- Target iklim Indonesia mundur. Hal ini terlihat dari bauran energi terbarukan 23% tahun 2025 yang kemungkinan besar gagal tercapai. Lalu, dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) menunda puncak emisi dari tahun 2030 ke tahun 2035.
- Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal EBTKE KESDM bilang, target bauran energi terbarukan diperkirakan baru akan tercapai antara tahun 2029 atau 2030. Sementara, penundaan puncak emisi di tahun 2035, harus ditindaklanjuti dengan lebih banyak upaya untuk turunkan emisi di tahun 2060.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, penundaan puncak emisi dari tahun 2030 ke 2035 sebagai langkah mundur. Soalnya, investasi di sektor energi akan membengkak dan jadikan penurunan emisi tidak kompatibel dengan Perjanjian Paris. Konsekuensi lain, target bauran energi terbarukan akan ikut molor.
- Presiden Keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) optimis bahwa Indonesia bisa berbuat banyak sebagai upaya selamatkan bumi dari krisis iklim. Meski, katanya, kohesi dan kolaborasi pemimpin-pemimpin global semakin lemah belakangan waktu.
Trasisi energi dari fosil ke terbarukan berjalan lambat, bahkan ada revisi target bauran energi dari 23% ke 17-19%. Dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) pun Indonesia menunda puncak emisi dari 2030 ke 2035.
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), menyebut, sampai semester ini, bauran energi terbarukan nasional baru 16%.
Sebelumnya, dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah targetkan bauran energi terbarukan 23% pada 2025. Belakangan, perkiraan target itu baru tercapai antara 2029 atau 2030.
Selama ini, pengembangan energi terbarukan di Indonesia terkendala transmisi yang belum sejalan dengan permintaan pasar.
“Ini yang kami mantapkan dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) 2025-2034,” katanya, ketika membuka Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 di Jakarta, Selasa (6/10/25).
Di samping itu, seturut dokumen SNDC yang akan pemerintah laporkan ke Conference of the Parties (COP) di Brasil bulan depan, target puncak emisi Indonesia juga bergeser dari 2030 ke 2035. Untuk itu, harus lebih banyak upaya turunkan emisi pada 2060 untuk menindaklanjuti perubahan itu.
Sebenarnya, penundaan puncak emisi itu sudah pemerintah tetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. Alasannya, untuk mengakomodir target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% tahun 2028-2029.
“Saat ini, kita harus turunkan emisi lebih kencang lagi, dengan cara menggandakan penghematan atau efisiensi energi dan menaikkan tiga kali lipat energi terbarukan yang saat ini sudah ada.”
Untuk mengantisipasinya, pemerintah siapkan peta jalan transisi energi sektor kelistrikan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/ 2025, yang mengatur sejumlah skenario transisi energi. Di antaranya, pensiun dini dan pembatasan penambahan PLTU, implementasi cofiring biomassa, dedieselisasi, dan retrofitting pembangkit fosil.
Ada pula percepatan pembangunan pembangkit energi terbarukan, mencakup produksi green hydrogen, green amonia dan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Rencana pengembangan itu, katanya, sudah termuat di RUPTL 2025-2034, yang targetkan bauran energi terbarukan 42,5 GW dan pembangunan penyimpanan energi (storage) 10,2 GW.
“Investasinya cukup besar, Rp1.682 triliun. Ini bukan angka kecil, tapi kami inginkan kolaborasi internasional.”
Terbaru, Presiden Prabowo Subiaonto minta Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bangun panel surya kapasitas 1-1,5 GW di satu desa. Dengan begitu, akan terbangun sekitar 80-100 GW panel surya.
“Kalau di RUPTL tadi, PLTS 17 GW. Dengan adanya 100 GW, kita sedang berdiskusi, bagaimana mengkombinasi RUPTL dengan target 100 GW dan ciptakan demand creation yang baru,” katanya.

Langkah mundur
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai, penundaan puncak emisi dari 2030 ke 2035 sebagai langkah mundur.
Soalnya, investasi sektor energi akan membengkak dan jadikan penurunan emisi tidak kompatibel dengan Perjanjian Paris. Konsekuensi lain, target bauran energi terbarukan akan ikut molor.
“Kalau peak emisinya 2030, maka harusnya kajian IESR, bauran energi terbarukan di 2030 itu paling tidak 40%. Itu baru kompatibel dengan target [Perjanjian] Paris. Kalau lihat sekarang, PP 40/2025, itu 23%,” katanya.
Penundaan puncak emisi, katanya, juga berisiko hasilkan aset terlantar (stranded asset). Yang berikan waktu lebih panjang operasionalisasi infrastruktur energi fosil.
Padahal, masih banyak peluang untuk jaga puncak emisi Indonesia tetap di 2030. Salah satunya, rencana Presiden bangun 100 GW PLTS.
“Kalau berdasarkan target hari ini memang sulit capai 40% bauran energi terbarukan di 2030. Tapi dengan ditambahkan 100 GW tadi, mungkin bisa tercapai.”
Selain itu, proyeksi penjualan kendaraan listrik yang mencapai 45%-50% pada tahun 2030 juga menjadi peluang.

Tahun itu, pemerintah targetkan 2 juta mobil listrik dan 12 juta sepeda motor listrik beredar di Indonesia. Tingginya penetrasi kendaraan listrik, yang bareng dengan pengembangan energi terbarukan, akan turunkan permintaan BBM dan emisi.
Tidak kalah penting, pengendalian emisi metana dari sektor energi. Dia bilang, pada 2021, Presiden Joko Widodo telah tandatangani kesepakatan Global Methane Pledge, yang targetkan penurunan 30% emisi metana pada tahun 2030.
Sektor energi, yang meliputi produksi minyak, gas, transportasi dan tambang batubara, merupakan salah satu sumber emisi metana terbesar di Indonesia. Jika pemerintah fokus kendalikan emisi metana di sektor ini, maka bisa kurangi emisi.
Meski pemerintah telah tetapkan target puncak emisi di dokumen SNDC, dia harap berbagai pihak tetap mau dorong peningkatan ambisi transisi energi Indonesia. Agar, kebijakan yang konsisten dan pro energi terbarukan masih bisa terlihat dalam lima tahun mendatang.
“Kembali, ini (penundaan puncak emisi) kabar yang tidak terlalu baik. Kami berharap, ada evaluasi terhadap itu dan mekanisme UNFCCC sangat dimungkinkan untuk lebih ambisius.”
“Buat kami, ini oportunity loss. Kami sendiri melihat, banyak sekali peluang peaking emission di 2030.”

Senjakala energi fosil
Mari Elka Pangestu, Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), bilang, Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada model pertumbuhan berbasis energi fosil jika kita ingin kompetitif dan tangguh di masa depan.
Soalnya, permintaan global terhadap energi kotor ini terus menurun. Bukan saja karena komitmen iklim, tapi juga perubahan pasar dan kemajuan teknologi.
“Boleh dikatakan, energi fosil termasuk migas dan batubara, sebetulnya sunset industry. Sunset-nya kapan ini sangat bergantung kebijakan global dan nasional.”
Dia bilang, hingga 2025, data IEA menunjukkan peningkatan investasi global US$3,3 triliun di sektor energi. Investasi teknologi bersih diperkirakan mencapai rekor US$2,2 triliun di tahun ini. Sementara, investasi minyak, gas alam, dan batu bara mencapai US$1,1 triliun.
Pemerintah, katanya, bisa manfaatkan peluang itu dengan bikin kebijakan yang tepat untuk tarik investasi, yang meliputi kebijakan makro seperti subsidi energi, insentif fiskal, dan instrumen untuk kurangi risiko investasi.
Selain itu, penting juga reformasi instrumen nilai karbon, berupa perdagangan emisi dan pajak karbon untuk berikan insentif pada teknologi rendah karbon, koordinasi dan kepemimpinan politik yang baik, hingga kebijakan yang kuat dan konsisten.
Pendanaannya bisa berasal dari blended finance, pendanaan publik, concessional fund dan juga dari swasta. Juga, pengembangan kapasitas masyarakat.
“Cara-cara inilah yang harus kita kombinasikan dalam suatu struktur, untuk bisa biayai energi terbarukan.”

Indonesia jadi solusi?
Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), optimis Indonesia bisa berbuat banyak untuk selamatkan bumi dari krisis iklim. Meski, kohesi dan kolaborasi pemimpin-pemimpin global melemah belakangan ini.
Dia melihat, banyak negara tengah berada dalam tensi tinggi dan ancaman konflik terbuka. Sementara, secara global, uang lebih banyak mengarah pada pembangunan kekuatan militer dan mengamankan geopolitik. Bukan lagi pada isu lingkungan ataupun pembangunan bangsa-bangsa secara berkelanjutan.
“Situasi dunia tidak terlalu cerah untuk implementasikan agenda besar kita ini, selamatkan bumi, kurangi kemiskinan dan ketimpangan sejagad, kemudian membikin masyarakat dunia makin sejahtera dalam keadilan yang kita dambakan bersama.”
Namun, dia yakin ada peluang untuk kembali rapatkan komitmen bersama selamatkan planet. Asalkan, pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Indonesia, jadi bagian dari solusi, bukannya memperkeruh masalah.
Maka, perlu visi dan kebijakan yang tepat, kepemimpinan yang bertanggungjawab di semua level, serta memastikan progres kebijakan yang pemerintah tetapkan.
“Kalau kita punya tenggat waktu 2045, harus ada progres. Kalau progresnya meleset, harus ada effort untuk lakukan perbaikan, kembalikan lagi pada track yang benar sesuai timeline yang ditetapkan.”

*****