- Abrasi dan intrusi air laut mengubah wajah ekosistem Kuala Selat, Indragiri Hilir, Riau. Banyak petani kelapa sawit banting setir jadi nelayan karena lahan mereka terendam air laut.
- Program pemulihan ekosistem pesisir dalam Mangrove for Coastal Resilience (M4CR) coba implementasi di Kuala Selat. Bank Dunia mendanai program US$100 juta ini di provinsi Sumatera Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Riau. Target rehabilitasinya 41.000 hektar hingga 2027.
- Sebelumnya, program ini berada di bawah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Namun, sejak 2024, berada di Direktorat Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Kehutanan, dan telah merehabilitasi 1.683 hektar mangrove dengan realisasi tanam bibit 5,3 juta batang.
- Wahyudin Opu, Site Coordinator Blue Forests, Indragiri Hilir tidak menampik butuhnya program M4CR di Riau. pasalnya, ekosistem mangrove di provinsi ini menghadapi ancaman kerusakan nyata. Meskipun demikian, dia minta pemulihan bisa berkelanjutan.
Adi, warga Kuala Selat, Indragiri Hilir, Riau, tidak pernah lupa kejadian pada 2021 kala tanggul mekanik desanya jebol karena gelombang besar. Satu bidang kebun kelapanya, terdiri dari 420 pohon mati terendam air laut.
Dia pun jadi terpaksa tinggal di gubuk tak berpenghuni di depan laut lepas. Banting setir jadi nelayan walau tanpa pengalaman.
“Tabungan tak punya. Ikut kawan-kawan saja. Keadaan mengharuskan beradaptasi. Semua tergantung dari kita,” kata pria 53 tahun itu, akhir September.
Bermodalkan sampan, Adi tiap pagi mengayuh selama dua jam di tepi pantai sambil melawan ombak. Dia cari ikan dengan jaring dan jala. Kadang pasang bubu atau pento untuk memerangkap kepiting.
Meski jadi nelayan pesisir lebih berat ketimbang petani kelapa, dia lebih nyaman. Walau tak tentu, pendapatan nelayan lebih besar. Dia bisa mengantongi Rp100.00- Rp300.000 sekali melaut.
Saat jadi petani kelapa, dia panen per tiga bulan. Panen sekitar 6.000 butir, dengan harga jual Rp2.000-Rp2.500 per butir, kadang anjlok Rp1.000. Pernah Rp6.000 per butir saat panen kelapa seret.
Dia hanya dua tahun saja menikmati hasil kebun kelapanya. Itu pun tidak penuh, karena harus berbagi hasil separuh buat pekerja yang merawat kebun. Karena itu, dia nyambi kerjaan lain, misal, kuli bangunan, buat menambah pendapatan kala itu.
Apesnya, modal Rp16 juta untuk beli kebun kelapa itu belum balik modal karena serbuan air laut. “Sekali hantam langsung habis,” kenang perantau dari Ponorogo, Jawa Timur, itu.
Tidak hanya miliknya, air laut yang masuk ke daratan merendam sekitar 1.500 hektar kebun kelapa warga. Sudah empat kali tanggul manual yang warga bangun swadaya atau dengan anggaran desa jebol, tak kuasa menahan terjangan air laut yang biasanya menggila saat musim utara, Oktober-Februari.

Pulihkan ekosistem mangrove
Setahun belakangan, Adi melihat upaya warga Kuala Selat menanam mangrove di area bekas perkebunan kelapa tersebut. Meski tidak ikutan karena sibuk melaut, dia tetap mendukung aksi itu.
“Tanah akan jadi tinggi lagi, kemungkinan akan dibangun tanggul juga.”

Aksi penanaman mangrove warga Kuala Selat merupakan program pemulihan ekosistem pesisir dalam Mangrove for Coastal Resilience (M4CR). Bank Dunia mendanai program US$100 juta ini di Sumatera, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Riau. Target rehabilitasi 41.000 hektar hingga 2027.
Luas hutan mangrove di Riau dalam Peta Mangrove Nasional mencapai 231.438 hektar. Potensi pemulihan sekitar 12.234 hektar. Program ini hanya menargetkan 5.858 hektar selama 2024-2027, di Indragiri Hilir, Pelalawan, Kepulauan Meranti, Bengkalis dan Rokan Hilir.
“Proyek ini tidak hanya untuk rehabilitasi juga meningkatkan, memulihkan dan mempertahankan atau 3 M,” ujar M. Arif Fahrurozi, Provincial Project Implementation Unit (PPIU) Manager M4CR Riau, 24 September lalu.
Sebelumnya, program ini berada di bawah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Sejak 2024, berada di Direktorat Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Kehutanan, dan sudah merehabilitasi 1.683 hektar mangrove dengan realisasi tanam bibit 5,3 juta batang.
Pelaksanaannya baru di Indragiri Hilir, kabupaten dengan mangrove terluas di Riau. Tersebar di Kecamatan Mandah 122 hektar, Kateman 124 hektar, Kuala Indragiri 711 hektar dan Enok 27 hektar. Lalu, Kecamatan Reteh 153 hektar, Sungai Batang 37 hektar dan Tanah Merah 509 hektar.
Masyarakat terdampak yang melakukan langsung pemulihan mangrove. Mereka bergabung dalam 56 kelompok. Dengan kata lain, katanya, sudah menyerap tenaga kerja 1.128 orang, 750 laki-laki dan 378 perempuan.
“Ini baru dalam tanaman-menanam. Belum lagi persiapan pembibitan, pelatihan ekonomi dan lainnya. Sehingga ribuan masyarakat terlibat dapat upah harian kerja.”
Sebagai bentuk keterbukaan dan pertanggungjawaban kegiatan, mereka berikan insentif pada masyarakat yang terlibat secara non tunai melalui rekening bank tiap pribadi.
Arif bilang, Berdasarkan pengawasan pada September 2025, tingkat keberhasilan rehab mangrove tahun pertama mencapai 75%. Titik tanam yang gagal katanya, akan mereka sulam kembali pada pemeliharaan tahun kedua.
Tahun kedua ini, program M4CR akan meluaskan target pemulihan mangrove di Riau sebanyak 1.450 hektar. Sebarannya, Indragiri Hilir 608 hektar, Rokan Hilir 209 hektar, Bengkalis 115 hektar, Kepulauan Meranti 347 hektar dan Pelalawan 171 hektar.
Di Kuala Selat, kawasan yang akan pemulihan mencapai 429 hektar. Sekitar 124 hektar pada 2024 oleh lima kelompok. Sisa 305 hektar tahun ini dengan tambahan dua kelompok lagi.
Penanaman mangrove menggunakan metode rumpun berjarak karena areal itu langsung berhadapan dengan Selat Malaka hingga butuh pengamanan dan perlindungan habitat yang ada.
Adi bilang, areal penanaman mangrove di wilayah bekas kebun kelapa yang rusak karena terendam air laut. Luasnya kurang lebih 1.600 hektar. Pohon-pohon itu mati, tidak bisa pulih lagi kecuali dengan merehab mangrove.

Arif berharap, penanaman mangrove di lokasi itu dapat melindungi sekitar 3.000 hektar kebun kelapa tersisa, yang saat ini hanya terlindung sebaris tanggul mekanik buatan masyarakat dari gundukan tanah.
“Setiap saat, bisa jebol akibat kenaikan tinggi muka air laut, gelombang pasang, dan faktor lain.”
Catatan PPIU M4CR Riau, perkebunan kelapa di Kuala Selat rusak karena hilangnya sabuk hijau mangrove. Jebolnya tanggul laut membuat kawasan pesisir itu tidak mampu menahan arus dan gelombang laut.
Periode 1990-2023, abrasi di Kuala Selat mencapai 439 meter. Berarti, rata-rata terjadi abrasi sekitar 13,8 meter per tahun. Selain kebun kelapa, gelombang pasang angin utara selalu memakan infrastruktur desa itu.
Pada 2006, misal, 22 rumah dan 600 meter jalan hancur. Tahun 2015, ada 18 rumah dan 300 meter jalan hancur. Kejadian terparah pada 2021, 1.900 hektar kebun kelapa dan 39.000 hektar pemukiman terdampak gelombang besar awal dan akhir tahun.
Harapan Arif, pemulihan mangrove di Kuala Selat mendatangkan banyak manfaat. Ekosistem lahan basah ini mampu menyerap karbon, sebagai upaya pemerintah mengatasi laju perubahan iklim.
Makin banyak bibit tertanam dan berhasil hidup, maka jadi habitat biota laut bernilai ekonomis, seperti udang, kepiting, kerang, siput, dan sejenisnya.
“Jadi bagi masyarakat Riau terlibat dalam program M4CR ini, selain mendapatkan upah kerja untuk menanggung kehidupannya juga untuk berinvestasi bagi anak cucunya kedepan.”

Harus kontinu
Wahyudin Opu, Site Coordinator Blue Forests, Indragiri Hilir tidak menampik perlu program M4CR di Riau. pasalnya, ekosistem mangrove di provinsi ini menghadapi ancaman kerusakan nyata. Meskipun demikian, dia minta pemulihan bisa kontinu.
“Tidak hanya terbatas waktu 2027. Meski dua hingga tiga tahun akan datang, lahan yang direhabilitasi akan tumbuh mangrove, areal tersebut harus diawasi secara intens,” katanya, 13 Oktober lalu.
Dia bilang, pesisir Riau sangat terdampak krisis iklim. Di Indragiri Hilir, degradasi mangrove terjadi dalam beberapa jenis, antara lain, lahan terbuka akibat bekas penebangan, salinisasi perkebunan kelapa, serta abrasi lahan pesisir.
Kuala Selat jadi salah satu yang paling terdampak. Kebutuhan akan program rehabilitasi mangrove yang bisa menumbuhkan ekosistem pelindung alami (green belt), menurutnya, harus jadi fokus utama.
Juga, kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan alternatif penghidupan seperti perikanan atau pemanfaatan hasil hutan bukan kayu akan mendorong masyarakat lokal.
Kawasan mangrove Kuala Selat, katanya, memerlukan perhatian ekologis. Perlu intervensi terhadap keberagaman jenis mangrove seperti, api-api, nipah, pedada, bakau, dan lainnya—supaya tumbuh baik dan sempurna.
Kawasan berhadapan langsung dengan laut juga menghadapi tantangan gelombang besar, terutama, saat musim utara dan musim tenggara. Pembangunan fisik permeable dam atau alat pemecah ombak, perlu untuk bantu lindungi kawasan itu.
“Upaya berkelanjutan tersebut, setidaknya bisa mengurangi risiko kerusakan pemukiman dan lahan perekonomian masyarakat setempat,” kata Opu.
Zainal Arifin Hussein, Direktur Bina Desa Payung Negeri (BDPN), mengatakan, masalah di Kuala Selat tidak bisa terselesaikan dengan penanaman mangrove semata. Abrasi dan intrusi air laut sudah menghancurkan kebun kelapa yang selama ini jadi sumber ekonomi utama masyarakat.
Alam, psikologi dan sosial warga juga terdampak fenomena ini. Banyak keluarga kehilangan sumber nafkah, anak-anak kesulitan sekolah, dan sebagian masyarakat mulai meninggalkan kampungnya.
Dia sarankan program M4CR mengarah pada rehabilitasi berbasis kehidupan (life-based rehabilitation).
“Bukan hanya menanam mangrove, tapi membangun kembali kehidupan masyarakat, melalui pendekatan ekologi, ekonomi, dan budaya lokal.”
Dia contohkan, dengan mengintegrasikan mangrove ke dalam ekonomi pesisir berbasis masyarakat, seperti budidaya kepiting bakau, madu mangrove, ternak bebek petelur atau ekowisata edukatif.
Selain itu, program ini harus melibatkan komunitas adat, seperti Suku Duanu, yang memiliki pengetahuan lokal tentang laut dan pesisir.
Akademisi Universitas Islam Indragiri ini bilang, kalau pendekatannya benar, meskipun berakhir 2027, hasilnya akan tetap hidup. Karena masyarakat sudah mandiri menjaga ekosistemnya.
“Di BDPN, kami menyebut ini sebagai “gerakan dari akar rumput”. Bukan sekadar proyek, tapi perubahan cara pandang terhadap pesisir sebagai ruang hidup yang harus dipulihkan bersama.”

*****