- Penggunaan plastik sekali pakai di Kota Batam, Kepulauan Seribu masih tinggi berujung sampah plastik pun tinggi. Marlin Agustina, Wakil Gubernur Kepulauan Riau mendorong masyarakat baik pedagang maupun pembeli mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan menyediakan wadah atau barang yang bisa dipakai berkali-kali seperti tas belanja, tumbler, dan lain-lain.
- Rida Meliyana, penyuluh Lingkungan Hidup DLH Kota Batam mengatakan, Batam hasilkan 1.000 ton sampah per hari yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Setiap hari, sampah yang dipilah mandiri masyarakat Batam baru sekitar 700 kilogram.
- Dampak penggunaan plastik sekali pakai atau kemasan plastik, sampah-sampah banyak berakhir di sungai, air pun tercemar, antara lain mengandung mikroplastik. Di Sumatera, contoh, di Sungai Batang Kuranji dan Batang Arau, Kota Padang, Sumatera Barat, penelitian memperlihatkan air mengandung mikroplastik.
- Walhi Sumatera Barat menuntut produsen bertanggung jawab atas kemasan produk agar tak berakhir jadi sampah dan akhirnya mencemari lingkungan.
Marlin Agustina, Wakil Gubernur Kepulauan Riau blusukan ke pedagang makanan di Pasar Botania 2, Belian, Kota Batam, Kepulauan Riau, 11 Juni lalu. Dia berbincang dengan pedagang sambil mengingatkan pedagang maupun pembeli mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
“Bagusnya, plastik ini diganti dengan daun pisang saja buk,” kata Marlin sembari memilih gorengan dan masukkan ke keranjang belanjaan.
Marlin membawa keranjang sekaligus beri imbauan kepada pedagang dan pembeli mengurangi penggunaan plastik.
Dia juga membagikan kantong belanja dari keranjang dan kain (tote bag) kepada warga yang sedang belanja di pasar. “Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup, kami mengajak masyarakat Kota Batam mengurangi sampah plastik,” katanya kepada awak media.
Marlin sejak lama kampanye soal penggunaan plastik sekali pakai di dalam kehidupan sehari-hari. Marlin juga meminta masyarakat memilah sampah di rumah dan jual ke bank sampah di Batam.
Selain membawa kantong atau keranjang non plastik, Marlin menganjurkan warga membawa kontainer kecil untuk menyimpan belanjaan seperti daging, ikan dan lain-lain sebelum masuk ke keranjang.
Marlin pun pratikkan itu. Setiap ke pasar, dia membawa kontainer untuk menyimpan belanjaan basah. “Kalau beli ikan potong, saya masukkan dalam situ. Itu bisa sampai kapan pun,” katanya.
Dia yakin, masyarakat di Kota Batam cerdas untuk tak pakai plastik sekali pakai. “Ayo sama-sama kita menjaga bumi, karena bumi kita hanya satu.”
Herman Rozi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam mengatakan, kebiasaan masyarakat mengurangi kantong plastik sulit diterapkan. Kadang, katanya, masyarakat ingin lebih praktis.
Bahkan, katanya, satu orang saja sekali belanja bisa pakai 10 kantong plastik. Semua kantong plastik itu berakhir menjadi sampah.
DLH, kata Herman, sejak 2015 menggencarkan imbauan dan sosialisasi pengurangan penggunaan sampah plastik. “Kita terus sosialisasikan kepada masyarakat untuk membiasakan membawa kantong sendiri dari rumah, memang sulit tetapi harus dibiasakan,” katanya kepada Mongabay, 11 Juni lalu.
Setidaknya, masyarakat bisa pakai kantong plastik berulang, daripada harus membuang setiap habis pakai dan jadi sampah.
Dia bilang, setop pakai kantong plastik sekali pakai, bisa diatasi dengan menghilangkan penjualan kantong plastik atau menerapkan plastik berbayar. “Tidak ada kantong plastik, akhirnya terpaksa pakai kantong dari rumah.”
Pemerintah Batam, katanya, sudah punya surat edaran tentang pengurangan penggunaan plastik sekali pakai pada 2019. Sayangnya, imbauan ini tak berjalan lancar karena kesadaran masyarakat minim.
Rangkaian acara ini ada sosialisasi dan pos penimbangan sampah. Nurul, siswa kelas II SMA 3 Batam membawa sampah plastik untuk ditimbang. “Disini bisa diolah daripada numpuk di rumah,” katanya.
Nurul mulai mengurangi pakai plastik, seperti ke supermarket membawa kantong sendiri. “Kalau di sekolah jajan pakai plastik, karena penjual masih pakai kantong plastik,” kata Nurul.
Sampah Batam
Rida Meliyana, penyuluh Lingkungan Hidup DLH Kota Batam mengatakan, Batam hasilkan 1.000 ton sampah per hari yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). “Maka kita harusnya sudah membatasi sampah mulai dari sekarang,” katanya.
Upaya pengurangan sampah yang terbuang ke TPA sudah dilakukan pemerintah Batam. Salah satunya, dengan mendorong masyarakat untuk memilah sampah di rumah masing-masing.
Setelah itu, sampah yang berhasil dipilah bisa jual ke bank sampah di Batam. setiap hari sampah yang dipilah mandiri masyarakat Batam baru sekitar 700 kilogram.
“Dari 700 kilogram sampah terpilah 300 kg merupakan sampah plastik, selebihnya logam dan kertas,” katanya.
Rida juga menyinggung sampah yang terbuang ke laut. DLH belum memiliki data sampah dari daratan Batam yang terbuang ke laut. Persoalan ini harus dipikirkan bersama-sama. “Karena, warga di pulau-pulau kecil sudah melaporkan kondisi sampah memprihatinkan mencemari pulau mereka,” katanya.
Dia contohkan, Pulau Terong Kota Batam, warga melaporkan 100 kilogram sampah setiap hari mencemari pesisir pulau di Kecamatan Belakang Padang itu. DLH terkendala penjemputan sampah karena jarak cukup jauh. “Kami mau membantu menjemput sampah ke situ, tetapi sangat jauh, tidak kuat dengan ongkos.”
Begitu juga di Pulau Lingke. Petugas DLH angkut 500-600 kilogram sampah setiap satu kali dalam dua bulan dari pulau. “Kalau pulau ini setiap laporan kita jemput, karena jaraknya dekat,” kata Rida.
Mikroplastik di Sumbar dan tanggung jawab produsen
Dampak penggunaan plastik sekali pakai atau kemasan plastik, sampah-sampah banyak berakhir di sungai, air pun tercemar, antara lain mengandung mikroplastik. Di Sumatera, contoh, di Sungai Batang Kuranji dan Batang Arau, Kota Padang, Sumatera Barat, penelitian memperlihatkan air mengandung mikroplastik.
Kedua sungai ini berhulu di Bukit Barisan dan hilir di Muaro Kota Padang. Penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan Walhi Sumatera Barat menemukan, ratusan hingga ribuan mikroplastik per 100 liter air.
Pada aliran Batang Arau di Kelurahan Ganting, kandungan 110 mikroplastik dan Muara Batang Arau 410 mikroplastik per 100 liter air.
Di Sungai Batang Kuranji, dari penelitian Farhan Hanieve, Budhi Primasari, dan Yommo Dewilda dari Teknik Lingkungan Universitas Andalas menemukan kandungan mikroplastik 1.670-10.000 per m3 air. Padahal, Sungai Batang Kuranji merupakan sumber air irigasi dan PDAM Kota Padang.
Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton mengatakan, mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari lima milimeter. Benda ini dari fragmentasi atau terpecahnya plastik-plastik ukuran besar seperti tas kresek, sedotan, sachet, popok dan bungkus plastik atau peralatan dari plastik..
Proses plastik ukuran besar pecah jadi mikroplastik karena radiasi sinar matahari yang mempengaruhi fisik gerakan atau arus air.
Mikroplastik, katanya, termasuk kategori senyawa pengganggu hormon karena plastik mengandung banyak bahan kimia.
“Mikroplastik akan mengikat polutan di air seperti logam berat, pestisida, deterjen dan bakteri patogen. “Jika ini tertelan manusia melalui ikan, kerang atau air maka polutan beracun akan pindah ke tubuh manusia dan menyebabkan gangguan hormon,” kata Prigi.
Walhi dan Ecoton mencatat, mikroplastik muncul di Batang Arau dan Kuranji ada tiga sumber. Pertama, timbulan sampah liar di tepi sungai dan dalam badan air sungai, karena tak tersedia tempat sampah memadai.
Kedua, limbah domestik dari mandi dan cuci rumah tangga yang tidak terolah. Sekitar 98% jenis mikroplastik ditemukan adalah fiber atau benang dari polyester atau bahan pakaian yang dicuci.
Ketiga, sumber lain berpotensi datang dari mikroplastik di udara.
Menurut Prigi, Pemerintah Kota Padang harus mengendalikan timbulan sampah di dua sungai ini dengan larangan plastik sekali pakai seperti styrofoam, tas kresek, sedotan, botol plastik, sachet dan lain-lain.
“Pemkot Padang harus mengkaji ulang Perda tentang pengelolaan sampah, karena sudah tak relevan dan kurang disosialisasikan.”
Adapun dalam riset Ecoton dan Walhi Sumbar, pengambilan sampel pada 10-11 Mei 2022. Sampel dari dua sungai dianalisis dengan 14 parameter kualitas air.
“Analisis menunjukkan, beberapa parameter kualitas air di Sungai Batang Arau melewati baku mutu, seperti Phospat, klorin bebas dan besi,” kata Andre Bustamar, Koordinator Riset Walhi Sumbar.
Tim juga melakukan audit merek sampah plastik sekali pakai yang menjadi pencemar di Batang Arau. Tujuannya, mengetahui produsen sampah plastik yang banyak memberikan kontribusi di perairan Padang. Juga menuntut tanggung jawab dari produsen sampah plastik untuk ikut memastikan produk mereka tak merusak lingkungan. Tanggung jawab itu, katanya, biasa disebut extended producers responsibility (EPR).
Hasil dari audit didapatkan bahwa kemasan beberapa merek dominan, seperti produk dari Unilever dengan rinso, sunsilk , pepsodent, tresemme , dan clear. Air minum kemasan Aqua, Danone), lalu coca cola dan sprite, minuman teh pucuk dari Mayora. Kemudian ada bungkus pop mie dan indomie dari Indofood, ale-ale dan mie sedang dari Wingfood. Kemasan sachet susu Frisianflag dan Mamypoko, popol dari Unicarm.
Andre mengatakan, delapan produsen ini dengan produk mendominasi sampah plastik di Sungai Batang Arau.
Dia bilang, EPR secara umum sebagai kebijakan pencegahan polusi dengan menuntut tanggung jawab produsen terhadap produksi mereka saat sudah jadi sampah.
“Sampah lain yang tidak bermerek sekitar 60% dibanding sampah bermerek seperti tas kresek, sedotan, tas plastik bening, styrofoam, botol beling, tali rafiah, sak dan beragam jenis sandal,” katanya.
Walhi merujuk kepada UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pada Ayat 18 dijelaskan,” produsen wajib mengelola kemasan dan, atau barang yang diproduksi yang tak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Juga merujuk kepada PP 81/2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah rangga bahwa produsen wajib mendaur ulang sampah dengan dua cara.
Pertama, menyusun program pendauran ulang sampah sebagai bagian dari usaha dan, atau kegiatannya. Kedua, menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang; dan, atau menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang.
Untuk itu, Walhi Sumbar menuntut produsen bertanggung jawab atas kemasan produk agar tak berakhir jadi sampah dan akhirnya mencemari lingkungan.
Dari temuan ini tim juga memberikan beberapa saran untuk Pemerintah Kota Padang. Pertama, pemkot memberikan teladan dalam perubahan perilaku pengurangan plastik sekali pakai dalam setiap kegiatan pemerintah kota dan mendukung pemilahan atau pengolahan sampah organik.
Kedua, pemerintah daerah menyusun aturan pengelolaan sampah dan menerapkannya. Ketiga, menjalankan aturan yang sudah ada dengan memberlakukan insentif dan disinsentif.
Keempat, bikin rencana teknis pengelolaan sampah (RTPS) di masing-masing daerah seperti kelurahan atau desa.
Kelima, pemerintah daerah atau Pemerintah Padang menyediakan fasilitas atau infrastruktur pengelolaan sampah seperti pengelolaan sampah organik.
Keenam, Pemkot Padang agar meningkatkan kapasitas pengolahan sampah organik di tingkat wilayah.
Ketujuh, Pemkot Padang bekerja sama dan pembinaan bagi usaha- usaha informasi pengolahan sampah organik.
Kedelapan, mendukung kampanye zero waste, kampanye pengurangan dan pengelolaan sampah secara instensif kepada masyarakat.
Kesembilan, mendorong produsen yang menghasilkan sampah untuk implementasi EPR dan desain ulang kemasan produk hingga tak menimbulkan sampah jenis residu seperti sachet yang tidak bisa di daur ulang.
“Agar bisa dipakai berulang kali atau menyediakan depo-depo refil. Mereka harus ikut mengelola sampah bungkus,” kata Prigi.