- Dampak perubahan iklim tak hanya dari sisi lingkungan, kesehatan dan ekonomi juga kepastian pendidikan anak-anak usia sekolah. Anak-anak terganggu menyelesaikan pendidikan buntut dari krisis iklim ini, seperti terjadi di Dusun Sungai Bandung, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, beberapa dekade terakhir.
- Abrasi di pesisir dan intrusi air laut yang menggerus daratan melenyapkan segala fasilitas publik termasuk bangunan tempat anak-anak generasi Sungai Bandung semestinya menimba ilmu.
- Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN), satu lembaga swadaya masyarakat lokal yang kerap advokasi daerah pesisir di Indragiri Hilir terdampak abrasi dan intrusi laut luncurkan program penyetaraan pendidikan gratis yang dinamai Duabelas Project. Ini program kolaborasi untuk berikan akses dan peluang belajar kepada masyarakat kurang mampu khusus korban krisis iklim.
- Saat ini, pemulihan alam dan lingkungan Sungai Bandung bertumpu pada pengembalian hutan mangrove di kawasan yang telah gersang dan berlumpur. Ia mulai sejak tiga tahun lalu, salah satunya, lewat skema pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Dampak perubahan iklim tak hanya dari sisi lingkungan, kesehatan dan ekonomi juga kepastian pendidikan anak-anak usia sekolah. Anak-anak terganggu menyelesaikan pendidikan buntut dari krisis iklim ini, seperti terjadi di Dusun Sungai Bandung, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, beberapa dekade terakhir.
Sungai Bandung, satu dari tiga dusun terdampak perubahan iklim cukup parah. Saat ini, sekitar 239 penduduk dengan 67 keluarga masih bertahan. Lebih separuh adalah laki-laki. Sekitar 62 orang petani dan empat nelayan.
Hampir seluruh petani tersisa, mencari ikan dan biota sungai lain karena kebun mereka musnah terendam air asin.
Abrasi di pesisir dan intrusi air laut yang menggerus daratan melenyapkan segala fasilitas publik termasuk bangunan tempat anak-anak generasi Sungai Bandung semestinya menimba ilmu.
Merujuk data Kepala Desa Tanjung Pasir, anak usia sekolah dasar di Dusun III itu sekitar 32 orang.
Satu-satunya sekolah resmi di sana, Madrasah Ibtidaiyah Khairatul Islamiyah. Hanya ada tiga bangunan. Satu ruangan untuk mengajar dua sampai tiga kelas langsung. Dengan cara menderet bangku ke belakang sesuai urutan kelas masing-masing. Tiap kelas terkadang hanya dihadiri dua atau tiga murid.
Wahyu, warga Sungai Bandung, memperkirakan, hanya 17 murid masih aktif bersekolah di MI Khairatul Islamiyah. Dia tinggal di Tembilahan, ibu kota kabupaten, namun bolak-balik di dusun itu.
Ada tiga guru juga warga setempat, dua sudah lanjut usia. Satu guru mengajar dua sampai tiga kelas langsung.
Ada dua sekolah setara, SDN 021 dan SDN 015 di pusat pemerintahan desa, sekitar satu jam berperahu mesin dari Sungai Bandung. Di sana juga ada satu sekolah menengah pertama. Untuk jenjang SMA mesti ke pusat kecamatan.
“Sulit anak-anak Sungai Bandung menyelesaikan pendidikan 12 tahun,” katanya.
Untuk menamatkan pendidikan dasar saja, mobilitas mereka bergantung pada pasang surut air sungai yang mengalir ke parit-parit bekas kebun kelapa. Anak-anak baru bisa ke sekolah kalau musim pasang besar. Bila parit kering, mereka terpaksa libur bahkan berminggu-minggu.
Kondisi itu, katanya, jadikan Sungai Bandung terisolir. Masyarakat bisa bergerak hanya pakai sampan.
Seperti Yuhana dan Imelda, sedang antarkan anak ke MI Khairatul Islamiyah. Anak-anak mereka duduk di kelas II dan V. Jarak tempat tinggal ke sekolah, sekitar setengah jam mengayuh sampan.
Pemandangan seperti itu lazim dan menjadi rutinitas harian kala air pasang. Terkadang satu sampan berisi sampai lima murid tanpa diantar orangtua. Hari itu, Yuhana dan Imelda terpaksa pulang lebih awal karena air akan surut. Tidak ada akses darat maupun jaringan telekomunikasi untuk alternatif atasi hambatan itu.
Untuk menyekolahkan anak-anak ke luar, orangtua tidak memiliki kemampuan ekonomi karena sumber penghidupan mereka telah luluh lantak.
Keadaan itulah yang buat anak-anak Sungai Bandung banyak putus sekolah “Ingin melanjutkan sekolah, cuma orangtua tidak mampu,” kata Aini, siswa Khairatul Islamiyah.

Amron, Kepala Desa Tanjung Pasir, mengaku hanya bisa berusaha beri bantuan seadanya dari alokasi dana desa. “Kita juga sangat perlu perhatian khusus dari instansi terkait, bagaimana sekolah (Khairatul Islamiyah) bisa diperhatikan dan dapat dikatakan layak sebagai sarana pendidikan.”
Situasi itu menggugah perhatian Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN). Lembaga swadaya masyarakat lokal yang kerap advokasi daerah pesisir di Indragiri Hilir terdampak abrasi dan intrusi ini luncurkan program penyetaraan pendidikan gratis yang dinamai Duabelas Project. Ini program kolaborasi untuk berikan akses dan peluang belajar kepada masyarakat kurang mampu khusus korban krisis iklim.
Kegiatan yang menyasar anak-anak usia sekolah korban perubahan iklim itu disebut sebagai misi kemanusiaan menyelamatkan anak bangsa.
Khusus anak kurang mampu yang putus sekolah, BDPN gandeng sejumlah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) di Indragiri Hilir. Antara lain, Minarul Ilmi, Cendikia sampai Masagi Edu-Prenuer dari Bandung, Jawab Barat.
Program itu sekaligus diresmikan Rektor Universitas Islam Indragiri (Unisi), Najamuddin di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, 2 Agustus lalu. Dua anak beserta orangtua dari Sungai Bandung turut hadir. Mereka menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman BDPN dengan para pengelola PKBM.
“Alhamdulillah, kita sudah MoU (memorandum of understanding), sinergitas antara BDPN dengan PKBM untuk menerapkan program gratis penyetaraan pendidikan,” kata Zainal Arifin Husein, Ketua BDPN, lewat keterangan tertulis yang dikirim ke Mongabay.
Program ini, katanya, sangat baik dalam menyelamatkan generasi anak bangsa agar bisa mendapatkan pendidikan berjenjang. “Ini program kemanusiaan yang harus kita dukung. Unisi mengabdi mensarjanakan orang yang tidak sarjana,” kata Najamuddin.
Sejalan, Muanif, Ketua PKBM Minarul Ilmi, siap menjalankan misi kemanusiaan ini. Aksi ini juga mendukung program wajib belajar 12 tahun. “Agar generasi kita bisa mengecap pendidikan berjenjang dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,” katanya.

Belajar mengajar anak-anak yang terdaftar dalam penyetaraan pendidikan akan berlangsung di Sungai Bandung dengan memanfaatkan bangunan MI Khairatul Islamiyah. Targetnya, anak-anak putus sekolah se-Tanjung Pasir kumpul di sana. Tenaga pengajar, selain dari PKBM juga menurunkan dosen, mahasiswa maupun pegiat lingkungan.
Rancangan awal, murid sekolah penyetaraan akan bertemu satu bulan sekali terlebih dahulu. Ada alternatif belajar dalam jaringan. Tetapi harus memastikan tower di dusun berfungsi dan aktif untuk menjangkau anak-anak dari rumah masing-masing dengan jaringan internet. Saat ini, terdapat dua pemancar signal namun kekurangan peralatan pendukung hingga belum berfungsi sempurna.
Meski nanti signal tersedia dengan layak, masih perlu pekerjaan tambahan buat menyediakan telepon seluler bagi anak-anak di Sungai Bandung.
“Mungkin satu HP (handphone) dengan isi kuota internet untuk belajar ramai atau bareng dulu sudah bisa. Anak-anak itu kumpul di satu rumah. Tinggal cari uang belikan android dan paket internet. Aku harus kerja gandeng banyak pihak untuk internet ini,” kata Zainal, juga Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Unisi.
Zainal tak habis pikir dengan situasi Sungai Bandung yang makin mengkhawatirkan. Jarak dusun itu ke ibu kota kabupaten hanya satu jam. Bahkan setengah jam sampai ke pusat kecamatan tetapi banyak anak tak dapat lanjut pendidikan ke jenjang sekolah menengah.
Zainal memperkirakan, dari data sementara, lebih 1.000 anak dari 31 desa di Indragiri Hilir putus sekolah karena perubahan iklim.
Saat ini, BDPN prioritaskan anak-anak dari enam desa terlebih dahulu. Mereka antara lain anak-anak Suku Duanu, masyarakat adat yang tinggal di pesisir.

Pemulihan
Peluncuran program penyetaraan pendidikan gratis sekaligus menandai peringatan Hari Mangrove Sedunia 26 Juli lalu. Sebelumnya, BDPN mengajak Permodalan Nasional Madani (PNM), BUMN jasa keuangan, tanam 7.000 bibit mangrove di Sungai Bandung. Sekaligus bakti sosial pembagian sembilan bahan pokok.
Bibit mangrove diperoleh langsung dari masyarakat Kelompok Tani Hutan (KTH) Mangrove Jaya Sungai Bandung. Mereka rehab mangrove tiga tahun belakangan, salah satunya menyediakan bibit sendiri. Meski diawali dengan program pemerintah, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), kegiatan ini terus berlanjut secara mandiri.
Lahan di Sungai Bandung tergerus karena intrusi air laut sejak 20 tahun lalu. Perlahan, hampir 2.000 hektar kebun kelapa musnah. Setidaknya, ada sekitar 28.000 hektar lagi terancam.
Kondisi ini, memaksa masyarakat mengungsi ke tempat lebih aman. Mereka yang bertahan, alih jadi nelayan sungai atau sekadar mencari ikan di parit bekas kebun yang tinggal tegakan pohon mati.
Saat ini, pemulihan alam dan lingkungan Sungai Bandung bertumpu pada pengembalian hutan mangrove di kawasan yang telah gersang dan berlumpur. Ia mulai sejak tiga tahun lalu, salah satunya lewat skema pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Hartono, Kepala BRGM, beberapa bulan lalu, mengatakan, 98% mangrove ditanam di Sungai Bandung tumbuh, meski beberapa lokasi tidak terjadi hal serupa.
“Permintaan tanam mangrove langsung dari masyarakat karena sudah merasakan akibat ketika lokasi mereka terekspos oleh abrasi.”
Zainal mengatakan, kondisi Sungai Bandung secara fisik sudah ada perubahan walau belum berdampak pada sosial dan ekonomi.
Dia tidak berhenti mencari cara memulihkan kehidupan masyarakat di sana, seperti memikirkan nasib pendidikan anak-anak terdampak perubahan iklim itu.
Dia kerap bawa mahasiswa bahkan siapa pun dalam aksi selamatkan pesisir Indragiri Hilir. Cara ini sekaligus menjelaskan perubahan iklim langsung ke lokasi terdampak ketimbang beri kuliah dan ceramah berulang-ulang.
Zainal mendorong upaya pemulihan tak hanya berharap dari BRGM. “Pemerintah daerah mesti terlibat, termasuk urusan pemberdayaan ekonomi maupun pendidikan.”


*******
Malang Nasib Warga Sungai Bandung Kala Kebun Kelapa Terendam Air Laut