Dunia termasuk Indonesia sedang berhadapan dengan krisis iklim. Salah satu pemicu utama dari sektor energi yang menggunakan sumber-sumber kotor seperti batubara. Indonesia, salah satu negara yang masih menggantungkan sumber energi dari batubara ini. Gaung transisi energi memang muncul. Rencana bertransisi juga pemerintah gabungkan, tetapi hingga kini, penggunaan energi terbarukan misal bersumber dari air, matahari, yang melimpah di negeri ini jauh dari kata cukup. Lebih parah lagi, label transisi energi yang muncul seperti co-firing (mencampurkan batubara dengan biomassa) di pembangkit-pembangkit listrik di Indonesia, malah cenderung sebagai upaya ‘melanggengkan’ kehidupan PLTU batubara. Campuran biomassa, 5%-10%, berarti 95%-90% batubara. Belum lagi, berbagai persoalan yang mengikuti sumber dari biomassa ini. Peralihan ke kendaraan listrik yang dapat label ‘rendah emisi’ tetapi tak begitu di lokasi sumber-sumber nikel yang jadi bahan baku baterai listriknya. Di hulu, hutan-hutan bertutupan terbabat, lingkungan rusak sampai polusi. Masalah muncul bukan hanya karena operasi tambangnya, tetapi pembakaran batubara di PLTU captive yang menjadi andalan pabrik-pabrik pengolahan nikelnya. Penggunaan energi batubara bukan berkurang, malah sebaliknya.