komunitas Goiso Oinan, Rokot, Matobe, Saureinu, Sioban, Sibagau, Sakarebau, dan Meilepet Sipora Selatan. Empat komunitas sudah mendapat pengakuan hutan adat yatu Goiso Oinan, Rokot, Matobe dan Saureinu.
“Sebelumnya, mereka (komunitas adat) berkumpul dan menyatakan menolak rencana operasional SPS di wilayah adat mereka,” kata Afriandi.
Surat penolakan ditandatangani 30 perwakilan tujuh uma itu juga sudah mereka kirimkan ke Kementerian Lingkungan Hidup.
Rifai Lubis, Dewan Pengawas Perkumpulan Qbar juga Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, PBPH SPS tak layak karena sejumlah alasan. Dari bentuk usaha penebangan hutan skala besar merupakan praktik usaha primitif yang berlangsung sejak era Belanda.
“Sekarang ini, terkait dengan perubahan iklim, seharusnya usaha-usaha yang green. Dengan begitu maka ini tidak sejalan dengan semangat zaman, berarti orang-orang dibalik perusahaan ini tidak peduli dengan persoalan-persoalan lingkungan,” katanya.
Pemberian izin PBPH ini, memperlihatkan arogansi negara menundukkan hak-hak adat orang Mentawai atas hutan di Sipora. Negara tidak konsisten memitigasi perubahan iklim. Pemberian izin itu akan berdampak secara ekologi terhadap ekosistem Sipora yang masuk kategori pulau kecil.
Rifai bilang, izin PBPH SPS akan membuat hutan di Sipora habis yang ujungnya meningkatkan risiko bencana di Sipora, seperti banjir. Dia pun tak yakin, dokumen lingkungan yang mereka punya bisa menekan dampak buruk di kemudian hari.

Berdampak sistemik
Wengki Purwanto, perwakilan Walhi Sumbar menyebut investasi rakus ruang ini akan berdampak sistemik terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal Kepulauan Mentawai. “Investasi eksploitatif seluas 20.706 hektar itu tentu akan menambah tekanan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya di Pulau Sipora.”
Semestinya, pemerintah mulai menggeser kebijakan pembangunan tidak lagi eksploitatif menguras kekayaan ala tetapi mencari usaha yang bisa berkontribusi signifikan bagi kesejahteraan masyarakat adat di Mentawai.
Sejak 1970-an sampai sekarang, kata Wengki, eksploitasi kayu di Mentawai tidak memberi kontribusi nyata terhadap masyarakat adat. Alih-alih, mereka justru makin terpinggirkan dan terancam kehilangan identitasnya.
Izin SPS, katanya, tak sesuai visi Sumbar 2025-2045 sebagai daerah madani, maju, berkelanjutan, berdasarkan agama dan budaya. “Bagaimana akan maju, kalau hutan sebagai jati diri itu dieksploitasi? Ini juga akan berdampak kepada ekosistem di Kepualauan Mentawai dan akan meningkatkan risiko bencana ekologis.”
Walhi menyebut, dalam rentang delapan tahun terakhir, bencana yang paling sering terjadi di Sumbar adalah banjir dan longsor. Hal itu mengindikasikan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup menurun.
Dia juga menyoroti proses penerbitian izin salah kaprah. Seharunya, dokumen lingkungan hidup (amdal) yang jadi instrumen untuk memastikan kelaikan lingkungan dgbahas lebih dulu sebelum izin terbit.
“Logikanya, mestinya itu dilakukan kajian terlebih dulu dalam konteks ekologi apakah ini laka diterbitkan izin atan tidak. Ini kan terbalik. Izin keluar dulu, sementara kajian lingkungannya dibahas belakangan.”

Kuasa perusahaan
Luas Sipora 61.518 hektar, tergolong sebagai pulau kecil, sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dari luas itu, 28.905 hektar merupakan kawasan hutan produksi, 5.883 hektar hutan produksi konversi, dan 26.066 hektar areal penggunaan lain (APL). Masalahnya, dari puluhan ribu hektar hutan di Sipora, sekitar 70% dalam kuasa perusahaan, termasuk izin PBPH milik SPS seluas 20.706 hektar.
Koalisi menilai, Sipora adalah pulau kecil yang hanya memiliki dua wilayah kecamatan dengan delapan desa. Yakni Desa Tua Pejat, Betumonga, Bosua, Nem-Nem Leleu, Beriulou, Mara, Sioban dan Saureinu. Mereka meyakini, izin pemanfaatan hutan hanya akan berdampak pada ekosistem di Sipora.
Catatan koalisi, terdapat 18 sungai yang mengalir dan menjadi sistem ‘pengairan’ di Sipora. Mulai dari Sungai Beriulow, Bosua, Bulak, Gegetaet, Masokut, Saurenu, Sibagau. Selanjutnya DAS Siberimanua, Sibetumonga, Sigitci, Simabolat, Simanggai, Simapupu, Simatobaerak, Sioban, Sipasosoat, Taigemgem dan Teraet.
“PBPH akan mengubah ekosistem alami dan memperpanjang daftar satwa yang terancam punah, serta menyebabkan konflik satwa dengan manusia,” kata Markolinus.
Pemberian izin juga akan ancam sejumlah satwa endemik di Sipora, seperti simakobu, bokkoi, joja serta spesies lain seperti kijang dan trenggiling. Termasuk pula spesies dari kelompok aviatik seperti murai batu, rangkong, bubut, kutilang dan lain-lain.
Tasliatul Fuadi, Kepala DLH Sumbar mengatakan, dinas hanya menerima penugasan dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait penilaian dan pembahasan dokumen amdal SPS. Mereka tidak dalam konteks menerima atau menolak dokumen itu.
Menurut dia, penyusunan amdal untuk mengidentifikasi segala dampak yang timbul dari aktivitas perusahaan. “Mulai dari yang positif atau negatif karena yang namanya usage pasti ada dampak baik, positif atau negatif. Jadi dokumen amdal tidak dalam konteks menerima atau menolak. Silakan nanti menteri lingkungan hidup yang memberi keputusan.”
Saat ini, amdal SPS sedang dalam tahap pembahasan bersama dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKP-RPL). Kementerian juga telah menyetujui dokumen amdal perusahaan.
Mereka mengakui bahwa Sipora masuk dalam kategori pulau kecil. “Namun, karena status kawasannya hutan produksi sesuai dengan tata ruang, tidak ada satu pun yang dilanggar dan salah, karena itu ruangnya. Kecuali ruangnya semua hutan lindung, tidak bisa kita manfaatkan,” katanya.

Rinto Wardana Samaloisa, Bupati Mentawai mengatakan, kewenangan penerbitan izin pengolahan kayu hutan ada di pusat dan provinsi. Selama ini, mereka juga tidak pernah menerbitkan dokumen apapun yang bersifat materiil sehingga tidak punya posisi tawar untuk menolaknya.
Risiko konflik akan terus terjadi selama proses penerbitan izin tidak melibatkan otoritas di daerah. “Yang terjadi, pemda hanya jadi pembersih piring kotor saja.” Karena itu, ia berharap agar pengelolaan hutan dikembalikan ke daerah dengan melibatkan multipihak.
Sihol Simanihuruk, Kepala Bidang Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mentawai mengatakan, berupaya mencari solusi terkait polemik penerbitan izin SPS. Pihaknya telah mengirim surat rekomendasi kepada pemerintah pusat agar kehadiran SPS tidak bersinggungan dengan masyarakat adat di Sipora Selatan dan Utara.
Daud Sabalabat, kuasa perusahaan menyatakan, sampai saat ini operasional perusahaan belum mulai karena masih menunggu izin dari pusat. Mereka terus menerima masukan dari berbagai pihak.
Soal hutan adat yang disebut masuk konsesi perusahaan, dia berjanji untuk melakukan pengecekan. “Itu kami terima dan tim konsultan akan membuat rekomendasi dengan dinas, nanti di-overlay. Kita juga akan keluar dari situ jika memang ada,” katanya.
Dia mengatakan, perusahaan awalnya memiliki luasan sekitar 27.000 hektar. Namun sudah dikurangi sampai 7.000 hektar. Dia pun merespons positif aksi penolakan dari koalisi masyarakat sipil atas rencana kegiatan perusahaan. “Itu akan tetap menjadi input, masukan yang akan kita berikan ke konsultan.”
*****