Akhirnya, pemerintah mengeluarkan aturan penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap. Dengan aturan ini, masyarakat bisa menghasilkan energi listrik sendiri dan menjualnya kepada PT PLN. Sayangnya, beleid ini dinilai tak akan banyak berkontribusi dalam mencapai target energi terbarukam 23% pada 2025. Hingga kini, porsi energi terbarukan baru sekitar 13%.
Baca juga: Menanti Aturan Listrik Surya Atap
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 49/2018 ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan 15 November 2018. Sosialisasi baru akhir November lalu.
Jonan bilang, jual beli listrik dari tenaga surya atap (rooftop solar) harus berdasarkan asas berkeadilan.
“Jadi tak merugikan kedua belah pihak, baik penjual (konsumen yang memasang rooftop solar) maupun PLN,” kata katanya, baru-baru ini.
Ada beberapa hal diatur ketentuan yang mulai berlaku 1 Januari 2019 ini. Pertama, aturan ini khusus bagi konsumen PLN untuk menghemat tagihan listrik pelanggan.
Baca juga: Dorong Pengembangan Listrik Surya Atap, Berikut Masukan kepada Pemerintah
Kedua, kapasitas sistem PLTS atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PLN. Ini ditentukan dengan kapasitas total inverter. Energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung beradasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65%.
Dengan kata lain setiap listrik yang dialirkan pelanggan PLTS rooftop ke PLN hanya dihargai 65% dari total listrik dijual.
Menurut Jonan, berdasarkan dua komponen pembentuk dalam penentuan harga jual listrik yaitu pembangkit dan distribusi, hitungan ini adil.
“Saya bilang ini fair karena kalau kita memakai pembangkit listrik tenaga surya di rumah, istilahnya gini, jual listrik dari konsumen ke PLN pakai kabel siapa? Kan pakai jaringan transmisi dan distribusi PLN, gardu induk juga PLN. Konsumen hanya pembangkit,” katanya.
Dalam Pasal 6 menyatakan, perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap setiap bulan berdasarkan selisih antara kWh impor dan kWh eskpor.
Kalau listrik lebih besar dari listrik dipakai dalam satu bulan, selisih untuk mengurangi tagihan listrik bulan berikutnya. Penghitungan selisih ini, katanya, terakumulasi setiap tiga bulan, yakni pada Maret, Juni, September dan Desember.
Pada akhir tahun, perhitungan kelebihan akumulasi akan dinolkan kembali.
Konsumen PLN yang berminat memasang PLTS atap sebelumnya harus mengajukan permohonan pembangunan dan pemasangan ke general manager unit induk wilayah atau distribusi PLN.
Untuk pemasangan ini, katanya, pelanggan PLN harus mengubah sistem pembayaran listriknya dari prabayar ke pascabayar.
Selanjutnya, PLN akan evaluasi dan verifikasi untuk menyetujui permohonan konsumen paling lama 15 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
Kalau belum lengkap, PLN harus menyampaikan pemberitahuan tertulis paling lambat dua hari setelah evaluasi dan verifikasi untuk dilengkapi 15 hari kerja setelah pemberitahuan PLN.
Setelah PLN menyetujui permohonan pelanggan, dinyatakan juga kalau PLN wajib mengubah mekanisme pembayaran tarif pelanggan untuk pemasangan oleh badan usaha yang dipublikasikan pemerintah.
Instalasi sistem PLTS atap juga wajib punya sertifikat laik operasi (SLO), dan PLN wajib menyediakan dan memasang kWh ekspor impor bagi pelanggan yang telah punya SLO satu hari kerja sejak SLO diterima PLN. Biaya ditanggung konsumen.
Setiap enam bulan, sebut aturan itu, PLN wajib melaporkan penggunaan sistem PLTS atap kepada Menteri ESDM meliputi data jumlah pelanggan, total kapasitas, total energi yang ekspor dan impor.
Khusus pelanggan industri juga bisa memasang sistem ini baik tersambung maupun terpisah dari jaringan PLN. Namun, industri akan kena biaya kapasitas dan biaya pembelian energi listrik darurat.
Mereka yang bukan pelanggan PLN namun hendak memasang PLTS atap harus melapor kepada PLN dan KESDM meliputi identitas dan kapasitas terpasang.
Membuang peluang?
Sejumlah pihak menilai permen ini ada kekurangan dan kelebihannya. Satu sisi regulasi ini memberikan legitimasi untuk pemasangan PLTS atap. Selama ini, pemasangan pembangkit hanya menggunakan peraturan direksi PLN hingga tak semua daerah mau melayani pelanggan yang hendak memasang pembangkit.
Dengan kata lain aturan ini memberikan kepastian payung hukum bagi warga yang ingin menggunakan listrik dari energi bersih. Sisi lain, masih banyak celah mengoptimalkan pemasangan PLTS atap.
Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, beleid ini membuang peluang dan kesempatan investasi rakyat 15-20 gigawatt (gw). Praktis juga membuang kesempatan pencapaian bauran energi yang bisa diraih melalui energi surya.
Kapasitas terpasang listrik tenaga surya Indonesia termasuk rendah, baru 90,1 mw, dibanding negara Asia Tenggara lain, Thailand (2.700 mw), Filipina (885 mw), Malaysia (375 mw), bahkan Singapura (130 mw).
Padahal, katanya, potensi energi surya di Indonesia besar. Data KESDM potensi kapasitas 560 gwp dengan teknologi saat ini.
Dalam gerakan nasional sejuta surya atap (GNSSA) target dapat menambah kapasitas satu gw pda 2020. Namun, katanya, target ini pesimis bisa tercapai dengan Permen 49 ini.
Sejak GNSSA rilis, pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap dan menyambungkan instalasi ke PLN naik hingga lebih dua kali lipat, dari 268 pada September 2017 jadi 553 November lalu.
Permen 49, katanya, masih bersifat jangka pendek. Secara eksplisit permen menyebutkan, regulasi dibuat untuk menghemat konsumsi listrik. Ia tak langsung menyasar agenda percepatan pencapaian target energi terbarukan di Indonesia.
“Dikunci dengan kata konsumen PLN. Yang bukan konsumen bisa nggak masang, seperti Cikarang Listrindo yang punya wilayah usaha khusus,” kata Fabby, sembari mengatakan, aturan ini cenderung melindungi kepentingan revenue PLN dan tidak selaras amanat target yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Skema net metering dengan besaran 65% juga dinilai kurang menarik secara ekonomis bagi pelanggan PLN. Ia lebih kecil dibanding nilai transaksi yang diatur dalam Perdir PLN No 0733.K/DIR/2013 yang memberikan besaran transaksi satu banding satu atau 100% dari energi yang dihasilkan.
Padahal, kata Fabby, studi pasar oleh IESR dan GIZ-Infis, menunjukkan, salah stau motivasi masyarakat menggunakan surya atap adalah potensi bayar lagi yang pendek.
Tarif ekspor lebih rendah, katanya, memperpanjang masa pengembalian investasi dari 7-8 tahun menjadi 11-12 tahun dengan harga saat ini.
Argumen pemerintah bahwa ini adil– mengingat jaringan dan distribusi milik PLN–, kata Fabby, tak tepat. PLN adalah pemegang hak monopoli industri listrik di Indonesia.
“Nggak ada pilihan lain jelas kita jual ke PLN. Biaya jaringan termasuk losses, itu kan tugas PLN.”
Menurut Fabby, jika target satu gw tercapai, justru akan mengurangi losses (listrik hilang dalam distribusi-red) karena membantu menstabilkan arus listrik yang praktis menambah kualitas layanan dan pendapatan PLN.
IESR memperkirakan, dari keuntungan PLN bisa hemat Rp20 triliun.
Argumen PLN, besaran tarif ini akan mengurangi pendapatan PLN dari penjualan listrik, namun simulasi IESR mencatat perusahaan listrik negara ini hanya akan kehilangan pendapatan 0.42% bila target GNSSA tercapai satu gw pada 2020. Dengan proyeksi pendapatan PLN Rp348 triliun, potensi pendapatan hilang dengan ada satu GW surya atap sekitar Rp1,5 triliun.
Tak menarik lain, katanya, periode akumulasi sekali tiga bulan, bukan setiap bulan seperti sebelum aturan ini terbit.
Proses perizinan juga dinilai menimbulkan ketidakpastian. Tak ada ketentuan jelas kalau PLN harus menyetujui permohonan pelanggan.
“Yang ada hanya PLN harus evaluasi dan verifikasi dan wajib mengubah mekanisme pembayaran dari pra bayar ke pasca bayar. Tidak ditegaskan setelah terpenuhi wajib menyetujui permohonan pelanggan,” katanya.
Selain itu, tak ada batasan waktu PLN menyediakan meter exim dan penggantian. “Bagaimana jika disetujui lalu PLN wilayah tak punya meter exim. Kapan adanya? Nggak tau. Mungkin tunggu pengadaan tahun depan.”
Prosedur pemasangan juga dianggap lebih rumit dan kontradiksi untuk pelanggan sektor industri, karena ada ketentuan biaya kapasitas dan biaya emergensi untuk pelanggan industri yang on grid.
Kajian IESR, potensi pengguna surya atap di Jawa, mencapai 13% dari pelanggan PLN dari rumah tangga berkisar 4,5 juta. Potensi pengguna surya atap juga dari sektor industri dan bangunan komersil dengan kapasitas instalasi berkisar antar 3-5 gigawatt peak.
“Seharusnya, dapat diperdalam dengan tujuan lebih visioner dalam menyusun kerangka regulasi yang dapat membantu pemerintah mewujudkan target kebijakan energi nasional.”
Keterangan foto utama: Panel surya atap. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia