- Ophiophagy merupakan strategi makan evolusioner yang berkembang pada sejumlah spesies ular, memungkinkan mereka untuk memangsa sesama ular sebagai bentuk adaptasi terhadap tekanan lingkungan dan kompetisi sumber daya, sekaligus memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang kompleks.
- Spesies-spesies seperti kobra raja, kingsnake, dan ular indigo memperlihatkan kemampuan adaptif yang luar biasa, termasuk kekebalan terhadap bisa ular lain serta teknik berburu yang strategis dan efisien, menjadikan mereka predator yang tangguh dalam ekosistemnya.
- Meskipun berperan vital dalam menjaga stabilitas populasi dan struktur rantai makanan, keberadaan ular-ular ini sering terabaikan atau bahkan terancam akibat stigma negatif di masyarakat yang masih menganggap ular sebagai ancaman semata, bukan sebagai bagian penting dari alam yang perlu dilindungi. pada beberapa spesies ular, yang memungkinkan mereka memangsa sesama ular dan menjaga keseimbangan ekosistem melalui regulasi predator lain.
Di berbagai ekosistem tropis Asia Tenggara, beberapa spesies ular—termasuk ular kobra raja (atau king cobra)—memangsa ular lain sebagai bagian dari strategi bertahan hidup mereka. Perilaku ini dikenal sebagai ophiophagy, yaitu kebiasaan memangsa sesama ular, bukan mangsa umum seperti tikus, kadal, atau burung. Fenomena ini mencerminkan strategi makan yang unik yang turut membentuk struktur dan keseimbangan ekosistem.
Ular secara umum dikenal sebagai predator puncak dalam rantai makanan. Namun, ketika mereka memangsa spesies ular lain, muncul dinamika baru yang mencerminkan adaptasi evolusioner penting. Ophiophagy bukanlah perilaku menyimpang, melainkan bagian dari peran ekologis spesies tertentu dalam habitatnya.
Mengapa Ular Memangsa Sesamanya?
Penting untuk memahami perbedaan antara ophiophagy dan kanibalisme. Kanibalisme terjadi ketika hewan memangsa individu dari spesies yang sama, sementara ophiophagy berarti ular memangsa ular lain dari spesies yang berbeda. Ini bukan perilaku aneh, melainkan strategi makan yang efisien untuk bertahan hidup di alam, terutama saat makanan lain sulit ditemukan.

Daging ular mengandung banyak protein dan mudah dicerna, sehingga menjadi sumber makanan yang bernutrisi tinggi bagi predator ular. Di lingkungan yang sumber makanannya terbatas atau banyak pesaing, kemampuan untuk memangsa ular lain memberi keuntungan besar bagi kelangsungan hidup spesies tertentu. Beberapa ular, seperti kobra raja (Ophiophagus hannah), bahkan memiliki kekebalan terhadap bisa ular lain. Penelitian menunjukkan bahwa tubuh mereka mengalami perubahan pada bagian protein saraf, sehingga bisa dari mangsa tidak berpengaruh besar dan mereka tetap bisa bertahan.
Kekebalan ini berasal dari perubahan genetika yang rumit, seperti perbedaan cara tubuh mereka memproses racun. Dengan perlindungan ini, ular-ular tersebut bisa berburu dengan aman meskipun mangsanya sangat berbisa. Mereka tidak hanya kuat dan cepat, tetapi juga punya sistem pertahanan tubuh yang membuat mereka semakin efektif sebagai predator.
Baca juga: Satwa-satwa Pemburu Ular Kobra: Siapa Mereka?
Para Predator Sesama: Spesies-Spesies Ophiophagous
Kobra Raja (Ophiophagus hannah) adalah ikon dari perilaku ophiophagy. Sebagai salah satu contoh paling terkenal, spesies ini menunjukkan perilaku memangsa sesama yang sangat jelas dan mendominasi dalam kesehariannya. Namanya saja berarti “pemakan ular.” Ular berbisa terbesar di dunia ini sebagian besar memakan ular lain—baik yang berbisa seperti krait dan pit viper, maupun yang tidak. Dengan insting berburu yang cermat, kemampuan melacak mangsa dalam jangka waktu lama, dan kecepatan menyerang yang presisi, mereka menjadi regulator populasi predator lain di hutan tropis Asia.
Melangkah ke belahan dunia lain, kingsnake (Lampropeltis getula), meskipun tidak berbisa, adalah predator ular yang sangat efektif di Amerika Utara. Ia memiliki kekebalan terhadap bisa rattlesnake, dan menggunakan kekuatan lilitan tubuhnya untuk menaklukkan dan menelan ular berbisa yang lebih besar darinya. Studi lapangan mencatat bahwa kingsnake dapat mengontrol populasi rattlesnake secara signifikan di beberapa daerah, menjadikannya bagian penting dari keseimbangan hayati lokal.

Contoh lain datang dari Amerika bagian selatan, yaitu ular indigo timur (Drymarchon couperi), yang merupakan predator kuat dan gesit. Ular ini aktif di siang hari dan memakan berbagai jenis reptil, termasuk ular-ular berbisa seperti copperhead dan cottonmouth. Kecepatan, ukuran tubuh yang besar, dan kekuatannya menjadikannya salah satu ular non-berbisa paling disegani di antara komunitas reptil predator.
Selain ketiga spesies utama tersebut, ada juga beberapa spesies lain yang menunjukkan perilaku serupa meskipun tidak seintensif contoh-contoh sebelumnya. Ular karang (Micrurus spp.), Ular Kucing (Boiga spp.), dan bahkan sanca kembang (Python reticulatus) dilaporkan memangsa sesama ular dalam situasi tertentu. Misalnya, di penangkaran atau saat kelangkaan makanan di alam liar, ular-ular ini menunjukkan fleksibilitas dalam pola makannya—tanda bahwa ophiophagy bukan perilaku eksklusif dari segelintir spesies, tetapi bisa menjadi strategi oportunistik yang lebih umum dari yang diperkirakan.
Baca juga: Lebih Mematikan dari Kobra, Ular Putih Papua Belum Ada Antivenomnya
Mengapa Ophiophagy Penting bagi Ekosistem?
Perilaku ini lebih dari sekadar bentuk ekstrem predasi. Ophiophagy memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan komunitas ular dan ekosistem secara keseluruhan. Dengan memangsa ular lain, spesies ophiophagous dapat mengendalikan populasi predator lain yang jika tidak dibatasi bisa mengganggu keseimbangan populasi mangsa mereka, sehingga berpotensi menyebabkan efek domino dalam rantai makanan. Ini mirip dengan peran pemangsa puncak seperti singa atau harimau di darat, atau hiu dalam ekosistem laut.
Selain itu, kehadiran spesies ophiophagous dapat menurunkan kompetisi antar predator sejenis yang berbagi habitat dan sumber daya. Dengan menargetkan ular lain sebagai mangsa, mereka secara tidak langsung mencegah ledakan populasi predator sekunder yang bisa berdampak negatif terhadap spesies lain yang lebih rentan. Karena itu, kehadiran ular pemakan ular sering dianggap sebagai indikator ekosistem yang sehat, stabil, dan memiliki rantai makanan yang berlapis dan seimbang.

Contohnya dapat dilihat di habitat tropis Asia Tenggara, di mana populasi kobra raja yang stabil membantu menekan jumlah ular tikus yang merupakan vektor potensial penyakit zoonosis seperti leptospirosis. Dengan menyeimbangkan populasi ular lain, mereka juga membantu mengurangi kontak ular-manusia di wilayah pedesaan. Di Amerika Serikat, kingsnake memainkan peran serupa dengan menekan populasi ular berbisa seperti rattlesnake, yang seringkali menjadi ancaman bagi hewan ternak dan keselamatan manusia.
Tanpa keberadaan predator seperti ini, keseimbangan ekosistem dapat terganggu. Ular predator sekunder yang tidak dikendalikan bisa menurunkan populasi mangsa hingga kritis, yang pada akhirnya bisa berujung pada kerusakan jangka panjang seperti hilangnya keanekaragaman hayati lokal dan rusaknya struktur komunitas ekologis. Dalam sistem seperti itu, ophiophagy adalah salah satu mekanisme alami untuk menjaga agar tidak terjadi dominasi satu spesies saja.
Sayangnya, stigma terhadap ular sebagai makhluk berbahaya masih tinggi. Banyak spesies ular, termasuk yang memiliki peran penting dalam ekosistem, dibunuh secara massal atau ditangkap untuk perdagangan ilegal tanpa pemahaman yang cukup tentang fungsi mereka di alam. Ketidaktahuan ini menimbulkan kerugian besar terhadap upaya konservasi dan mengancam keberlanjutan ekosistem, khususnya di wilayah yang sudah mengalami tekanan tinggi akibat deforestasi dan perubahan iklim.
Referensi
Barlow, A., Pook, C. E., Harrison, R. A., & Wüster, W. (2009). Coevolution of diet and prey-specific venom activity supports the role of selection in snake venom evolution. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 276(1666), 2443–2449. https://doi.org/10.1098/rspb.2009.0048
Greene, H. W. (1997). Snakes: The Evolution of Mystery in Nature. University of California Press. https://archive.org/details/snakesevolutiono0000gree
Weinstein, S. A., & Kardong, K. V. (1994). Properties of rattlesnake (Crotalus viridis oreganus) venom when ingested by snake prey: Implications for ophiophagy. Toxicon, 32(12), 1551–1557. https://doi.org/10.1016/0041-0101(94)90325-5