- Pohon memiliki biji sangat lengket untuk menyebar lewat burung laut, tetapi adaptasi ini sering menyebabkan burung terperangkap dan mati, tanpa memberi manfaat apa pun bagi pohon.
- Penelitian Alan Burger (Journal of Tropical Ecology, 2005) membuktikan Pisonia bukan predator; kematian burung adalah efek samping evolusi, sementara nutrisi utama pohon berasal dari kotoran burung hidup.
- Upaya konservasi dilakukan melalui dua pendekatan: penyelamatan langsung di pulau suaka burung seperti Seychelles, dan pemangkasan biji di daerah permukiman seperti Selandia Baru agar burung tidak lagi terjebak.
Pohon yang bernama lengkap Ceodes brunoniana (dahulu dikenal sebagai Pisonia brunoniana) terlihat biasa saja. Daunnya lebar, bunganya kecil, dan tumbuh di banyak pulau tropis seperti Hawaii, Selandia Baru, dan Seychelles. Namun, di bawah cabangnya, sering ditemukan bangkai burung laut yang menggantung kaku, bulunya menempel satu sama lain oleh getah lengket.
Bagi siapa pun yang pertama kali melihatnya, pemandangan itu terasa janggal. Seekor burung yang tampak sehat bisa mendadak menjadi korban hanya karena hinggap sesaat di dahan pohon ini. Di kawasan koloni burung laut, terutama saat musim berbuah, aroma bangkai bisa tercium dari kejauhan. Ranting-ranting yang dipenuhi gugusan biji bergetah berubah menjadi jebakan alami yang mematikan. Para peneliti bahkan menyebut, dalam satu musim, satu pohon bisa “menyimpan” puluhan bangkai burung di antara cabangnya.

Fenomena ini membuat Ceodes dijuluki “Pohon Penangkap Burung” atau Birdcatcher Tree. Julukan itu muncul karena mekanisme penyebaran bijinya yang ekstrem. Pohon ini tampak tenang, tetapi pada musim berbuah, ia menjadi ancaman senyap bagi burung yang hinggap di cabangnya.
Adaptasi yang Berujung Petaka
Ahli ekologi Alan Burger dari University of Victoria, Kanada, menghabiskan berbulan-bulan di Pulau Cousin, Seychelles, untuk meneliti pohon ini dan koloni burung laut di sekitarnya. Ia menemukan bahwa hubungan antara Ceodes dan burung sangat kompleks. Keduanya saling bergantung, tetapi hubungan ini juga mematikan.
Di beberapa pulau di Pasifik dan Samudra Hindia, ribuan burung laut mati setiap tahun akibat biji lengket Ceodes. Dalam satu musim berbuah, satu pohon bisa menyebabkan kematian puluhan hingga ratusan burung seperti cikalang (noddy), white tern, dan shearwater. Tubuh mereka ditemukan menggantung di dahan atau menempel di tanah, menciptakan pemandangan yang suram di tengah koloni burung yang ramai.
</p>
Biji Ceodes memiliki getah pekat yang dirancang agar menempel kuat pada bulu burung laut besar dan terbawa jauh melintasi lautan. Namun, tingkat kelengketannya terlalu tinggi. Burung kecil atau burung yang sedang mengeram sering kali tidak mampu melepaskan diri. Setelah beberapa biji menempel, mereka kehilangan kemampuan terbang dan akhirnya mati karena kelelahan atau kelaparan.
Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Tropical Ecology, Burger mencatat bahwa di Pulau Cousin, sekitar 2–5 persen burung laut dari koloni Anous tenuirostris mati setiap musim berbuah akibat getah Ceodes. Dengan ribuan burung dalam satu koloni, artinya ratusan mati hanya dalam satu musim.
Mematahkan Mitos “Pohon Pembunuh yang Haus Nutrisi”
Pada awalnya, ilmuwan menduga pohon ini bersifat “semi-karnivora”. Mereka berpikir Ceodes menyerap nutrisi dari bangkai burung di sekitarnya. Namun, penelitian Burger membantah teori itu. Ia menanam biji di dua lokasi berbeda—satu di tanah dengan sisa bangkai, satu di tanah biasa, dan hasilnya sama. Pohon ini tidak mendapat manfaat apa pun dari bangkai burung.
Sebaliknya, Ceodes justru memperoleh nutrisi dari kotoran burung laut yang hidup dan bersarang di cabangnya. Feses burung mengandung nitrogen dan fosfor tinggi, berperan sebagai pupuk alami di tanah yang miskin unsur hara. Burger juga membuktikan bahwa biji Ceodes cepat rusak di air laut. Jadi, bangkai burung tidak mungkin menjadi “rakit” penyebar biji.

Kesimpulan Burger sederhana: Ceodes bukan predator. Ia hanyalah spesies yang tersesat dalam kesuksesan evolusinya sendiri. Getah superlengket yang semula membantu penyebaran biji kini menjadi senjata yang mematikan bagi burung laut, bahkan merugikan pohon itu sendiri.
Menjaga Keseimbangan Ekologis
Tragedi ini menimbulkan dilema konservasi. Ceodes penting bagi ekosistem pulau, tetapi juga menyebabkan kematian burung dalam jumlah besar. Karena itu, banyak program konservasi kini fokus pada mitigasi dan pengendalian yang seimbang.
Di Pulau Cousine dan Pulau Aride, Seychelles, petugas konservasi melakukan patroli rutin untuk mencari burung yang terperangkap getah Ceodes. Burung yang masih hidup dibersihkan menggunakan minyak nabati atau air hangat, lalu dilepaskan kembali. Di lokasi yang rutin melakukan penyelamatan, tingkat kematian burung menurun hingga 60 persen. Petugas juga memangkas gugusan biji di cabang bawah pohon untuk mencegah burung tersangkut.
Di Selandia Baru, di mana Ceodes dikenal sebagai Parapara, pendekatan yang diambil bersifat pencegahan. Pemerintah dan kelompok lingkungan seperti Forest & Bird mendorong pemangkasan gugusan biji sebelum matang. Langkah sederhana ini terbukti menekan kematian burung kecil di taman kota dan permukiman.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa konservasi tidak harus ekstrem. Kuncinya adalah memahami keseimbangan antara melindungi tumbuhan dan menjaga kehidupan satwa liar yang bergantung padanya.
Kisah Ceodes brunoniana menunjukkan bahwa evolusi tidak selalu menghasilkan kesempurnaan. Pohon ini bukan pemangsa, melainkan korban dari inovasi alam yang berjalan terlalu jauh. Dalam dunia alami, keberhasilan satu spesies bisa berarti kesulitan bagi yang lain.