- Terumbu karang di Pulau Bangka menderita akibat sedimentasi yang berasal dari aktivitas penambangan timah lepas pantai.
- Sebagian besar lanskap terumbu karang di Pulau Bangka didominasi karang masif yang terkenal tangguh menghadapi berbagai perubahan lingkungan.
- Namun, di perairan Tuing di bagian utara Pulau Bangka, dan juga perairan lain yang terdampak penambangan timah dari waktu ke waktu, karang masif mulai bernasib sama dengan karang lain yang lebih dulu sekarat dan mati.
- Sedimen yang menyelimuti seluruh permukaan karang masif memicu pertumbuhan algae, sehingga mengundang invasi karang lunak. Perubahan komunitas laut dari karang keras menjadi karang lunak diperoyeksikan akan terjadi jika perubahan iklim terus berlangsung.
Terumbu karang di Pulau Bangka menderita karena masifnya tekanan lingkungan yang berasal dari aktivitas manusia. Terutama, akibat penambangan timah lepas pantai yang menyebarkan limbah [tailing] hampir ke semua perairan di Pulau Bangka [Pamungkas & Husrin, 2020].
M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, menyebut terumbu karang di Pulau Bangka didera “kelaparan massal”.
“Lumpur atau sedimentasi yang sebagian besar disebabkan aktivitas penambangan timah, menyelimuti permukaan karang sehingga menghambat proses fotosintesis. Mereka semua stres dan kelaparan sepanjang tahun, hanya menunggu mati,” terangnya, Kamis [11/7/2024].
Dibandingkan Pulau Belitung, saat ini aktivitas penambangan timah lebih terkonsentrasi di perairan Pulau Bangka. Kedua pulau ini, merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki luas laut sekitar 6,5 juta hektar.
Berdasarkan dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah [IKPLHD] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2021, luas total terumbu karang di kepulauan ini mencapai 17.744,85 hektar. Sekitar 12.474,54 hektar dalam kondisi hidup, sedangkan 5.270,31 hektar dalam keadaan mati.
Dari dokumen yang sama, khusus di Pulau Bangka, berdasarkan hasil pengukuran di 23 titik, rata-rata persentase live coral hanya 33 persen, itu juga tergolong dalam kondisi sedang. Potensi sedimentasi [Total Suspended Solid/TSS] dari proses penambangan timah, menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan terumbu karang.
Dengan kondisi demikian, lanskap terumbu karang di Pulau Bangka didominasi karang masif, yang terkenal memiliki berbagai kemampuan untuk bertahan dalam kondisi perairan yang ekstrem, seperti di Pulau Bangka.

Berdasarkan penelitian Siringoringo & Hadi [2013] di sekitar perairan Bangka, ditemukan 89 jenis karang masif yang terbagi dalam 13 suku. Jenis paling dominan adalah karang masif Porites lutea, hingga 33,3 persen.
“Kelompok karang masif [Poritiid dan Faviid] lebih banyak dijumpai pada perairan keruh, dibandingkan kelompok Acroporoid [karang bercabang].”
Masih riset yang sama, jenis Acropora, merupakan karang rapuh dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Sebaliknya, karang dengan bentuk masif dan berpolip besar lebih tangguh, bahkan bisa mendominasi perairan.
Karang masif seperti genus Porites dan Favidae, memiliki kemampuan untuk membersihkan permukaan mereka dari sedimen secara aktif.
“Apabila dalam kondisi arus lemah, Acropora menjadi sangat intoleran terhadap penutupan sedimen dan akan menuju kematian yang tidak dapat sembuh, bila sedimentasi mengubur keseluruhan karang. Hal ini berbeda dengan karang jenis Porites yang mampu melakukan recovery, meskipun telah terkubur keseluruhan selama tiga hari,” tulis penelitian tersebut.
Namun menurut Rizza, aktivitas pembersihan sedimentasi ini akan menguras banyak energi, sehingga memicu ketidakseimbangan asupan energi pada karang masif.
Limbah tambang yang secara dinamis tersebar ke seluruh perairan Pulau Bangka dan sudah berlangsung selama ratusan tahun, lamban laun akan mengurangi daya tahan karang masif.
“Akhirnya, karang masif akan bernasib sama dengan karang lain yang sudah lebih dulu mati, akibat laju sedimentasi yang melampaui laju pertumbuhan dan pemulihannya,” katanya.

Sebagai informasi, karang masif merupakan salah satu bentuk pertumbuhan karang yang padat dan keras seperti batu. Mereka menyediakan habitat bagi berbagai macam organisme laut, termasuk ikan dan krustasea, serta moluska. Mereka juga berperan sebagah barrier, sehingga melindungi garis pantai dari abrasi.
“Muga dhambi” di Great Barrier Reef di Australia, merupakan karang masif dari genus Porites tertua dan terbesar yang mungkin pernah ditemui di lanskap terumbu karang terbesar di dunia tersebut. Diameter bagian bawahnya mencapai 10,4 meter, sedangkan diameter bagian atas 6,1 meter, dan tingginya mencapai 5,3 meter. Usianya hampir 500 tahun [Smith et al., 2021].
Informasi yang tersimpan dalam karang masif juga sangat bermanfaat bagi peneliti untuk melihat peristiwa perubahan lingkungan di masa lalu yang berguna sebagai modal menghadapi perubahan lingkungan di masa depan.

Invasi karang lunak
Di sekitar perairan bagian utara Pulau Bangka, karang masif yang sudah sekarat akibat tertutup sedimentasi mulai diinvasi oleh karang lunak dari genus Sacrophyton sp.
“Dulu sekitar tahun 2000-an tidak sebanyak ini [Sacrophyton sp],” kata Ciput, pencari gurita di Dusun Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka, saat snorkeling di timur perairan Tuing, awal Maret 2024 lalu.
Dari pengamatan Mongabay Indonesia, karang lunak sudah menempel bahkan menutupi sebagian besar hamparan permukaan karang masif yang mendominasi perairan di bagian timur Dusun Tuing. Sekitar 7.327,5 hektar perairan Tuing merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah [KKLD] di Pulau Bangka.
“Saat disingkap, karang lunak terlihat seperti “mengerogoti” permukaan karang masif yang terkenal keras. Layaknya sebuah kayu tua dimakan rayap,” jelasnya.
Muhammad Abrar, peneliti senior Pusat Riset Oseanografi BRIN mengatakan, Sarcophyton termasuk kelompok Soft Coral [Sub Kelas Octocoralia] dan merupakan biota assosiasi terumbu degan tutupan normal rata-rata kurang dari lima persen. Namun, pada kondisi tertentu atau komunitas yang stabil, dominasi soft coral bisa lebih dari 50 persen.
“Sejauh ini tidak termasuk biota berbahaya, walaupun memiliki senyawa aktif sebagai perlindungan dan pertahanan diri saat terjadi kompetisi ruang dengan biota lain.”
Jika terjadi secara alami, dominasi karang lunak terkait kesetimbangan, diperkirakan Abrar, secara alami terumbu karang memang didominasi soft coral. Istilahnya Reef Soft Coral.
“Namun, jika dipicu turunnya tutupan karang keras [seperti massive Porites], seperti pada foto utama artikel, tentu faktor penyebabnya perlu diketahui terlebih dahulu untuk tindakan mitigasinya,” katanya.
Selain itu, butuh data time series [temporal], yang menunjukan tren tutupannya dari waktu ke waktu. Jika dikarenakan faktor tertentu, butuh data sebelum dan sesudah kejadian, atau data kontrol sebagai pembanding.
“Hal ini juga mungkin disebabkan perubahan iklim, namun secara tidak langsung,” lanjurnya.

Sementara menurut M. Rizza Muftiadi, keberadaan karang lunak yang cenderung invasif di sekitar perairan Tuing lebih banyak memiliki potensi merusak. Mereka bisa mengkolonisasi dan berkompetisi [makanan dan cahaya] dengan karang keras seperti karang masif, bercabang, meja dan lainnya.
“Karang lunak bisa tumbuh karena adanya sedimen yang kemudian memicu pertumbuhan algae. Di Tuing dan perairan lain di Pulau Bangka, sedimentasi yang parah bahkan sudah menyelimuti seluruh permukaan karang, karenanya, karang lunak dapat tumbuh menutupi karang masif. Hal ini dapat memicu gangguan kesehatan pada karang.”
Selain itu, senyawa alami dari karang lunak dapat membuat ikan menjadi takut untuk mendekat karena bersifat beracun. Karenanya, dalam tutupan karang yang sudah didominasi karang lunak, keberagaman ikan sangat sedikit.”
“Jika kondisi perairan mendukung, soft coral bisa menggantikan karang keras atau masif,” paparnya.

Pengasaman laut
Dalam penelitian Januar et al., [2016], dijelaskan bahwa karang lunak merupakan satu dari beberapa organisme pembentuk terumbu non-karang, yang diperkirakan akan mengalahkan karang keras dalam skenario pengasaman laut di masa depan.
“Studi biologi eksperimental menunjukkan, karang lunak mampu mengurangi dampak pengasaman karena tubuh lunak eksternalnya melindungi endoskeleton dari kondisi asam,” tulis penelitian tersebut.
Meski demikian, temuan peningkatan sitotoksisitas menunjukkan bahwa alelokimia mungkin memiliki peran penting dalam pola invasif Sarcophyton sp. di bawah tekanan pengasaman laut.
“Bagaimana spesies tersebut mungkin terkena dampak buruk pengasaman laut pada akhir abad ini [kecuali emisi CO2 dikurangi], masih menjadi kekhawatiran.”
Sementara, dalam penelitian Inoue et al. [2013], dijelaskan bahwa pengasaman laut akibat aktivitas antropogenik dapat berdampak pada kalsifikasi terumbu karang dan perubahan komposisi komunitas laut.
“Sebagian besar proyeksi perubahan komunitas akibat pengasaman laut menggambarkan transisi dari komunitas makroalga karang keras ke komunitas makroalga non-kalsifikasi.”
Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa komunitas terumbu karang mungkin akan beralih dari karang keras pembentuk terumbu ke karang lunak pembentuk terumbu di bawah tingkat pCO2 [550–970 µatm], yang diperkirakan berlangsung akhir abad ini.
“Tingkat pCO2 yang lebih tinggi akan menantang kelangsungan hidup beberapa organisme terumbu karang,” terang laporan itu.
Referensi:
Inoue, S., Kayanne, H., Yamamoto, S., & Kurihara, H. (2013). Spatial community shift from hard to soft corals in acidified water. Nature Climate Change, 3(7), 683–687.
Januar, H. I., Zamani, N. P., Soedarma, D., & Chasanah, E. (2016). Changes in soft coral Sarcophyton sp. abundance and cytotoxicity at volcanic CO 2 seeps in Indonesia. AIMS Environmental Science, 3(2).
Pamungkas, A., & Husrin, S. (2020). Pemodelan Sebaran Sedimen Tersuspensi Dampak Penambangan Timah Di Perairan Bangka. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 12(2), 353–366.
Siringoringo, R. M., & Hadi, T. A. (2013). THE CONDITION AND DISTRIBUTION OF STONY CORALS (Scleractinia corals) IN BANGKA WATER. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(2). https://doi.org/10.29244/jitkt.v5i2.7557
Smith, A., Cook, N., Cook, K., Brown, R., Woodgett, R., Veron, J., & Saylor, V. (2021). Field measurements of a massive Porites coral at Goolboodi (Orpheus Island), Great Barrier Reef. Scientific Reports, 11(1), 15334. https://doi.org/10.1038/s41598-021-94818-w