- Kota Ternate, sangat rawan bencana terutama ancaman Gunungapi Gamalama. Jarak pemukiman warga ke kawah gunung sekitar tiga kilometer. Ancaman lain banjir lahar dingin, longsor dan tsunami
- Detil mitigasi bencana belum masuk Rencana Tata Ruang Wilayah Ternate. Informasi mitigasi bencana di ruang-ruang publik, juga belum maksimal
- Pemerintah Ternate melalui BPBD lakukan beberapa upaya mitigasi, antara lain sosialiasi kepada masyarakat dan pelatihan penanggulangan bencana buat aparat terkait, bentuk kelurahan tangguh bencana, kelurahan siaga bencana. Selain itu, beberapa sekolah yang berada di belakang gunung sudah simulasi mitigasi bencana
- Ikatan Ahli Geologi Indonesia Maluku Utara mengusulkan, sebaiknya ada dalam kurikulum mitigasi bencana dari pendidikan dasar hingga menengah secara terintegrasi. Atau minimal soal mitigasi bencana ada dalam mata pelajaran tertentu, misal, olahraga, geografi dan lain-lain.
Agam Qodriansyah, begitu khawatir ketika hujan deras mengguyur Ternate, akhir tahun lalu. Pria asal Makassar, yang baru pertama kali datang ke Ternate itu, was-was bukan tanpa sebab. Berita banjir lahar dingin yang pernah melanda Ternate, beberapa tahun lalu, membuat Agam gugup. Dia tak bisa tidur semalam suntuk.
Dia pertama kali ke Ternate. Kala keluar Bandara Babullah, melihat kawah gunung berapi cukup dekat, membuat dia gugup.
“Baru keluar dari bandara sudah bertemu sungai tanpa air yang membelah Kelurahan Dufa-dufa dan Akehuda, tempat mengalir lahar dingin,”katanya.
Kala Gamalama, erupsi akan berdampak langsung kepada warga kota ini. Jarak pemukiman warga ke kawah gunung sekitar tiga kilometer. “Saya sangat gugup dan khawatir. Jika, Gamalama meletus, sebagai orang baru tak memiliki panduan harus menyelamatkan diri ke mana. Pulau Ternate, kecil, semua rawan bencana.”
Keresahaan ini sebenarnya tak hanya dialami Agam. Warga lain yang baru menginjakkan kaki ke Ternate dan peka bencana juga khawatir. Terlebih, kota ini belum memiliki model mitigasi bencana.
Ternate, Maluku Utara, masuk ring of fire (cincin api), dan memiliki kerawanan bencana tinggi. Tak hanya berkaitan dengan Gamalama, juga bencana lain, seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate, menyebutkan, ada tiga kerawanan sangat serius di pulau ini, yakni, letusan Gamalama, banjir lahar dingin, longsor dan ancaman tsunami.
“Pulau ini semua rawan, jika gunung meletus semua terkena dampak. Tidak ada tempat berlindung yang benar-benar aman baik dari debu, lava pijar, awan panas maupun banjir lahar dingin,” kata Andi Mappasabi, Kepala Seksi Kesiapsiagaan BPBD Kota Ternate.
Untuk letusan gunung api, katanya, Ternate dalam tiga kawasan rawan bencana (KRB). KRB III di puncak gunung, KRB II di tengah dan KRB I di pesisir pantai. Kawasan pesisir ditetapkan BPBD sebagai KRB I karena penduduk paling padat. Pusat letusan Gunung Gamalama, kalau diukur tegak lurus sampai di pesisir pantai berjarak sekitar lima kilometer.
BPBD juga membagi zona bencana ancaman lava pijar awan panas lahar dingin. Zona lava pijar berbahaya untuk KRB I, awan panas sangat rawan KRB II dan KRB III ada pemukiman penduduk.
Untuk awan panas bisa menjangkau tiga kilometer dari pusat letusan. Saat ini, sudah banyak pemukiman dengan pusat letusan tak kurang tiga kilometer.
Sejauh ini, katanya, ketika terjadi letusan awan panas belum sampai ke pemukiman warga. “Hanya di perkebunan, misal, pernah terjadi di Kelurahan Takome,” kata Andi.
Untuk ancaman lahar dingin, paling rawan daerah aliran sungai. Ancaman ini berdampak di Kelurahan Togafo , ada juga yang masuk Kota Ternate.

Upaya mitigasi
Soal ancaman bencana Gamalama, Pemerintah Ternate melalui BPBD memiliki beberapa upaya mitigasi, antara lain sosialisasi kepada masyarakat dan pelatihan penanggulangan bencana buat aparat terkait.
Di Ternate, misal, sudah terbentuk kelurahan tangguh bencana. Caranya, dengan memberikan pemahaman, menyiapkan diri menghadapi bencana termasuk evakuasi mandiri. “Warga diberikan simulasi apa tindakan ketika bencana gunungapi. Kita mengajarkan masyarakat.”
Ada empat kelurahan tanggung bencana di Ternate, yakni, Kelurahan Tabam, Tubo, Sangaji Utara dan Loto. Ada juga 27 kelurahan siaga bencana yang ada di Kota Ternate Tengah, Ternate Utara dan Pulau Ternate. Dengan upaya ini, katanya, diharapkan masyarakat benar-benar paham kalau sewaktu waktu ada kejadian.
Andi bilang, mitigasi untuk sekolah juga ada. Beberapa sekolah, katanya, terutama di belakang gunung (Kecamatan Pulau Ternate-red) telah simulasi mitigasi bencana. Meski begitu, katanya, belum jadi bahan ajar di sekolah.
Begitu juga dengan informasi mitigasi bencana di ruang-ruang publik, hingga kini belum berjalan maksimal. Di Kota Ternate, baru ada papan petunjuk rute evakuasi di beberapa sudut jalan.
Hingga kini, katanya, belum ada buku petunjuk atau informasi kewaspadaan awal untuk warga yang baru masuk Ternate. “Memang itu kendala kita. Mestinya ada papan peringatan dini di bandara atau tempat-tempat umum lain. Kita segera memasang papan informasi seperti itu agar publik bisa paham Ternate,” kata Andi.
Soal mitigasi ini, katanya, sesuai Peraturan Daerah Nomor 2/2012 tentang Rencana Tata Ruang Kota Ternate 2012-2032—masih revisi–, Pasal 26 mengatur, kawasan rawan bencana alam terdiri atas gempa, tanah longsor, tsunami, gelombang pasang dan banjir serta gunung api.
Kawasan rawan bencana gempa ada di seluruh wilayah Ternate. Untuk rawan tanah longsor juga di Pulau Ternate, seluas 40,58 hektar di Kelurahan Afetaduma, Dorpedu, Togafu, Kalumata, Ngade, Dufa-dufa, Akehuda dan Tobona.
Untuk Pulau Hiri seluas 6,4 hektar di Kelurahan Tafraka, Mado, Faudu dan Tomajiko. Ada juga kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami terdapat di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah, Ternate Selatan, Pulau Ternate, Ternate Barat, Pulau Hiri, Moti dan Pulau Batang Dua.
Sementara rawan banjir di Kelurahan Mangga Dua, Bastiong Talangame, Bastiong Karance, Gamalama, Kelurahan Jati, Santiong dan Kelurahan Mangga Dua.
Kemudian, rawan bencana gunungapi, meliputi rawan Tipe I (1.028, 29 hektar), II (1.525,18 hektar) dan III lebih 1.121,58 hektar.
Junaidi Bahrudin, Ketua Pansus Revisi RTRW Kota Ternate mengatakan, detail mitigasi bencana belum masuk dokumen RTRW. Panitia khusus, katanya, sedang meminta Bappelitbang Kota Ternate memasukkan dokumen rencana detail tata ruang (RDTR). RTRW Kota Ternate, katanya, masih perlu upaya mitigasi bencana.
Berdasarkan Buku Data Dasar Gunung Api Indonesia yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) riset Bahrudin dan kawan-kawan, menyebutkan, wilayah rawan bencana Gamalama terbagi dalam tiga kawasan, pertama, KRB I di sepanjang atau dekat lembah sungai dan bagian hilir sungai yang berhulu ke puncak dan berpotensi terlanda lahar . Juga tak tertutup kemungkinan dilanda aliran awan panas atau lava.
Kedua, kawasan rawan bencana terhadap hujan abu, tanpa memperhatikan arah angin dan kemungkinan terlanda lontaran batu pijar dengan radius 3,5 kilometer dan titik pusat di kawah utama.
KRB II berpotensi terlanda awan panas lontaran atau guguran batu pijar, aliran lava dan lahar. Ia meliputi seluruh puncak, diperluas ke lereng bagian utara dan selatan terutama bagian pegunungan.
Selanjutnya, kawasan rawan terhadap lontaran atau jatuhan batu (pijar) dan hujan abu lebat. Ia meliputi puncak hingga lereng bagian tengah dengan radius 2,5 kilometer berpusat di kawah utama atau pusat letusan.
Ketiga, KRB III paling dekat dengan pusat letusan (kawah utama dan paling sering terlanda awan panas, lontaran atau guguran batu (pijar) dan aliran lava. Wilayah ini sangat berbahaya hingga tak bisa jadi tempat hunian.
Meski kerawanan begitu serius hingga kini mitigasi bencana seakan belum jadi hal urgen. Asgar Saleh Direktur LSM Rorano yang selama ini mengadvokasi proses mitigasi bencana menjelaskan, sebenarnya dari aspek regulasi Ternate, sudah siap. Dia contohkan, Ternate sudah memiliki Perda Penanggulangan Bencana sejak 2014. Hanya, katanya, tidak diperkuat peraturan teknis dari wali kota.
Ternate, katanya, perlu transfer pengetahuan menyeluruh. Intervensi, katanya, paling efektif lewat pendidikan formal maupun non formal di institusi kemasyarakatan. Selain itu, harus biasa simulasi yang simultan dan kontinyu. “Jadi simulasi oke, edukasi juga oke. Ini yang belum berjalan maksimal. Ke depan Ternate, juga perlu persediaan cadangan saat bencana seperti komunikasi dan evakuasi,”katanya.
Dedy Arief, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara bilang, sebaiknya ada dalam kurikulum mitigasi bencana dari pendidikan dasar hingga menengah secara terintegrasi. Kalaupun belum bisa terintegrasi, katanya, minimal ada dalam mata pelajaran tertentu, misal, olahraga, geografi dan lain-lain. “Kita tidak bisa pungkiri Kota Ternate ini dibangun dan berkembang di tubuh gunung api. Gamalama memiliki sejarah erupsi yang wajib diwaspadai semua pihak.”
Saat ini, katanya, PVMBG Pos Gamalama dan BPBD Ternate, sudah memiliki dokumen ini. “Prinsipnya, masyarakat akan tangguh dan mampu evakuasi mandiri apabila selalu diberikan pemahaman dan berlatih upaya mitigasi,” kata Dedy.
Dia mengingatkan, letusan tak hanya di Puncak Gamalama, tetapi bisa terjadi letusan samping di dekat rumah warga atau pemukiman.
Peristiwa Tolire Gam Jaha maupun bukti leleran lava yang mengeras jadi batu angus, katanya, merupakan bukti letusan itu tak hanya di puncak gunung juga di sekitar pemukiman.

Aktif dan sangat rawan
Ada dua gunung berapi di Indonesia, terbilang sangat rawan dan aktif yakni Gunungapi Sinabung dan Gamalama. Gamalama sangat rawan karena pemukiman warga di punggung gunung.
Darno Lamane, Kepala Pos Pengamatan Gunung Gamalama Ternate dalam Fokus Discussion Group IAGI Malut 29 Januari lalu mengatakan, paling mengkhawatirkan dari Gamalama adalah letusan samping.
Tinggi Gamalama, katanya, kalau diukur dari dasar laut hingga ke puncak sekitar 3.600 meter. Kalau dari pemukiman hingga puncak 1.775 meter. Kota atau pemukiman saat ini sudah di atas 1.125 meter. Jadi, letusan bisa saja terjadi di punggung gunung yang ada pemukiman.
Gamalama, katanya memiliki keunikan. Ia sulit diprediksi karena dari gempa vulkanik hingga terjadi letusan jarak waktu sangat singkat.
“Interval waktu letusan 4 Oktober 2018, misal, hanya satu jam. Sebelum letusan dengan tujuh kali gempa vulkanik langsung muncul letusan.”
Letusan Gamalama, katanya, kadang dipengaruhi oleh gempa tektonik di Halmahera Barat, Halmahera Tengah maupun Halmahera Selatan. Untuk itu, pemantau gunung ekstra memantau dan perekaman jika terjadi gempa tektonik apalagi gempa vulkanik yang merangsang percepatan letusan.
Menurut dia, kalau melihat sejarah letusan gunungapi di Indonesia, Gamalama termasuk salah satu sangat aktif dengan waktu sangat cepat dari aktivitas gempa sampai muncul letusan.
Sejarah Gamalama dari data Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Gunungapi (PVMBG), Gamalama terdiri dari tiga generasi, yakni, Gamalama Tua, dengan sisa ditemukan di bagian tenggara dan selatan puncak memanjang dari timur laut ke barat daya. Ia dikenal dengan Bukit Melayu atau Gunung Kekau.
Gamalama dewasa, sisa tubuh mengambil tempat di bagian barat Pulau Ternate. Puncak membujur dari barat ke timur dikenal dengan Bukit Kramat atau Bukit Medina. Gamalama Muda, ditemukan di bagian utara. Puncaknya, saat ini adalah pusat letusan dikenal dengan Bukit Arafat atau Piek van Ternate.
Gunung Gamalama mengeluarkan asap dan debu hampir setiap waktu. Data dihimpun Mongobay, terbaru, Gamalama meletus 4 Oktober 2018 sekitar pukul 11.52. Saat itu, Gamalama hanya mengeluarkan asap berwarna putih kelabu setinggi 250 meter dari puncak dengan status waspada level II.
Berdasarkan berbagai catatan, termasuk data PVMBG menyebutkan, Gamalama meletus pertama kali pada 1538. Beberapa catatan Belanda menyebutkan, letusan pertama ini memakan korban ratusan orang. Bahkan penduduk Ternate mengungsi hingga ke Pulau Tidore. Hingga kini, letusan Gamalama sudah 78 kali bersumber dari kawah utama dan hampir selalu magmatik.
Beberapa literatur menyebutkan, setidaknya, ada empat letusan besar dan memakan banyak korban. Paling parah letusan Gamalama pada 1775.
Dilansir dari vsi.esdm.go.id, pada 5-7 September 1775 terbentuk maar di sekitar Desa Soela Takomi atau 1,5 km sebelah barat daya dari Desa Takome, sekarang. Gogarten (1918) menyatakan, terbentuknya lubang yang dikenal dengan tolire jaha (lubang besar) didahului dengan gempa bumi tektonik berskala besar, diikuti letusan freatik dahsyat pada 5 September tahun itu. Letusan berikutnya 7 September.
Dalam peristiwa ini, 141 penduduk Desa Soela Takomi hilang bak ditelan bumi. Besarnya danau maar ini, banyak penulis berpendapat, terbentuk karena tanah amblas sebagai dampak gempabumi. Pasca letusan besar itu, desa yang berjarak 18 kilometer dari pusat Kota Ternate itu muncul dua danau, yaitu Tolire Jaha dan Tolire Kecil.
Keterangan foto utama: Pemukiman warga yang sudah mendekati puncak Gamalama. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
