- Kebijakan pemerintah kerap kenimbulkan kontroversi terkait proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Teranyar, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, antara lain berisi soal penetapan nilai tanah sampai berbagai insentif dan kemudahan fasilitas perizinan termasuk pemberian hak guna usaha sampai 190 tahun!
- Dalam peraturan presiden yang baru rilis itu ada beberapa fasiiltas pemberian hak atas tanah (HAT), meliputi HGU selama 190 tahun, siklus pertama selama 95 tahun dan dapat diperpanjang dengan durasi sama. Lalu, hak guna bangunan (HGB) dan hak guna pakai (HGP) masing-masing 160 tahun, dengan siklus pertama 80 tahun dapat diperpanjang untuk durasi sama.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (Sekjen KPA) menilai, pemberian konsesi hingga hampir dua abad itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan demokrasi. UUPA 1960 mengatur HGU maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, jauh lebih singkat dibanding yang diberikan rezim Jokowi.
- Margaretha Seting Tekwan Beraan, Ketua Dewan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan, mengatakan, kebijakan dengan HGU 190 tahun sebagai upaya-upaya terselubung pemerintah untuk penghapusan keberadaan masyarakat adat.
Kebijakan pemerintah kerap kenimbulkan kontroversi terkait proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Teranyar, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, antara lain berisi soal penetapan nilai tanah sampai berbagai insentif dan kemudahan fasilitas perizinan termasuk pemberian hak guna usaha sampai 190 tahun!
“Pemberian insentif dan fasilitas perizinan berusaha dapat diberikan kepada pelaku usaha yang melaksanakan pembangunan penyediaan dan pengelolaan layanan dasar dan, atau sosial serta fasailitas komersial,” demikian tulis Pasal 3 perpres yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo, 11 Juli lalu itu.
Beberapa fasiiltas itu adalah pemberian hak atas tanah (HAT), meliputi HGU selama 190 tahun, siklus pertama selama 95 tahun dan dapat diperpanjang dengan durasi sama. Lalu, hak guna bangunan (HGB) dan hak guna pakai (HGP) masing-masing 160 tahun, dengan siklus pertama 80 tahun dapat diperpanjang untuk durasi sama.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (Sekjen KPA) menilai, pemberian konsesi hingga hampir dua abad itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan demokrasi.
“Itu dilakukan secara diam-diam dan menerabas aturan di atasnya,” katanya dalam keterangan kepada media.
Pola sama sebenarnya sudah pemerintah dan DPR lakukan ketika secara ‘senyap’ menyetujui revisi UU IKN dengan memasukkan ketentuan pemberian HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun demi menarik investor.
Aturan ini, katanya, yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Pemerintah (PP)/12/2023 tentang pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di IKN pada 6 Maret 2023.
Bagi KPA, PP dan perpres ini sebagai bentuk ketidakpahaman pemerintah terhadap sejarah kelam agraria bangsa ini melalui Agrarische Wet 1870. KPA sejak jauh-jauh hari sudah mengingatkan, kebijakan itu sangat berbahaya dan dinilai melenceng jauh dari konstitusi dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Dewi katakan, UUPA 1960 mengatur HGU maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, jauh lebih singkat dibanding yang diberikan rezim Jokowi.
UUPA 1960 juga mengatur perpanjangan HAT, hanya bisa selama masih memenuhi syarat, sebagaimana diatur dalam UUPA 1960. Yang terjadi pada Perpres 75/2024, katanya, tidak demikian karena memberikan kesempatan perpanjangan dan pembaruan hanya dalam satu kali siklus.
Dengan begitu, kata Dewi, perpres yang dibuat Jokowi di jelang akhir masa jabatan itu tidak sesuai UUPA 1960.
Baca juga: Otorita IKN Ultimatum Warga untuk Bongkar Rumah

Sebagai payung hukum agraria nasional yang sampai saat ini masih berlaku, UUPA 1960 merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Pasal 33 UUD 1945 juga Manifesto Politik Republik Indonesia. Alih-alih menjalankan amanat secara konsekuen, katanya, pemerintah justru mem-peti es-kan UUPA 1960 dengan menerbitkan aturan lebih pro pemodal.
Dalam peraturan ini, katanya, pemerintah juga memberikan keistimewaan investor dalam bentuk pembebasan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), alias tarif 0%. “Secara tegas, kami menilai pemberian HGU dan HGB yang hampir dua abad itu melanggar konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria.”
Celakanya, dengan durasi konsesi begitu panjang, ketentuan mengenai pencabutan atau penghapusan hak sama sekali tidak diatur, dalam PP 12/2023 maupun Perpres 75/2024.
Padahal dengan pemberian konsesi begitu fantastis, seharusnya tata-cara pencabutan hak dan, atau pemberian sanksi makin jelas dan tegas.
Dewi bilang, upaya perpanjangan hanya bisa sepanjang pemilik hak masih memenuhi syarat sesuai aturan UUPA. Itu pun paling lambat dua tahun sebelum masa HGU dan HGB habis. Untuk pembaruan hak, proses sebagaimana pemberian hak pertama, termasuk persyaratannya.
“Ini seperti zaman Orde Baru yang mem-peti es-kan UUPA sebagai modus politik untuk menerbitkan UU sektoral pro pemodal. Presiden dan DPR saat ini seperti penjelmaaan Orde Baru karena jelas-jelas mengabaikan keberadaan hukum agraria tertinggi setelah UUD 1945, yang masih hidup di republik ini,” kata Dewi.
Langkah pemerintah memberi konsesi sebegitu panjang itu juga melanggar Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka. Putusan MK ini, katanya, berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Lebih buruk dari era kolonial
Dewi menilai, pemberian HGU begitu panjang lebih buruk dari hukum agraria kolonial. Saat itu, Pemerintah Kolonial melalui Agrarische Wet 1870 memberikan konsesi tanah selama 75 tahun. Dampaknya, perampasan tanah dan pemiskinan terjadi massif di sekitar konsesi.
Setelah kemerdekaan, Agrarische Wet 1870 dicabut melalui UUPA 1960. Sejak saat itu, mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigmatik politik agraria secara fundamental.
Usaha reforma agraria ini, katanya, semata untuk memulihkan sistem agrarian yang alami krisis karena perampasan dan eksploitasi oleh kolomial.
“Ini jadi ironi. Setelah merdeka dan reformasi, UUPA justru kembali dikhianati dengan membuat aturan lebih buruk dan lebih jahat dibandingkan produk kolonial di masa lalu.”
Kebijakan HGU di IKN iitu, katanya, akan memperparah konflik agraria dan monopoli tanah di Kalimantan Timur.
Dalam 10 tahun terakhir, Catatan Akhir Tahun (Catahu) KPA menyebutkan, bisnis perkebunan dengan masalah HGU menjadi pemicu konflik agraria paling tinggi. Dari 2.939 konflik agraria era Pemerintahan Jokowi (2015-2023), 1.131 adalah karena penguasaan dan perpanjangan HGU oleh perusahaan perkebunan. Belum lagi, persoalan HGU kadaluarsa dan tanah terlantar jutaan hektar dan tidak kunjung pemerintah tertibkan.
Dewi menilai, sistem pemberian dan pencabutan HGU di Indonesia sangat buruk, sarat perampasan tanah petani dan masyarakat adat, bahkan dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM. “Tidak mengherankan pusat-pusat perkebunan monokultur di Indonesia, seperti bisnis sawit menjadi epistentrum konflik agraria.”

KPA pun menentang keras PP 12/2023 dan Perpes 75/2024. KPA mendesak, Pemerintah dan DPR segera membatalkannya. Kewenangan luas Otorita IKN pun harus dipangkas.
“Pemberian konsesi HGU begitu panjang tanpa transparansi dan sanksi hanya akan menyuburkan praktik korupsi, mafia tanah, spekulan tanah dan praktik land banking,” kata Dewi.
Seharusnya, pemerintah melakukan upaya membenahi ketimpangan sosial, ekonomi dan konflik agraria serta krisis ekologis di Kaltim terlebih dulu sebelum pengadaan tanah bagi investor.
Senada dikatakan Eko Cahyono, Sosiolog juga peneliti Sajogyo Institute. Dia mengatakan, pemberian HGU 190 sebagaimana Perpres 75/2024 itu sebagai langkah mundur jauh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Saat zaman kolonial, izin HGU dari Pemerintah Belanda ‘hanya’ 75 tahun. “Pemberian HGU 190 tahun ini jelas mengingkari cita-cita kemerdekaan”.
Salah satu cita-cita kemerdekaan adalah mengatur ulang bagaimana alokasi, peruntukan, distribusi dan pemanfaatan atas sumber-sumber kekayaan alam tidak sampai dikuasai asing atau swasta. Dalam UUPA 1960, mengatur pembatasan mengenai penguasaan tanah agar tidak terjadi penindasan antar manusia karena kekayaan alam terakomulasi pada kelompok atau orang-orang tertentu.
“Inilah mengapa setelah merdeka, negara hadir untuk mengatur ulang soal alokasi, distribusi, peruntukan dan pemanfaatan untuk semua. Tujuan kemerdekaan itu.”
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, tanah adalah jalan hidup karena mayoritas sumber penghidupan mereka berasal dari tanah.
Eko tidak bisa membayangkan jika kebijakan ini diteruskan. Penetapan HGU 190 tahun itu dipastikan akan menyebabkan masyarakat kehilangan akses terhadap sumber-sumber daya alam. “Ini bukan soal hal milik. Tetapi, hilangnya akses warga karena status HGU itu menghalangi akses warga,” kata Eko.

Kado pahit Kemerdekaan
Bagi Eko, penetapan pemberian HGU hingga 190 tahun membuktikan politik agraria yang dikembangkan pemerintah masih watak korporasi. Tidak ada dimensi kerakyatan dari kebijakan jelang akhir masa jabatan Jokowi ini.
Kebijakan itu jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria yang selama ini digaungkan pemerintah.
Reforma agraria muncul untuk mengurangi ketimpangan struktur agraria yang terjadi. Alih-alih mendekati, kebijakan itu justru menjadikan cita-cita reforma agraria jauh dari harapan.
Kebijakan keluar jelang perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia. Hakikat kemerdekaan sejatinya berakhirnya ketimpangan penguasaan sumber daya menjadi lebih adil dan merata. Kebijakan ini, katanya, mengingkari itu.
Eko menyebut, perpres itu kado paling pahit menjelang perayaan 79 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Mareta Sari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mengatakan, kebijakan HGU di IKN ini memperlihatkan ketidakadilan dengan adanya privilege bagi pemodal yang menguasai lahan secara luas dan waktu sangat lama.
Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur mengatakan, sejak awal UU IKN lalu revisi telah menimbulkan protes masayarakat. Mereka menolak dan mempertanyakan ruang hidup yang secara sepihak berubah jadi hak pakai.
“Kemudian mereka sudah nggak bisa lagi mengurus surat-surat (kepemilikan),” katanya ketika dihubungi Selasa (16/7/24) malam.
Dia khawatir dengan pemberian HGU maupun HGB dengan penguasaan lahan skala besar dan jangka waktu melampaui UUPA ini, akan memberikan dampak besar ke masyarakat.
Catatan Walhi Kaltim, sudah ada izin-izin eksisting aktif sampai wilayah delineasi IKN yang mencapai sekitar 114.000 hektar. Kondisi ini menunjukkan, ada ketimpangan penguasaan ruang. Dari izin-izin ini, kata Fathur, seharusnya evaluasi dilakukan terlebih dahulu atau pencabutan terhadap izin-izin itu.
“Bukan malah menerbitkan regulasi baru yang tak juga memberikan kepastian terhadap penyelesaian konflik yang saat ini masih berlangsung,” katanya.
Investor-investor pun, kata Eta, tak terlepas dari “pemain lama” dalam industri ekstraktif yang selama ini punya berbagai bisnis dari tambang sampai sawit di Kaltim maupun daerah lain di Indonesia.
“Sebenarnya yang diuntungkan itu pengusaha-pengusaha ini, tentu saja. Mereka sangat erat hubungannya dengan pemerintah saat ini, partai politik, dan penguasaan mereka terhadap konsesi-konsesi ekstraktif, termasuk di sektor industri infrastruktur.”
Dia desak pemerintah batalkan aturan ini. Pemerintah, katanya, harus mengedepankan kepentingan publik untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, maupun hak untuk regenerasi, meneruskan keturunan.
Fathur menimpali, sungai-sungai di sekitar wilayah hidup masyarakat di sekitar pembangunan juga sudah tercemar. Ancaman ini tentu saja menambah panjang daftar kerusakan akibat pembangunan mega-proyek IKN.
“Durasi izin yang akan terbit, terutama yang sudah terbit itu telah memperpanjang kerusakan dan luka yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup dan sosial,” katanya via telepon.
Persoalan lingkungan dan sosial masyarakat yang timbul sebelumnya saja, kata Eta, belum ada upaya penyelesaiannya. Ditambah lagi ada pengistimewaan negara atau para pelaku bisnis, khususnya di IKN ini.”
Dia juga singgung soal daya dukung atau daya tampung wilayah delineasi IKN itu, tak pernah pemerintah buka ke publik.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) maupun pengaturan tata ruang wilayah IKN pun dianggap tidak partisipatif.
Menurut Eta, ketimpangan juga terlihat dengan hubungan ekstraktif yang dilakukan dalam membangun ibu kota baru ini. Mulai dari pendanaan APBN, mengorbankan masyarakat sekitar, hingga pemenuhan kebutuhan material dari wilayah lain.
“Menambang wilayah-wilayah lain untuk pemenuhan kebutuhan material bagi pembangunan ibu kota. Misal, cerita di Sulawesi Tengah yang terdampak debu karena batu dan pasir mereka ditambang untuk IKN.
“Maka, kalau terus pembangunan dengan menggadaikan ruang hidup, mengorbankan rakyat, meracuni, bahkan mencemari lingkungan, di mana letak keadilannya? Sejak awal (pembangunan) ibukota ini memang sudah nggak adil. Ini kan memindahkan ibu kota negara, harusnya seluruh warga negara ditanyakan.”

Hak masyarakat adat terabaikan
Margaretha Seting Tekwan Beraan, Ketua Dewan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan, sejak dulu, HGU atas lahan dengan berbagai macam konsesi di Kaltim ini sudah merampas wilayah adat.
“Negara (ibaratnya) meminjamkan tanah orang (masyarakat) kepada perusahaan, sudah selesai pinjam ya dikembalikan. Jangan dialihfungsikan lagi, atau memperpanjang.”
Kebijakan baru dengan HGU masa selama itu– bisa melalui 38 kali pergantian kepemimpinan dalam pemilihan umum—, katanya, sebagai upaya-upaya terselubung pemerintah untuk penghapusan keberadaan masyarakat adat.
“Asumsi saya, ada niat peniadaan masyarakat adat di dalam lokasi IKN. Bahkan ada niat peniadaan keberadaan mereka dan hak-hak mereka. Hingga, peraturan-peraturan itu seolah-olah pokoknya yang penting IKN-nya (terbangun), masyarakatnya nggak penting, mereka mau dipindah, diapain yang nggak kepikir (dipikirkan).”
Seharusnya, pemerintah memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang sudah turun menurun hidup di sana. “Orang yang duluan menguasai, menggarap lahan itu dan punya hak kewilayahan dari awal-awal.”
‘HAT’, dalam konteks wilayah adat, katanya, seharusnya diberikan kepada masyarakat adat secara permanen atau tetap. Ini berkaitan pada sejarah turun temurun yang seharusnya tetap menjadi hak mereka.
“IKN kan datang belakangan.”

Bukan sebaliknya, IKN datang, hak-hak lahan buat investor. “Inilah yang tidak boleh, tiba-tiba IKN datang langsung rampas, langsung pindah, harus ada penghormatan terhadap masyarakat adat,” katanya.
Tak ada penghormatan hak-hak masyarakat adat ini, kata Margaretha adalah kemunduran bagi pembuat kebijakan. Terutama cara pandang negara terhadap warga.
Regulasi, katanya, seharusnya mengedepankan aspek (HAM. Nilai-nilai penghormatan kepada masyarakat adat juga perlu menjadi perhatian.
Sementara itu, Mardani Ali, anggota Komisi I DPR, menyindir pemberian HAT dengan durasi begitu lama tak ubahnya ‘menjual IKN’. “HGU diobral sampai 190 tahun, ini namanya IKN for sale. Hong Kong saja untuk pemberian HGU cuma 99 tahun, itu pun belum banyak yang masuk,” katanya mengutiip pusat pemberitaan DPR RI.
Suryadi Jaya Purnama, anggota Komisi V DPR juga menuturkan hal serupa. Menurut dia, pemberian fasilitas dalam bentuk HGU, HGB dan hak pakai begitu lama itu mencederai masyarakat.
“Selain menimbulkan kesenjangan juga berpotensi mewariskan berbagai konflik, salah satunya konflik agraria,” katanya, dikutip dari situs resmi DPR RI.
*******
Laporan Ungkap di Balik Rentetan Kasus Kriminalisasi Suku O’Hongana Manyawa