- Implementasi asuransi pertanian belum maksimal. Beberapa petani yang terbantu tidak bisa lagi merasakan program ini karena anggaran yang pemerintah pusat pangkas. Sisi lain, ada juga yang kapok karena proses pencairannya berbelit dan lambat.
- Namun, animo yang tinggi itu harus kandas karena kuota subsidi program ini di Yogyakarta nihil pada 2025. Tanpa program ini, petani harus mengurus sendiri asuransi pertanian mereka mulai dari pendaftaran, pemenuhan syarat, pembayaran premi, hingga proses klaimnya.
- Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY menyebut AUTP kembali tidak akan ada pada 2026. Dia terima keterangan itu setelah mendapat pengumuman kuota program ini dari Kementan.
- Zubaidah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut, menyebut, para petani gelisah karena program perlindungan dari pemerintah belum sempat mereka rasakan. Padahal, AUTP ini memiliki semangat perlindungan, tetapi sosialisasi masih minim.
Asuransi pertanian belum juga berjalan maksimal tetapi sudah terdampak ‘efesiensi’ anggaran pemerintah. Tak pelak, para petani yang sempat mendapatkan asuransi pun tidak bisa lagi merasakan program ini karena pemangkasan anggaran oleh pemerintah pusat ini. Meski begitu, dalam pelaksanaan di lapangan, ada yang mengeluhkan proses pencairan berbelit dan lambat.
Ngadirin, petani di Kalurahan Ngetakrejo, Kapnewon Lendah, Yogyakarta, yang merasakan manfaat program ini. Gagal panen tahun lalu tak membuat pria dari Kulon Progo itu merugi. Sebaliknya, dia balik modal karena asuransi pertanian memberikan klaim pertanggungan.
Kekeringan membuat padi yang dia tanam di sawah seluas 1.000 meter persegi mati. Padahal, saat itu masih Januari, dengan prediksi hujan akan deras bakal mengguyur lahannya.
“Sampai Februari 2024 enggak hujan. Akhirnya, tanaman mati. Kami gagal panen,” katanya.
Dia lantas melapor ke petugas penyuluh pertanian, lalu lanjut ke Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulon Progo. Selang beberapa hari, pegawai yang menerima laporan menelpon dan melarang dia mengolah lahan serta menanam ulang yang kena puso.
Bahkan, tidak boleh membersihkan batang jerami dan akar padi yang gagal panen. Permintaan itu bagian dari proses verifikasi klaim asuransi yang dia ikuti.
“Jika dilanggar terancam tidak dapat uang klaim, saya juga diminta meneruskan informasi itu ke puluhan petani lain di sini.”
Sebagai Ketua Kelompok Tani Ngudi Rahayu, Ngadirin langsung menyebarkan informasi itu kepada 60 anggotanya. Beragam respons dia terima, ada yang mematuhi tetapi lebih banyak yang menolak.
Akibatnya, dari 10 hektar lahan yang ikut Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) Kementerian Pertanian (Kementan), yang lolos verifikasi gagal panen hanya empat hektar.
“Karena banyak yang lahannya setelah gagal panen itu langsung diolah, jadi enggak dianggap tidak ada buktinya. Dari empat hektar itu yang dapat sekitar 29 petani.”
Ngadirin dapat Rp600.000 dari program itu. Baginya, sudah sangat terbantu karena hanya membayar Rp3.600 untuk premi AUTP. Dia pun terhindar dari utang untuk modal bertani di musim selanjutnya.
Premi kecil yang dia bayar itu karena subsidi Kementan hingga 80%. Tanpa itu, nilai premi yang harus petani bayar Rp180.000 untuk tiap hektar lahan yang asuransi lindungi. Sedangkan besaran klaim yang terbayarkan jika gagal panen adalah Rp6 juta per hektar.
Sejak itu, minat petani di Ngentakrejo ikut AUTP meningkat. Meski verifikasi gagal panen lama dan pembayaran klaim baru terlaksana pada November 2024.
“Program ini menyadarkan kami bahwa ternyata ada cara mengantisipasi kerugian gagal panen dan terbukti jika mengikuti syarat dan ketentuannya.”
Animo yang tinggi itu harus kandas karena kuota subsidi program ini di Yogyakarta nihil pada 2025. Tanpa program ini, petani harus mengurus sendiri asuransi pertanian mereka mulai dari pendaftaran, pemenuhan syarat, pembayaran premi, hingga proses klaimnya.
Ngadirin tidak pernah tahu cara-cara itu. “Bagi kami proses mandiri untuk asuransi pertanian ini ribet, kalau dulu semua diurus petugas penyuluh. Jadi kami sekarang enggak pakai program itu lagi, padahal pingin juga karena penting dan melindungi.”
Tren utang meningkat
Peningkatan gagal panen di Ngentakrejo, turut memunculkan tren petani yang berutang. Pinjaman itu mereka pakai untuk modal menanam karena musim sebelumnya tak dapat keuntungan. Upaya gali lubang tutup lubang itu terpaksa petani lakukan untuk bertahan hidup.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Ngudi Makmur di Ngentakrejo yang memiliki delapan kelompok sampai memfasilitasi pinjaman itu dengan program pengemangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP).
Parman, pengurus Gapoktan Ngudi Makmur menyebut maksimal pinjaman lewat PUAP Rp2 juta.
“Bunganya dibikin kecil tapi dipastikan dapat terbayar agar bisa jadi modal yang berputar, supaya mengantisipasi rentenir juga karena kasihan kalau sampai terjebak.”
Tren peningkatan utang petani, katanya, terjadi empat tahun terakhir. Dia menandai fenomena itu dengan kejadian gagal panen akibat banjir pada 2021. Banjir itu menyebabkan seluruh sawah terendam parah dan puso masal.
Sejak itu, penyebabnya makin beragam. Mulai dari hama yang jenisnya juga variatif hingga cuaca buruk terutama kekeringan atau banjir.
“Tiap tahun ada petani yang terdampak, tapi tidak menyeluruh. Mulai menyeluruh lagi itu tahun lalu karena kekeringan.”
Selain PUAP, petani yang gagal panen dan butuh modal untuk musim tanam berikutnya juga dapat mengakses utang di badan usaha milik desa (Bumdes). Dia bilang, tren pinjaman di lembaga itu juga meningkat dengan nominal yang lebih besar.
Kehadiran AUTP, menurut Parman, dapat meminimalisir fenomena utang petani itu.
“Terbukti juga kemarin saat gagal panen lalu asuransi itu memberikan klaimnya lalu petani yang ambil pinjaman jumlahnya turun, sayangnya malah berhenti.”
Kondisi serupa terjadi di Sleman. Nominal utang bahkan mencapai Rp50 juta, seperti yang Herman JP Maryanto, petani di Kalurahan Sendangarum, Kapanewon Minggir, alami.
Dia menyebut, utang besar itu karena dua kali gagal panen. Pertama, karena serangan tikus di sawahnya. Kedua, karena kekeringan akibat saluran irigasi yang tertutup.
“Bagi saya nominal Rp50 juta bukan uang yang sedikit, tapi bagaimana lagi kondisinya begitu?”
Dia baru tahu soal AUTP setahun terakhir. Koordinator Aliansi Petani Sleman ini pernah berupaya mendapatkannya dengan mendatangi Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan (DP3), DPRD, dan Bupati Sleman.
Upayanya masih nihil karena tak ada kuota. Padahal, pemerintah daerah dengan anggarannya memiliki kewajiban serupa hingga tidak tergantung Kementan dan APBN.
Peraturan Daerah (Perda) DIY 11/2020 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyebut, asuransi pertanian sebagai bagian upaya perlindungan petani yang jadi kewenangan pemerintah provinsi.
Bahkan, Peraturan Gubernur Yogyakarta 126/2021 yang jadi petunjuk teknis perda itu menerangkan, keuangan daerah membantu pembayaran premi itu.
Maryanto kecewa karena kebijakan ini belum terimplementasikan. Kondisi ini membuktikan pengabaian pada petani seperti selama ini.
“Ini yang disebut petani menangis di negeri agraris, selama ini berjuang sendirian tidak pernah diperhatikan hak-haknya.”

2026 tak ada kuota
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Yogyakarta mengatakan, AUTP kembali tak akan ada pada 2026. Dia terima keterangan itu setelah mendapat pengumuman kuota program ini dari Kementan.
Andi Nawa Candra, Kepala Bidang Tanaman Pangan DPKP DIY menyebut akan mengupayakan kuota AUTP.
“Akan kami upayakan dengan negosiasi, tapi memang penentuan ini sepenuhnya kewenangan pusat.”
Kementan, katanya, menaruh prioritas pada program lain. “Kecenderungannya anggaran yang ada ini diarahkan ke program swasembada di luar Jawa, terutama cetak sawah.”
Dia pun tidak bisa mengadakan program subsidi pertanian mandiri, meski sudah ada dasar hukum dalam Perda Yogyakarta 11/2020. Anggaran yang terbatas jadi alasan utama.
“Terutama karena ada pemangkasan dan efisiensi dari pusat. Meski, kami pandang AUTP ini penting.”
Untungnya, Serikat Petani Indonesia (SPI) Yogyakarta berencana bikin asuransi mandiri dengan mengandalkan jerami sebagai sumber anggarannya.
Jerami hasil panen padi memiliki nilai ekonomi Rp200 per kilogramnya. Lahan seluas 1.000 meter persegi dapat menghasilkan 1.200 kilogram, artinya menghasilkan Rp240.000.
“Itu berdasarkan kajian kami, sekarang sedang dilakukan upaya pendataan dan mencari lokasi penyimpanan dan pengolahan jerami itu,” kata, Qomarun Najmi, pengurus SPI Yogyakarta.
Dia bilang, inisasi ini muncul karena program AUTP mengalami penurunan kuota secara nasional.
“Tidak hanya di Yogyakarta, daerah lain juga mengalaminya. Sehingga kami mencoba cari solusi,” kata pendiri Sekolah Tani Muda itu.
Melalui penjualan jerami yang bisa jadi pupuk kompos itu, katanya, petani tak perlu membayar premi. Bahkan masih menyisakan Rp60.000 yang bisa mereka gunakan untuk membayar BPJS Ketenagakerjaan agar petani terjamin asuransinya.
Masalahnya, perlindungan petani sebagai pekerja masih minim padahal mereka punya risiko seperti yang lain.
“Kami juga mendorong itu karena sama pentingnya dengan perlindungan terhadap tanamannya.”

Peraturan yang ribet
Cerita berbeda datang dari petani Desa Karang Gading, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Mereka tidak simpatik dan memilih tidak lagi ikut asuransi pertanian karena peraturan ribet bahkan saat pencairan klaim.
Padahal, sejak pemerintah memperkenalkan program asuransi pertanian dan peternakan pada 2019 melalui kerja sama dengan PT Jasindo, banyak petani yang menyambut antusias.
“Bayarnya murah, ternak disubsidi pemerintah, jadi cuma Rp50.000 per ekor (ternak). Kalau mati dapat Rp10 juta, kalau sakit Rp5 juta. Untuk tanaman pangan, ganti rugi Rp6 juta per hektar,” ucap Rahmad, Ketua Kelompok Tani Setia Tani.
Sekitar 80% penduduk desa yang berjumlah 3.000 keluarga sebagai petani, 70% juga memelihara sapi atau kambing dan sebagian lainnya nelayan. Seluruh petani, katanya, ikut asuransi.
“Ada 4 kelompok untuk tanaman pangan, dan 2 untuk ternak sapi.”
Skemanya sederhana. Pembayaran asuransi pertanian per enam bulan, mengikuti dua kali masa tanam padi. Untuk ternak setahun sekali, pemerintah menanggung sebagian besar premi melalui subsidi.
Namun, pada 2021, hama wereng dan tikus menyerang sawah mereka. Daun-daun padi mengering, batang-batang muda rebah dan sebagian lahan gagal panen.
Rahmad dan anggota kelompok langsung melapor ke pihak asuransi, untuk melakukan klaim.
“Petugas baru turun dua minggu setelah laporan. Padahal kami minta segera dicek karena sawah sudah rusak, tapi pas mereka datang, katanya kerusakan cuma 30%. Jadi tidak bisa diklaim karena harus minimal 50%.”
Aturan dari asuransi, katanya, baru bisa klaim jika kerusakan terjadi di satu hamparan lahan. Padahal, di Karang Gading, lahan petani kecil tersebar di berbagai lokasi, tidak bersebelahan.
Akibatnya, banyak petani gagal memenuhi syarat klaim.
“Namanya lahan petani, kan tidak di satu tempat. Ada yang sewa di dusun lain, ada yang bagi hasil. Jadi sulit sekali diatur dalam satu blok seperti maunya asuransi,” jelas Rahmad.
Pengalaman itu menjadi titik balik. Setelah kekecewaan itu, kelompok-kelompok tani di Karang Gading sepakat menghentikan keikutsertaan mereka pada program asuransi mulai 2022.
Padahal, di awal program, asuransi sempat memberi manfaat nyata. Pada 2019, misalnya, ketika kekeringan melanda, beberapa petani sempat mendapat ganti rugi atas lahan yang gagal panen.
“Waktu itu kami dapat klaim sekitar empat sampai lima hektar yang rusak, dibayar Rp6 juta per hektar. Itu sangat membantu,” katanya.
Kini, aturan makin ketat dan survei makin lambat, semangat petani pun merosot. Dari 16 kelompok tani di Karang Gading, tidak ada satu pun yang masih terdaftar sebagai peserta asuransi pertanian.

Butuh perhatian pemerintah
Zubaidah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumut, menyebut, para petani gelisah karena program perlindungan dari pemerintah belum sempat mereka rasakan. Padahal, AUTP ini memiliki semangat perlindungan, tetapi sosialisasi masih minim.
“Asuransi petani ini secara nyata belum ada dampak yang bisa dirasakan. Pemerintah belum memberikan secara merata, hanya sebagian petani yang dapat. Dampaknya belum terasa sama sekali,” katanya.
Padahal, katanya, nasib petani makin suram karena kondisi iklim yang tak menentu. Dalam lima tahun terakhir, pola tanam di Sumatera Utara berubah total.
Dulu, petani bisa tanam padi tiga kali dalam setahun. Sekarang, hanya dua kali, itu dengan waktu yang tak menentu.
“Biasanya panen Februari, tapi sekarang musim kemarau masih panjang. Begitu tanam Juni, malah Juli curah hujan tinggi sekali. Sawah tergenang, padi busuk sebelum panen.”

*****
Alih Fungsi Lahan Picu Sumut Alami Krisis Air dan Gagal Panen