Episode perdana BTS: Berita Tanpa Sensor dari Mongabay Indonesia, jurnalis Lusia Arumingtyas dan Riza Salman membedah realitas getir dari hilirisasi tambang nikel di pulau-pulau kecil Indonesia, khususnya Sulawesi dan Raja Ampat. Bukan sekadar soal logam untuk baterai mobil listrik, ini adalah kisah tentang rusaknya ekosistem, lenyapnya ruang hidup, dan hancurnya harapan warga pulau. Satu baterai mobil listrik setara dengan hilangnya satu hektar kebun cengkeh produktif yang dulunya mampu menghidupi beberapa generasi.
Riza bercerita pengelaman jurnalistiknya yang sangat membekas, mulai dari pencemaran air, anak-anak sakit kulit, mata pencaharian musnah, dan konflik sosial meretakkan keluarga. dia melihat langsung bagaimana pertambangan telah memutuskan generasi. Satu hektar lahan cengkeh produktif, yang dulu bisa menyekolahkan anak-anak dan menghidupi beberapa turunan, kini berubah menjadi debu, lumpur, dan konflik sosial.
“Laut adalah ibu bagi masyarakat pesisir yang oleh perempuan pesisir itu tidak perlu repot untuk mendapatkan sumber pakan ketika air surut ada namanya, meti mereka menangkap Habitat habitat di pesisir itu sudah nggak ada lagi,” ujar Riza.
Di tengah semua itu, hukum sering kali hanya jadi formalitas. Secara hukum, pulau-pulau kecil di bawah 2.000 km² tidak boleh ditambang. Namun, celah administratif—penggunaan batas wilayah kecamatan, bukan pulau—dimanfaatkan untuk menerbitkan izin tambang. Misalnya saja saat masyarakat mengugat PT Gema Kreasi Perdana, anak usaha Harita Group di Pulau Wawonii. Lima kali warga Wawonii menang di pengadilan, tapi tambang tetap beroperasi.
Lebih jauh, sedimentasi dari tambang terbukti mencemari laut hingga ratusan kilometer jauhnya, mengancam ekosistem laut Banda yang jadi jantung segitiga karang dunia.
Riza juga menyinggung tentang genosida ekologis terhadap Suku Bajo—masyarakat laut yang kehidupannya sangat bergantung pada ekosistem pesisir. Mereka kehilangan ruang hidup, tidak bisa bertani, dan kini hanya bisa mengandalkan laut yang semakin miskin.
Di sinilah letak ironi besar: energi hijau yang katanya ramah lingkungan justru menghancurkan kehidupan masyarakat lokal.
Di tengah isu Save Raja Ampat yang kini viral, episode ini jadi pengingat bahwa banyak pulau lain yang sunyi dan tanpa sorotan publik tengah mengalami nasib serupa. Kini giliran kita bersuara. Karena kalau kita tak mampu menyelamatkan pulau-pulau kecil, bagaimana bisa kita melindungi negeri ini secara utuh?
Salinan
Pemberitahuan: Transkrip dibuat oleh mesin dan manusia serta diedit dengan ringan untuk akurasi.Mereka mungkin mengandung kesalahan.Lusia Arumingtyas: Selamat datang di BTS (Berita Tanpa Sensor) podcast dari Mongabay Indonesia. Di sini kami akan membawa kamu ke cerita di balik layar sebuah artikel ke lokasi yang tak selalu mudah untuk dijangkau ke cerita yang kadang tak sempat juga tertulis di artikel. Nah saya Lusia Arumingtyas di episode
Lusia Arumingtyas: saya Lusia Arumingtyas di episode pertama ini kita akan ngobrolin tentang tambang nikel di pulau pulau kecil khususnya di Sulawesi.
Lusia Arumingtyas: Bukan sekedar logam yang ada di ponsel kamu ataupun baterai yang ada di mobil listrik kamu tapi, ini juga sebuah kekuatan yang ternyata mengubah lanskap ekosistem bahkan kehidupan warga di pulau pulau kecil. Nah dan kenapa sih sebenarnya ini penting banget buat diobrolin apalagi sekarang di tengah isu tagar Save Raja Ampat yang sedang booming di media sosial
Lusia Arumingtyas: nah, bersama saya sekarang sudah ada Bang Riza Salman yang pernah meliput tambang nikel di pulau pulau kecil yang ada di Sulawesi Tenggara ataupun Tengah mungkin juga pernah ke Raja Ampat. Langsung aja mungkin aku panggilkan
Lusia Arumingtyas: Bersama saya ada Riza Salman yang pernah meliput tambang nikel di pulau pulau kecil Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi tengah. Langsung aja, mungkin kamu gak asing lagi dengan tulisan tulisan bang Riza, apa kabarnya bang?
Riza Salman: Ya. Selamat malam.
Lusia Arumingtyas: Malam. Gimana kabarnya bang?
Riza Salman: Kabar baik. Memang isu tentang pertambangan di pulau pulau ini. tidak pernah habis dalam beberapa tahun terakhir.
Lusia Arumingtyas: Nah mungkin bang, Riza bisa cerita terkait pernah meliput di mana saja? bisa diceritain bagaimana sih pergi ke sana? dan seperti apa sih kondisinya bicara tentang nikel dan juga pulau pulau kecil?
Riza Salman: Jadi sebenarnya ketika kita berbicara tentang penambangan di pulau pulau kecil, itu di Indonesia sendiri, itu penambangan nikel di pulau pulau kecil itu, yang pertama mencuat adalah kalau tidak salah yang mungkin bisa dikoreksi nanti di Sulawesi Tenggara awalnya. Dimana itu ada pulau Wawonii.
Riza Salman: Pertambangan ini itu ribut menjadi perhatian publik. Di sekitar tahun 2019 ketika itu terjadi protes besar besaran warga untuk pencabutan izin usaha pertambangan.
Salah satu perusahaan tambang yang ini, Anak karita grup di Pulau Wawonii. Itu sangat berlangsung lama sehingga berujung pada kriminalisasi beberapa warga. Mereka ditangkap lengkap dan tanpa melewati proses peradilan yang harus bagaimana mestinya yang sejauh ini yang seperti yang kita bisa lihat di banyak pemberitaan.”
Riza Salman: Jadi seperti itu dan pertambangan di pulau pulau di Sulawesi Tenggara itu, awal mulanya itu adalah ketika masa otonomi daerah berlangsung. Jadi itu sekitar tahun 2007, seperti di Pulau Wawonii awal mulanya itu periode 2007, 2010 itu sekitar lima belas IUP diterbitkan oleh pemerintah daerah di antara salah satunya adalah PT GKP atau Gema Kreasi Perdana.
Riza Salman: Hanya ketika berjalan waktu, 2014 kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan energi oleh di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu ditarik ke pusat. Sehingga pemerintah daerah tidak memiliki ruang apapun. Ketika ditarget pusat itu seperti apa yak, dua sisi yang pada satu uang mata koin di sisi lain berdampak positif, tidak mudah terbit IUP.
Riza Salman: Tetapi di sisi lain ini menjadi masalah ketika gayung bersambut oleh di era Presiden Jokowi yang dimana pada akhir 2019 apa yang mencanangkan program hilirisasi nikel dan berlaku tahun 2020. Di mana ketika itu ekspor terhadap biji nikel ke luar negeri itu dihentikan dan diharuskan dikelola dalam negeri ini telah menimbulkan banyak smelter. Dan ketika smelter smelter tumbuh dan berkembang di beberapa wilayah Timur Indonesia, hal itulah yang bisa dikatakan menjadi petaka terhadap pulau pulau di umumnya di Indonesia Timur yang memiliki kandungan nikel.
Riza Salman: Seperti itu yang saya lihat kondisinya. Dan berbicara tentang pulau pulau ini ada gimana ya, yang paling penting melihat persoalan ini. Memang agak membingungkan ya, kketika dikatakan pulau tapi masih bisa ditambang ini yang menjadi pertanyaan besar
Lusia Arumingtyas: Mungkin bisa diceritain ke yang terkait PT GKP. Itu kan sebenarnya sempat digugat kemudian menang juga sebetulnya di MA kan ya. Nah itu bisa ceritain kan kalau tadi bang Riza cerita bagaimana. PT GKP itu menjadi titik poin penting. Bagaimana sebenarnya pulau pulau kecil itu sebenarnya tidak boleh buat ditambang.
“Riza Salman: Jadi pada Desember 2022, itu Mahkamah Agung itu membatalkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Konawe Kepulauan dimana izin tambang dilarang. Pembatalan itu merujuk pada pulau pulau kecil dibawah 2.000 Km. Itu tidak boleh ditambang. itu jadi pembatalan perda itu berdasarkan gugatan warga dari Pulau Wawonii. Dan setahun kemudian pada Februari 2023, itu pengadilan tinggi umum negeri ketari itu memenangkan gugatan warga membatalkan lagi IUP PT GKP. Dan ketika sebulan kemudian, Mahkamah Konstitusi itu menolak Yudisial review Undang undang 27 Nomor 27 Tahun 2007 terkait tambang di pulau kecil.
Riza Salman: Jadi ada yang melakukan upaya peninjauan kembali itu tapi itu di sudah ditolak oleh MK karena memang tidak bisa ditambang. Dan pada Juli 2023, MA juga membatalkan lagi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah ke RT RW Pulau Wawonii atau Kabupaten Konawe Kepulauan, lanjutan daari sebelumnya.
Riza Salman: Sampai di 7 Oktober, setahun kemudian, 2024 Mahkamah Agung itu membatalkan lagi IPPKH PT GKP atau ijin pinjam pakai hutan seperti itu. Tapi meskipun dibatalkan, GKP masih terus beroperasi
Lusia Arumingtyas: Sampai hari ini ya.
Riza Salman: Dalam salah satu berita kita di Mongabay, dari informasi karena katanya mereka belum menerima keputusan itu begitu.
“Lusia Arumingtyas: Nah, sebenarnya itu juga yang menjadi temuan menarik. Bagaimana sebetulnya aturan aturan yang sudah tidak boleh lagi nih nambang di pulau pulau kecil, tapi bahkan perusahaan itu tetap ngeyel aja bahkan nggak ada sanksi juga nih dari pemerintah terkait penambangan itu. Nah, sebenarnya mungkin pembaca Mongabay juga pengen tahu kenapa sih emang gak boleh ditambang mungkin ini sebenernya udah banyak dibahas oleh temen temen NGO isu lingkungan ataupun pemilik kebijakan. Tapi kalau dari perspektif jurnalis nih bang, apasih yang bikin kalau dari perspektif jurnalis yang melihat kenapa sih sebenarnya pulau pulau kecil tidak boleh ditambang, memang gimana sih bentukannya. Mungkin pendengar tidak tau nih kayak gimana sih gitu mungkin diceritakan ketika liputan misalnya seperti apa? Kenapa sih kita harus terus bersuara terkait bicara pulau kecil dan itu ditambang?
Riza Salman: Ini menarik. kenapa kita harus bersuara seperti yang saya ceritakan tadi bisa dibayangkan itu lima kali kemenangan hukum. Untuk memperjuangkan bagaimana pulau kecil tidak bisa ditambang. Kita mengambil dari Pulau Wawonii yang menjadi awal mula tonggak perjuangan masyarakat di pulau pulau pesisir dan munculah pertanyaan kenapa tidak bisa ditambang?
Riza Salman: Begitu lepas daripada semua persoalan saya teringat ketika reportasi di Wawonii melakukan peliputan tentang biodiversitas untuk mencari tahu kenapa sih itu tidak boleh ditambang. Jadi saya mendapatkan satu artikel, artikel penelitian dan itu merupakan penelitian awal tentang Pulau Wawonii yang dilakukan oleh dua peneliti perempuan LIPI saat itu.
Riza Salman: saya mewawancarai mereka dan mereka itu kaget tentang Pulau Wawonii itu ditambang karena bagi mereka pulau si kecil itu itu tidak boleh dirubah bentangan alamnya. Karena yang jadi pertanyaan pulau pulau kecil itu adalah satelit bagi daratan terdekat daratan terbesar.
Riza Salman: Jadi satelit ini adalah menopang biodiversitas biodiversitas, daratan terdekat dan disisi lain satelit ini bisa bisa jadi apa yang untuk menjaga keseimbangan ketika di darat over populasi contoh, burung. Bisa kita ke sana. Karena pulau pulau kecil itu merupakan jalur migrasi jalur migrasi yang sangat penting bagi hewan hewan baik megrasi hewan darat, hewan hewan hewan udara atau hewan laut itu yang paling penting.
Riza Salman: Dan berikut juga berbicara tentang pulau jadi pulau satelit itu merupakan sumber daya tambahan bagi daratan daratan dan mengingat di pulau pulau kecil itu, masih banyak penelitian yang belum, untuk melihat persoalan pulau pulau kecil dan kenapa sangat penting berbicara penelitian karena pulau pulau kecil itu adalah sekarang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Riza Salman: Jadi, bayangkan bagaimana mereka yang sudah musim tangkapnya sulit diprediksi, terdampak perubahan iklim, badai El nino, El nina, ditambang lagi.
Riza Salman: Jadi mereka sudah sulit mendapatkan hasil dari laut, hutannya hancur, kesulitan mendapatkan air, mereka harus kemana?
Riza Salman: jangankan kita berbicara pulau di Sulawesi Tenggara. Di Kota Kendari, saja, itu bisa dikatakan terjadi beban beban urbanisasi dari wilayah wilayah kabupaten di sekitarnya. Yang ditambang banyak yang jual lahan masuk hidup di kota. Yang jadi pertanyaan kan ketika mereka masuk hidup di kota mereka Basicnya sebelumnya, petani nelayan. Mereka harus kerja apa? Begitu dan itulah mengapa alasannya pulau pulau kecil itu sangat penting. Dan berdasarkan hasil pengamatan saya, masyarakat pulau pulau kecil itu sangat bergantung pada kelangsungan pesisir mereka karena rata rata corak corak pulau kecil. Apalagi Indonesia Timur itu adalah notabenenya bukan pulau yang terlalu subur.
Riza Salman: Dan berbicara tambang, tambang nikel. Apapun aktivitas penambangan yang di darat pasti yang paling merasakan dampaknya pasti masyarakat pesisir karena sedimen sedimen lumpur masuk ke sungai berakhir di muara seperti itu.
Lusia Arumingtyas: Oke, sebenarnya kan mungkin Pulau Wawonii agak sedikit mirip dengan Pulau Gag atau Pulau Pulau di Papua Raja Ampat, yang rencananya akan dibongkar abis gitu oleh pemerintah nah kan? Karena memang lagi rame Save Raja Ampat nih memang sebenarnya ada apa sih sebenarnya dengan Tambang Nikel?
Lusia Arumingtyas: Maksudnya kita tau sih kalau pas waktu apa, debat cawapres, debat capres dan cawapres yang memang bicara hilirisasi nikel gitu. Bisa nggak sih bang ceritain tentang ada apa dengan tambang Nikel mungkin bisa bicara tentang bagaimana sih suasananya ketika kita liputan?
Lusia Arumingtyas: Seketika tadi bicara tentang masyarakat yang memang sulit ya apalagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya. Mungkin dari wilayah pesisir biodiversitas yang ada di sana. Bisa tidak sih ceritakan apa yang Bang Salman, Bang Riza lihat ataupun dengar ketika memang ke pulau Wawonii atau pulau pulau di sekitar ataupun di pesisir Sulawesi Tengah maupun di Tenggara?
Riza Salman: Ya, jadi yang saya lihat yang pertama itu adalah kerusakan yang menurut saya itu kerusakan permanen yang sangat sulit diperbaiki seperti yang terjadi di Wawonii.
Riza Salman: Ketika air itu sudah sangat sulit untuk ditolong. Terlebih Pulau Wawonii ini kan seperti contoh orang hanya mengetahui itu sebuah pulau tapi banyak yang tidak mengetahui bahwa masuk dalam pulau yang memiliki Zona Karst. Tampungan air.
Riza Salman: Tapi yang jadi permasalahan ketika ditambang di hulu, metode penambangannya ini ketika dipapas hutan ketika mereka merusak sistem tampungan air utama itu akan menjadi masalah. Seperti ibaratnya. Tower, kalau sudah rusak kemanapun ledengnya mengalir pasti akan mengalir limbah limbah atau sedeimen lumpur itu yang pertama. Yang berikutnya yang saya lihat seperti di Pulau Wawonii yang jadi permasalahan lainnya itu adalah kesehatan, aspek kesehatan.
Riza Salman: Dimana aspek kesehatan saya mendapati dalam, di satu desa disana itu mereka sebenarnya sungainya tidak terlalu terdampak sungainya itu jalur yang lain. Tapi mereka dekat kampungnya dengan tambang nikel. Tetapi yang menjadi membingungkan adalah ketika warga yang menggunakan air itu bayangkan satu desa itu kena semacam scabies.
Riza Salman: Jadi itu ada saya sempat abadikan saya motret dan yang menyedihkan dari pokoknya gimana kalau kita masuk ke sosial media saya itu, orang tua laki laki pakai sarung karena ini gatal gatal anak anak itu waduh bisul bisulan di tangan.
Riza Salman: Tetapi di sisi lain masyarakat karena masih memegang nilai tradisional menganggap ini adalah semacam wabah wabah yang metafisik begitu yang terjadi dalam suatu siklus.
Riza Salman: Berbicara tentang kesehatan, yang berikutnya masyarakat kesulitan memperoleh air bersih yang sangat jernih. Mereka tidak pernah krisis air tetapi ketika terjadi kerusakan dan berdampak pada saat itu, hujan saja tidak sampai sejam itu lumpur yang turun. Habis itu pesisir mereka rusak, habis pesisr mereka rusak terus pertanian mereka rusak, seperti cengkeh bisa dibayangkan cengkeh dengan jambu mete atau buah mete.
Riza Salman: Jadi ketika dulu belum ada tambang, mereka itu sangat kehidupannya itu bagaimana ya, bisa dibayangkan saja ketika musim panen jambu mete, dari kabupaten lain datang bekerja untuk menjadi buruh, buruh pungut yang sehari hari bisa dikaji sampai 125.000. Bagaimana melihat saat itu?
Riza Salman: Sekarang? Berbuah saja sudah bersyukur karena debu dari pertambangan nikel itu itu merusak tanaman mereka menutupi lapisan daun, menghambat fotosintesis. Dan pembukaan hutan itu membuat burung burung dan serangga seperti lebah.
Lusia Arumingtyas: Serangga penyerbuk ya?
Riza Salman: Iya, itu sudah tidak ada, berpindah tempat.
Riza Salman: Dan yang paling parahnya adalah yang paling sulit dikembalikan adalah bagaimana kerusakan sosial. Hubungan sosial mereka yang dulu sangat erat terjadi perpecahan kubu yang pro dan kontra.
Riza Salman: Ada satu yang saya temui, satu keluarga, satu keluarga mereka mungkin bisa dikatakan masih saudara gitu kan. Yang dukung tambang menjual lahan tidak punya lahan. Dia menjual lahan sehingga tidak punya lahan. Keluarganya yang satu tidak mau jualan, dia tidak mau jual lahan. Asumsinya untuk bertani dan lain lain. Ketika yang sudah menjual lahan meninggal dunia,dia tidak memiliki tanah untuk dikubur. Yang keluarga satu nolak nggak mau.
Riza Salman: Yang kawin itu sifat untuk membantu orang yang perkawinan yang gotong royong itu kalau kudu yang pro akan dibantu sama sesama kubu yang pro. Itu sampai terjadi bayangkan itu kerusakan sosial yang sangat sulit dipulihkan.
Lusia Arumingtyas: Bahkan juga aku pernah baca juga apa kayak kalau misalnya mereka kan sebenarnya karena tidak ada air bersih lagi mereka mau nadah air hujan, tapi air hujannya itu sebenarnya tidak bisa buat dikonsumsi. Karena saking tercemarnya.
Riza Salman: Iya
Lusia Arumingtyas: Buat apa budidaya yang mereka lakukan di pesisir juga udah nggak bisa lagi gitu kan bang, kalau nggak salah saya baca.
Riza Salman: Iya, inilah yang dikatakan ketika kita melihat jauh lebih dalam sebenarnya ketika pulau dan pesisir di tambang. Mereka ini paling terdampak dengan perubahan iklim.
Riza Salman: Di mana curah hujan yang serba tidak pasti tidak bisa ditahu juga. Mereka juga sempat mempertanyakan sebenarnya air hujan yang kita minum ini seperti apa sekarang? Mereka meyakini juga dan dalam hati mereka ini bisa jadi tidak sehat bisa jadi sehat. Dan yang paling parahnya yang saya pernah temui di sana itu ini. Sebenarnya sih yang harus diperhatikan.
Riza Salman: Mereka yang terdampak di pertambangan yang terdampak negatif yang menerima dampaknya itu sampai sampai kehilangan kepercayaan secara politik terhadap pemerintah. Ini yang paling vital luar biasa mereka sampai yang macam macamlah. Argumentasi mereka melihat seperti itu.
Lusia Arumingtyas: Oke berarti sebenarnya tiping point ya, maksudnya tahun dimana Pulau Pulau Kecil mulai rusak dan juga kepercayaan kita terhadap pemerintah terkait yang dia memberikan izin itu di tahun 2019. Dimana PT GKP itu sebenarnya masuk gitu bang sebenarnya atau tahun lainnya sebenarnya?
Riza Salman: Sebenarnya ketidakpercayaan mereka kalau saya lihat adalah yang pertama bisa dikata kalau seolah olah apa ya, tidak ada tindakan nyata untuk melihat persoalan ini bagi masyarakat itu nyatanya sudah melanggar.
Riza Salman: Dan lagi lagi ketika berbicara lagi pencemaran ini juga masalah berbicara pencemaran selalunya harus ada indikator uji lab seperti apa. Sementara, dari akademisi yang kita wawancara berbicara pencemaran tidak harus pakai uji lab. Ketika dia sudah terjadi perubahan warna, perubahan rasa, terkontaminasi dengan zat itu juga kategori pencemaran. dan berikutnya uji uji sampel yang diambil itu tidak pernah terbuka ke publik apa sih hasilnya? Transparansi itu yang yang jadi permasalahan itu.
Riza Salman: Jadi kalau bagi mereka yang di Pulau Wawonii itu ada ungkapan yang sangat luar biasa bagi mereka. Apa ya, di kota itu yang memakai mobil listrik itu satu baterai listrik itu setara dengan lahan satu hektar cengkeh kami yang produktif yang bisa menghidupi beberapa turunan. Jadi ketika diambil untuk kebutuhan satu baterai mobil itu mengorbankan lintas generasi.
Lusia Arumingtyas: Padahal biasanya hasil cengkeh itu bisa buat pendidikan ataupun biasanya untuk apa saja sih bang? Kalau buat mereka sebetulnya.
Riza Salman: Bayangkan mbak bisa sampai sembilan lebih dari hasil panen pertama.
Lusia Arumingtyas: Berarti sebenarnya produksi nikel ini bisa memutus generasi juga bang ya?
Riza Salman: Bisa menciptakan kemiskinan, struktural dan kultural beberapa generasi ke depan. Yang jadi masalah sebenarnya yang sulit diukur dan kita juga punya instrumen untuk melihat persoalan ini dan mengukur ini menjadikan dasar untuk pelarangan tambang di pulau dan pesisir.
Lusia Arumingtyas: Bang Riza sendiri optimis nggak pemerintah punya hal itu sebetulnya?
Riza Salman: Kalau sejauh ini saya masih pesimis melihat persoalan ini. Karena selalunya itu berpihak pada investor.
Lusia Arumingtyas: Oke, benar. Apalagi kita melihat bagaimana kalau memang kebijakan hilirisasi kan sebenarnya modal utamanya tadi ternyata tidak ada juga transparansi, tidak ada isu isu lingkungan yang sebenarnya dibawa oleh pemerintah. Kalau memang serius ngomongin hilirisasi menjadi negara produsen terbesar nikel. Tapi bagaimana di lapangan ternyata malah merusak, kemudian juga berdampak bahkan kel intas generasi ke generasi. Bagaimana sebenarnya produksi cengkeh yang menjadi produktivitas utama mungkin dulu kita sempet bahasanya dijajah dengan rempah rempah kita tapi sekarang ternyata rempah rempah sudah nggak terlalu laku gitu ya jadi pindah ke nikel dan malah merusak hidupnya masyarakat disitu.
Riza Salman: Jadi dulu Nusantara ini kan dijajah karena dia tarik apa yang ada di atas tanah di Indonesia timur. Tetapi di era energi terbarukan itu dijajah dengan apa yang ada di bawah tanah di bawah pohon pohon rempah itu yang menjadi magnet besar.
Lusia Arumingtyas: Atau sebenarnya energi hijau itu yang kelihatan itu hijau di atas tapi bawahnya yang diambil.
Riza Salman: Iya, kompleks permasalahan nikel ini. Dalam salah satu peliputan saya juga di Konawe Utara, dimana penetapan ini adalah Kabupaten dengan jumlah IUP terbanyak. mungkin bisa dikatakan IUP terbanyak, puluhan di Indonesia. Kalau tidak salah 40an mungkin bisa dikoreksi. Itu masyarakat itu beranggapan begini mbak mengatakan, Mimpi kendaraan listrik adalah mimpi orang kota bukan mimpi kita. Itu nggak banyak
Lusia Arumingtyas: Bahkan di sana. Bahkan disana juga mungkin tidak tahu seperti apa bentuknya mobil listrik atau sebenarnya di sana juga sudah mulai banyak produk produksi mobil listrik di sana bang sebenernya?
Riza Salman: Ya mereka juga masih nggak mengerti tentang mobil listrik itu. Karena sejauh ini mereka tahu itu nikel itu untuk sendok di beberapa pesisir yang dan kita berbicara lagi tentang nikel, masyarakat pesisir.
Riza Salman: Kalau menurut saya meliput tentang isu hilirisasi nikel di sepanjang Pesisir Sulawesi Tenggara sampai Sulawesi Tengah Tengah dimana, Sulawesi Tenggara adalah deposit nikel terbesar urutan pertama di Indonesia dan Sulawesi Tengah yang kedua sebenarnya menurut saya itu. Apa ya, hilirisasi nikel itu adalah genocide bagi Suku Bajo.
Lusia Arumingtyas: Apalagi di Pulau Kabaena itu ya bang?
Riza Salman: Kabaena juga, Di mana pun pesisir Sulawesi. Sulawesi kan banyak orang Bajo. Karena kita adalah laut banda, laut banda memiliki keragaman hasil laut yang sangat luar biasa. Dan mereka orang Bajo ini adalah masyarakat global yang melokal. Jadi mereka berpindah pindah dengan satu tulip kecil ke mangrove ketika musim mencari lokasi yang teduh untuk menangkap.
Riza Salman: Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka dirumahkan di era di era Orde Baru. Mereka tidak punya kemampuan bertani. Ketika mereka berusaha beradaptasi di era sekarang, wah habis pesisir mereka. Jadi saya pernah meliput itu tentang manusia perahu terakhir yang menetap di suatu desa. Saya berusaha ikut dengan mereka berusaha migrasi mencari pulau kecil itu gagal juga karena sedimen sampai ke pulau kecil di luar.
Riza Salman: Jadi mereka istilahnya apa untung tak dapat Delay malah tak dapat ditolak. Akhirnya mereka kembali ke pesisir awal dimana pesisir awal itu
Riza Salman: Di dalam penelitian oleh salah satu guru kelautan Prof. Aslan di Universitas Haluoleo itu terbukti ada Kadmium. Mereka tidak punya pilihan jadi gimana mirisnya yang tadi ditanya apa yang paling miris itu? Yang paling miris itu adalah ketika saya melihat seorang anak hitam mungkin karena terpapar matahari, dekil cuma bisa makan nasi menunggu ayah dan kakeknya pulang melaut. Ketika ayah dan kakeknya pulang dari melaut itu idak ada tangkapan ikan cuma membawa kerang
Riza Salman: Dan kerang ini notabene hidup di sedimen yang merekam kandungan kadmium. Itu yang paling menyedihkan, ketika kita melihat anak anak hanya jajan kecap sachet yang kurus. Ngga tahu ngomong apa bingung jadinya.
Lusia Arumingtyas: Itu saat liputan dimana bang?
Riza Salman: Itu yang di Konawe Utara.
Lusia Arumingtyas: Memang mungkin itu menjadi salah satu momen dimana yang paling diingat terus sama bang Riza ketika memang meliput tentang nikel ini.
Riza Salman: Yang paling menyedihkan saya lihat adalah situasi sosial karena ketika orang tua mereka kehilangan ruang hidup itu gimana mau sekolah nggak mungkin ikut membantu orang tua tidak mungkin juga. Itu luar biasa.
Lusia Arumingtyas: Bang tadi kan sempat ngomongin tentang sedimentasi juga nih sebenarnya sedimen yang saat orang Bajo ini berpindah gitu. Ya mungkin ini juga tidak cuma orang Bajo ya, maksudnya nelayan di pesisir pun melakukan hal yang sama untuk mencari wilayah wilayah tangkap lainnya yang mungkin lebih memungkinkan. Nah, sedimentasi ini sebenarnya memang terbentuk dengan adanya produksi nikel atau sebelumnya dari krisis iklimnya itu sebenarnya sudah ada sedimentasi itu atau semakin diperparah dengan adanya produksi Nikel ini?
Riza Salman: Bukan diperparah oleh produksi nikel. Ya memang karena memang penambangan nikel penyumbangan sedimen
Lusia Arumingtyas: itu yang paling utama berarti ya?
Riza Salman: Iya, jadi yang dulu dikatakan laut adalah ibu bagi masyarakat pesisir yang oleh perempuan pesisir itu tidak perlu repot untuk mendapatkan sumber pakan ketika air surut ada namanya, meti mereka menangkap Habitat habitat di pesisir itu sudah nggak ada lagi.
Riza Salman: Bayangkan aja bagaimana menyaksikan sendok yang jatuh dari rumah Panggung ketika masuk ke sedimen lumpur itu nggak ada yang berani ambil karena itu sudah sampai satu meter, sedalam itu.
Lusia Arumingtyas: Oke Bang ngomongin tentang sedimentasi, kemaren menteri Bahlil ini ngomong kalau misalnya nggak ada tuh namanya sedimentasi di Pulau Gag yang sudah dibongkar itu ya. Apakah sebenarnya dan juga ada anggapan bahwasanya itu kan lumayan agak jauh sama wilayah pariwisata Raja Ampat yang mungkin masyarakat secara umum mungkin lebih mengenal wilayah wilayah yang sebenarnya pariwisata utama. Apa benar ketika ditambang di Pulau Gag, di KW, ataupun Manuran, dan juga pulau Batang, Mayaifun sedimentasinya gak bakal bisa kemana mana atau seperti apa nih bang?
Riza Salman: Wah ini.
Lusia Arumingtyas: Mungkin bisa diceritakan bagaimana ketika di Pulau Wawonii, di tambang, ataupun di wilayah lainnya dan sejauh apa sebenarnya sedimentasi yang terjadi?
Riza Salman: Pertanyaan pertama, mungkin menteri kita ini perlu dipertanyakan lokasi mana yang dikunjungi. Itu yang pertama kan? Kalau dari pengalaman saya bahkan ada desa yang jauh dari tambang nikel itu terdampak juga. Kita berbicara sedimen, anggap kayak Raja Ampat yang sekitar kurang lebih berapa 30 Km dari Piaynimo yang pusat wisata itu.
Lusia Arumingtyas: Iya betul.
Riza Salman: Saya pernah meliput sekitar Oktober, tahun 2024 itu. Liputan ini tentang cumi cumi saja, bagaimana si cumi cumi di laut Banda dimana sampelnya itu adalah di Banggai. Banggai itu di Sulawesi Tengah, Kabupaten Banggai.
Riza Salman: Jadi setnya itu di Banggai laut di Banggai laut itu ada satu pulau di satu titik itu di perantarai bagian utaranya Halmahera yang ditambang dan di bagian selatan itu Sulawesi Tenggara yang perlu dengan tambang. Jadi di sana itu nelayan itu mengeluhkan terjadi penurunan penurunan populasi gurita yang mungkin disebabkan karena satu, perubahan iklim suhu panas yang tinggi itu akan berpengaruh pada perkembangan gurita.
Riza Salman: Yang berikutnya, yang membuat mereka heran dalam beberapa tahun terakhir ketika musim, saya lupa musim angin apa yang dari utara membawa arus mendorong arus ke selatan itu. Lautnya keruh yang mereka tidak jumpai dari zaman dulu. Ketika pergerakan arus dari selatan naik ke utara itu keruh lagi. Jadi bayangkan 6 bulan mereka dapat keruh dari utara 6 bulan mereka dapat keruh dari selatan.
Riza Salman: Ketika musim, saya lupa musim angin apa yang dari utara membawa arus mendorong arus ke selatan itu. Lautnya keruh yang mereka tidak jumpai dari zaman dulu. Ketika pergerakan arus dari selatan naik ke utara itu keruh lagi. Jadi bayangkan 6 bulan mereka dapat keruh dari utara 6 bulan mereka dapat keruh dari selatan.
Riza Salman: Dan itu, bagi mereka, menurut mereka keruhnya itu semacam ini sedimen dan itu berpengaruh pada tangkapan mereka. Jadi ketika kita berbicara jangankan yang 30 Km yang rautsan kilometer aja itu terbawa arus juga berpengaruh kepada mereka. Dan saya tinggal di kampung itu beberapa hari untuk melakukan peliputan, dan saya saksikan dengan mata kepala sendiri mereka menunjuk. Ini adalah arus yang jalan di antara pulau dan mereka terdampak.
Riza Salman: Dan ketika saya bertanya kira kira menurut bapak itu apa? ya mereka cuma mengaitkan saja tentang menghitung dari periode waktu beroperasinya itu dari sekitar tahun berapamungkin sebelum 2020 ya. Tapi paling terasa itu dua tahun terakhir, dua tahun terakhir ketika ada arus gelombang besar El nino atau El nina itu yang itu mereka itu sangat terasa ada sedimen yang, yang oleh masyarakat nelayan setempat yang tumbuh dan besar di situ sedimen itu muncul di beberapa tahun terakhir.
Lusia Arumingtyas: Berarti sebenarnya kita tidak bisa bilang juga kalau misalnya menteri bahlil salah, tapi kita sebenarnya sudah ada bukti di wilayah lain. Yang sebetulnya memang jaraknya itu sangatlah jauh. di mana itu di laut Banda dan itu kalau temen temen bisa kita tarik ya itu memang jauhnya bahkan lebih dari 30 Km. Padahal 30 Km kan dekat banget kalau kalau aku yang di Bekasi mungkin itu cuma ke Jakarta doang gitu yang sangat dekat kalau menurutku.
Lusia Arumingtyas: Oke bang. Nah bentar kita minum dulu break dulu. Mungkin bentar kayak aku cek lagi. Oke kita mungkin udah mau.
Riza Salman: Ini mbak menarik, membahas tentang kondisi geografis peran pentingnya Laut Bandai tidak boleh rusak. Ini kan, dari tiga titik tadi Sulawesi, Maluku Utara dengan Papua ini kan segitiga yang mendukung zona perikanan kita. Itu yang paling parah itu kalau dibahas.
Lusia Arumingtyas: Bener bener apalagi Laut Banda yang bener bener lagi dijaga banget ga sih bang?
Riza Salman: Iya Mbak.
Lusia Arumingtyas: Belum sama sekali nggak sih bang atau sudah mulai terancam?
Riza Salman: Iya bisa kita mulai dari situ untuk untuk
Riza Salman: hah.
Lusia Arumingtyas: Oke deh. Hmm.
Lusia Arumingtyas: Selain ngomongin tentang sedimentasi yang jaraknya cuma 30 Km yang tidak ada sedimentasi sama sekali ini kan juga banyak sebenarnya obrolan obrolan di twitter ataupun menteri bahlil juga bilang ini nih asing nih yang menggagalkan terkait apa hilirisasi nikel apa kayak gitu bang? Atau siapa sih sebenarnya otak dari keributan semua ini sebetulnya? selatan mungkin mungkin melihat selama ini liputan itu sebenarnya bagaimana ini permasalahannya?
Riza Salman: Kalau saya melihat persoalan ini kan menteri kita terlalu jauh melihat persoalan geopolitik sampai dibawa ke geopolitik. Tapi saya mengambil sebuah analogi yang sederhana ketika saya melihat persoalan di lapangan dan kita mengonfirmasi ke berbagai pihak terkenakan masalah ini ada dua. kalau kita mengenali masalah kan ibarat perahu saya ngomong tentang pesisir yang terdampak kalau orang pesisir itu bilang kalau dua perahu yang akan bertabrakan lebih mudah dikendalikan atau diatur ibaratnya atau dua perahu yang akan bertengkar nelayan itu lebih mudah diatur dibanding dua nelayan yang berada di satu perahu itu mendayung ke arah yang berbeda.
Lusia Arumingtyas: Paham paham jadi memang agak tolak menolak gitu maksudnya.
Riza Salman: Iya begitu karena bisa jadi kita kan bisa lihat sebenarnya apa bisa dikata tidak terlihat tapi terasa. Konflik kepentingan itu sangat sangat besar dan lagi lagi produk undang undang kita yang lebih berpihak pada investor bukan pada masyarakat atau kelompok termarginalkan. Padahal yang harus dipikirkan kalau menurut saya dari pengalaman pengalaman melihat peliputan setiap produk politik yang lahir di negara kita itu cuma dua dampaknya. Selalu saya lihat yang paling merasakan dampaknya, mau produk politik apapun itu. Tingkat daerah sampai tingkat desa yang pertama yang paling merasakan dampaknya itu adalah lingkungan sekitarnya atau lingkungan.
Riza Salman: Yang kedua yang paling merasakan dampaknya itu lagi lagi adalah perempuan karena perempuan adalah pemegang terakhir uang di rumah tangga. yang paling merasakan itu dan tekanan itu sangat berdampak pada perempuan. Jadi menurut saya, undang undang yang belakangan ini lahir yang berpihak pada investor itu sangat diskriminatif terhadap kelompok perempuan.
Lusia Arumingtyas: Bahkan bicara uang ini dalam artian adalah sebenarnya lumbung pangan mereka dimana mereka ketika misalnya tadi cerita saat di Konawe tidak ada sama sekali ikan yang bisa ditangkap oleh kakek dan ayahnya pasti ibunya akan bingung harus seperti apa makanan untuk hari ini bahkan untuk besok pagi saja masih bingung.
Riza Salman: Jadi seandainya apa ya, lebih dicermati di lokasi lokasi site yang terdampak tambang perempuan itu paling rentan gali lobang tutup lobang mengutang pada koperasi.
Riza Salman: Itu, kenyataan yang saya temui begitu itu sangat wah jadi mereka terperangkap dalam skema skema selain koperasi, juga mungkin hutang begitu ke tempat tempat yang lain jadi sangat membingungkan mereka karena yang paling miris dari perempuan itu yang pernah saya temui itu mengatakan begini saya bukan permasalahan uang pak. tapi masa depan anak saya, masa depan anak saya kesehatan dan pendidikan yang saya pikir tapi ketika dia menunjuk anak perempuannya bagaimana dengan yang menjadi ibu rumah tangga saya saja yang masih sempat merasakan inilah seperti surga beralih begini, sudah luar biasa stresnya bagaimana dengan dia yang sudah tidak sekolah Itu kan sangat miris.
Lusia Arumingtyas: Nah kira kira bang apa imajinasi, bukan imajinasi bayangan yang mungkin Bang Riza bisa berikan ke kita ketika misalnya Pulau Raja ampat itu jadi ada tambang nikel gitu. Melihat sebenarnya kita udah punya cerita cerita yang saat kita liputan ataupun pendengar yang mungkin memang sudah membaca Mongabay Indonesia, gitu. Nah, Apa yang, bayangan kita lah bang bayangan bang Riza nih, ketika memang Raja Ampat itu benar benar udah karena emang udah ada izinkannya ini udah keluar gitu. Kan sebenarnya tinggal menunggu aja netizen
Riza Salman: Udah digali tanahnya
Lusia Arumingtyas: Sudah digali bahkan itu baru satu sedangkan lain kan sudah ada caplokan caplokan izin yang sebenarnya sudah keluar tinggal netizen mungkin agak sedikit mereda dia menggali lagi. Apalagi lumayan jauh nah, itu. apa imajinasi yang Bang Riza bisa berikan agar kita juga kebayang gitu. Sebenarnya ketika itu ada Tambang di Raja Ampat.
Riza Salman: Ini yang paling menarik mengingat concern saya juga berbicara tentang kelautan dan perubahan iklim di kawasan laut Banda beberapa tahun terakhir Yang tergambar di saya itu begini. Kan Laut Banda ini kan apa sekitar Laut Banda Sulawesi kan bisa dikatakan apa pusat jantungnya segitiga karang dunia kan?
Riza Salman: Tetapi dengan ditambangnya Raja Ampat, itu jantung karang dunia itu terhimpit oleh segitiga perkembangan nikel. Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua
Riza Salman: Jadi kita bisa Bayangkan bagaimana terhimpit laut Banda yang kaya. Sumber tuna, sumber protein, yang bisa dikatakan sumber protein bukan cuma untuk Indonesia Timur kan untuk bisa dikirim ke mana mana itu terancam. Pikiran itu terbayang ketika saya mengingat saya mendatangi Banggai. Banggai laut dan Banggai kepulauan. Saya keliling itu beberapa pulau Banggai yang untuk meliput mulai itu dan semua cerita mereka sama beberapa tahun terakhir itu kita bingung melihat ini tanah dari mana?
Riza Salman: Kurang lebih seperti itu jadi ancaman besar dan ketika berbicara ancaman rusaknya Laut Banda itu akan berdampak pada apa yang menyumbang krisis iklim malah. Itu yang jadi pertanyaan, sebenarnya bagaimana sih komitmen pemerintah kita berbicara tentang perubahan iklim itu?
Lusia Arumingtyas: Mungkin kita tidak cuma bicara tentang Raja Ampat sebagai surga yang tersembunyi. Tapi kita harus bicara lebih pada bagaimana segitiga terumbu karang dunia ini ternyata semakin terancam dengan segitiga Nikel.
Riza Salman: Pokoknya jangan sampai aneh aneh. Dulu dibilang surga bawah laut sekarang jadi neraka dibawah laut.
Lusia Arumingtyas: Bener bener udah kita nggak punya lagi apa, apa, surga di bawah laut yang bener bener surga. Bahkan kita sama sekali nggak liat apa apa di bawah
Riza Salman: Dan masyarakat kan belum siap. Jadi pertanyaan ini ketika berbicara maksudnya pertambangan nikel di pesisir itu seolah olah terabaikan pertanyaan apakah masyarakat sudah siap menerima perubahan lingkungan yang akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial mereka.
Riza Salman: Itu yang jawaban ini, saya juga belum pernah dapat sampai sekarang bahkan. Banyak pertambangan itu masuk tidak melewati proses sosialisasi yang awalnya.
Lusia Arumingtyas: Bang Riza mungkin bisa dijelasin. Kenapa sih kok bisa ada izin izin tambang nikel di wilayah Raja Ampat. Sebetulnya.
“Riza Salman: Oke, saya mengambil contoh yang terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Karena ini menjadi pertanyaan menurut saya kenapa bisa terbit izin karena perizinan itu memakai batas administratif. Misal kayak Kabaena itu kan kecamatan bukan ditulis pulau, tidak ditulis pulau jadi IUPnya di kecamatan ini. Jadi perizinannya memang bukan pulau, itu dia jadi permasalahan kenapa pulau-pulau kecil bisa ditambang.
Jadi itu harus memang butuh pendalaman dan perlu disuarakan banyak pihak mengenai produk politik, tentang kata ‘pulau’ dan batas administratif.”
Pulau Kabaena ada dua kabupaten, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton. Hal ini jadi pertanyaan perizinannya bukan atas nama Pulau tapi wilayah admiinistratif. Ini dia yang jadi permasalahan dan saya yakin dan menurut saya terjadi, Raja Ampat, itu pasti berdasarkan Presiden itu memakai awilayah legislatif. Bukan disebut sebagai pulau.
Lusia Arumingtyas: Oke, tapi kan sebenarnya di Pulau Raja Ampat kan sebenarnya juga mereka adalah hutan lindung wilayah konservasi
Lusia Arumingtyas: nah, kenapa bisa keluar izin
Lusia Arumingtyas: apa pertambangan di atas lahan konservasi ataukah memang kejadiannya sama karena dia adalah kecamatan dan kecamatan tersebut mungkin tidak dianggap sebagai wilayah konservasi jadi udah dikeluarkan saja.
“Riza Salman: Memang ini perlu penyelidikan lanjutnya terhadap kepala daerahnya seperti itu, tapi harus di tarik dari tahun ke belakang melihat persoalan itu. Kenapa terbit? Apakah dia masih ada serangkaian dari tahun tahun sebelumnya? Di era tahun 2012, yang pasti itu tidak jauh dari ketika kewenangan pengelolaan sumber daya energi ditarik pusat. Jadi masih erat kaitannya dari otonomi daerah ke pusat hingga hilirisasi nikel hari ini.
Yang jadi pertanyaan kan transparansi lagi, transparansi lagi. Ini persoalan”
Lusia Arumingtyas: Oke, siap berarti sebenarnya ini belum ada nih liputannya di mongbaba terkini. mungkin juga bisa menuliskannya bagaimana bagaimana sebenarnya tiba tiba keluar aja nih begitu saja dar der dor izin izin raja Ampat. Muncul di beberapa pulau. Tapi mungkin salah satu kuncinya adalah yang tadi bang Riza sebutkan bahwasanya. izin keluar berdasarkan kecamatan itu sendiri itu yang membuat mungkin.
Riza Salman: Administratif yang dipakai kan bukan atas nama pulau.
Lusia Arumingtyas: Oke
Lusia Arumingtyas: Oke, mungkin itu cerita tentang bagaimana sih sebenarnya pulau pulau kecil yang tereksploitasi oleh tambang tambang, tidak cuma tambang nikel sebenarnya tambang batubara, ataupun industri ekstraktif lainnya yang tumbuh besar di Indonesia, tapi minim adanya pengawasan transparansi bahkan standar lingkungan itu tidak ada sama sekali.
Lusia Arumingtyas: Nah, mungkin bang Riza bisa cerita bang kalau dari segi perspektif jurnalis yang meliput tentang isu lingkungan di wilayah wilayah tambang, apa sih yang perlu kita tantangannya seperti apa mungkin di sini banyak pendengar juga yang tertarik untuk menulis isu lingkungan, ataupun mungkin bercita cita untuk menjadi jurnalis lingkungan. Apa yang perlu kita apa bekali gitu, apa yang perlu kita cermati ketika memang kita melihat isu lingkungan ini.
Riza Salman: Yang paling pertama itu mencermati itu adalah bagaimana kita melihat dari kacamata global dulu. Jadi kita melihat konteks lokal yang akan kita liput itu dari kacamata global. Karena yang harus kita pertimbangkan adalah sejauh mana tulisan yang kita layarkan dari peliputan itu atau reportasi itu menjangkau masyarakat global.
Riza Salman: Begitu, jadi bagaimana isu lokal yang kita temui itu lintas apa ya apa ibaratnya mempengaruhi lah opini publik lintas geopolitik begitu yang paling penting kan begitu. Habis itu ketika kita berbicara lagi tentang lingkungan yang paling penting itu adalah kita mencermati. misalnya kita mau meliput apa nih tentang kerusakan lingkungan tambang. Setidaknya kita mencermati dari poin produk politik yang dibuat oleh negara undang undang gitu.
Riza Salman: Karena lagi lagi kita harus berbicara tataran Demokrasi kan dari oleh dan untuk rakyat, apakah berpihak kepada mereka? Dan kita harus mengakomodir hak hak mereka hak hak yang terdampak itu. Dalam artian hak hak yang kita lihat hak politik mereka. Apakah suara mereka terdengarkan? apakah terjamin? itu yang paling penting. Jadi yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita memperjuangkan hak hak politik mereka.
Riza Salman: Aa yang dan yang paling penting adalah itu jangan takut nginap berlama lama di bersama masyarakat, istilahnya kita.
Lusia Arumingtyas: Betul, harus sebenarnya ya bang.
Riza Salman: Iya karena yang paling penting dalam sebuah peliputan, berbicara soal etnografi. Terkadang kita butuh berlama lama kepada mereka untuk memahami apa sih yang mereka rasakan? Pemahaman kan tidak bisa dalam hitungan jam. Kita bisa melihat ini ada rutinitas ibu ini, oh ada si bapak ini, oh ada si anak ini, oh ada perkebunan ini. Jadi kita harus mendapatkan secara komprehensif untuk melihat persoalan itu. Itu yang paling penting sehingga kita menyajikan itu adalah orang memahami kata mengapa itu bisa terjadi. Seperti itu.
Lusia Arumingtyas: Bener jadi sebenarnya apa yang sebenarnya media tuliskan bukan suara suara antek asing gitu. Tapi memang ini suara suara dari masyarakat yang memang terdampak dari perilaku murka dari sebenarnya dari negara ataupun kita bisa sebut mereka adalah oligarki.
Lusia Arumingtyas: Nah, mungkin nih bang kan banyak sebenarnya narasi narasi terkait kita mau bersuara nikel tapi lu masih pakai sendok garpu ataupun lainnya. Tapi kan sebenarnya kita juga kadang bukan yang artian kita makan pakai pakai tangan terus. Narasi narasi yang sering dibentuk ataupun dibenturkan antar warga sipil ya, nah bisa nggak sih bang? Mungkin bisa kasih satu pesan gitu. Buat publik yang mungkin lagi mendengarkan ini kenapa sih kita harus ikut bersuara Save Raja Ampat ataupun lebih tepatnya mungkin kita ga cuma bicara Raja Ampat, banyak pulau pulau kecil lainnya yang tidak ada suaranya, maksudnya tidak ada tempat untuk terus disuarakan yang itu menjadi hal yang penting banget, kira kira silakan bang.
Riza Salman: Saya yang paling penting adalah ketika kita berbicara Pulau Pulau kenapa harus diselamatkan karena sepengetahuan saya, kita kan jurnalis ya lebih banyak mengutip atau memahami perkataan para pakar ilmu pengetahuan. Karena pulau pulau itu adalah satelit bagi darat.
Riza Salman: Jadi satelit ini adalah tempatnya biodiversitas, penyangga, dan ini yang paling penting harus diselamatkan. Coba bayangkan saja kalau pulau pulau kecil itu semua ditambangkan bagaimana kondisi karang kita yang katanya penyumbang oksigen. Itu akan menjadi masalah yang pertama yang berikutnya. Ketika kita gagal menyuarakan tentang pulau itu pasti akan gagal juga kita menyuarakan tentang daratan yang dieksploitasi habis habisan.
Riza Salman: Begitu, karena kenapa pulau saja tidak bisa diperjuangkan itu yang menjadi masalah jika sudah diperjuangkan. Ya kita memang harus bersuara dengan cara yang benar. Bagaimana untuk menyurahkan itu. Karena gimana ya? Bayangkan saja belum selesai persoalan Pulau, di persoalan Darat program sawit, program hilirisasi nikel. Aa semua belum lagi muncul lagi narasi tandingan menjemput apa kendaraan listrik, yang bayar.
Riza Salman: Iya, berbicara kendaraan listrik kan kalau gimana negara kita nih. Mungkin kita tidak perlu kendaraan listrik yang perlu dibenahi tata kelola transportasi kita saja.
Lusia Arumingtyas: Betul banget sih. sebenarnya transportasi publik kita bahkan siapa kota apa sih sebenarnya yang oke, sebenarnya transportasi publiknya selain Jakarta. Maksudnya Jakarta lebih mending dibandingkan wilayah wilayah lainnya yang mungkin yang pernah aku datengin ya. Mungkin ada wilayah lainnya juga lebih oke, mungkin teman teman.
Riza Salman: Iya
Lusia Arumingtyas: pendengar bisa cerita juga sih.
Lusia Arumingtyas: Oke, mungkin itu tadi pertanyaan terakhir dari aku bang. Kira kira Bang Riza mau menambahkan statement tambahan kah untuk berbicara tentang bagaimana pulau pulau kecil ini memang perlu diselamatkan atau sudah cukup?
Riza Salman: Yang paling penting adalah bagaimana pulau pulau itu dilihat sebagai apa ya. Pulau itu dilihat sebagai ciptaan Tuhan ya. Yang namanya diciptakan oleh Tuhan tidak bisa diciptakan ulang oleh manusia secara fungsi secara apapun.
Riza Salman: Karena ketika pulau pulau ditambang, seperti yang saya ceritakan tadi di pesisir Sulawesi Utara, yang menurut saya ibaratnya itu genocide bagi orang Suku Bajo kan. Ketika di Pulau sudah habis itu akan mengancam juga kerusakan dan permasalahan sosial di darat. Itulah mengapa harus mengentikan pulau pulau ditambang.
Lusia Arumingtyas: Oke Terima kasih Bang Rizal atas waktunya pada hari ini untuk bercerita tentang bagaimana sebenarnya tambang nikel di pulau pulau kecil memang terus kita harus suarakan.
Lusia Arumingtyas: Oke, aku closing ya wait.
Lusia Arumingtyas: Cerita hari ini tentang tambang nikel di pulau pulau kecil mungkin jauh dari layar ponsel kita. Meskipun sebenarnya dekat karena di ponsel kita pun ada nikelnya. Tapi dampaknya sebenarnya nyata bagaimana alam dan juga masyarakat yang berada di wilayah sana juga terdampak secara langsung. Nah, sekarang kita
Lusia Arumingtyas: salah lagi ulangin wait wait.
Lusia Arumingtyas: Cerita hari ini tentang Tambang Nikel di pulau pulau kecil mungkin jauh dari ponsel kita sehari hari. Meskipun sebetulnya satu ponsel kita juga mengandung nikel yang menjadi salah satu aksesoris di dalamnya. Tapi sebetulnya ini menjadi dampak nyata bagi alam dan juga masyarakat yang tinggal di sana.
Lusia Arumingtyas: Sekarang giliran kita untuk terus berisik karena suara kamu penting untuk bicara tentang Raja Ampat tentang pulau pulau kecil di wilayah Indonesia yang sebenarnya menghadapi ancaman dari Tambang Nikel itu sendiri. Saya Lusia Arumingtyas sampai jumpa di episode selanjutnya tetap jaga alam jaga suara
Lusia Arumingtyas: okay.
Lusia Arumingtyas: Terima kasih bang Riza. Oke ini. Oke banget sih. Ceritanya seru.
Riza Salman: Iya mbak, sudah itu, kayaknya si Bahlil itu tidak tahu lapangan itu.
Lusia Arumingtyas: Iyalah dia ini helikopter turun dimana sih gue bingung.
Riza Salman: Iya makanya tadi, Mbak ngomongin itu perspektif yang belum pernah dipahami orang tentang segitiga karang itu karena rancangan besar kan itu kalau rusak karangya kita mbak itu mempengaruhi bleaching.