- Orangutan tapanuli dalam bahasa lokal disebut mawas juhut bontar, hanya ditemukan di hutan Batang Toru yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
- Namun, temuan terbaru hasil survei Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), menunjukkan satwa dilindungi ini ditemukan di kawasan hutan gambut Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, atau sekitar 32 km arah barat dari Batang Toru.
- Berdasarkan survei yang dilakukan oleh OIC bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara pada 2023-2024, terdata beberapa individu orangutan, namun pada Oktober 2024 terpantau langsung satu individu jantan.
- Jumat (26/9/2025), Mongabay Indonesia melihat langsung dua individu orangutan tapanuli, induk dan anak, di hutan Lumut. Butuh tiga jam lebih perjalanan di dalam hutan, untuk memotret satwa terancam punah tersebut.
Jika sebelumnya orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), –atau dalam bahasa lokal disebut juhut bantar, diketahui hanya hidup di bentang alam Hutan Batang Toru yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, ternyata temuan terbaru, satwa endemik langka ini juga ditemukan di kawasan hutan lain di Sumatera Utara.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), orangutan tapanuli ditemukan di kawasan hutan gambut Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 32 km dari Hutan Batang Toru ke sebelah barat.
Dalam sebuah perjalanan survei pada Jumat, 26 September 2025 lalu, bersama tim YOSL-OIC jurnalis Mongabay Indonesia, Junaidi Hanafiah melihat langsung dua individu orangutan tapanuli di hutan gambut di Desa Lumut Maju, lokasi hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu dan berhasil mengabadikannya.
Saat perjumpaan berlangsung, terdapat dua individu orangutan tapanuli, induk dan anak. Diperlukan waktu tiga jam lebih perjalanan di dalam hutan, untuk memotret satwa terancam punah tersebut.

Temuan Awal
“Kami awalnya mengetahui adanya orangutan di hutan gambut di Desa Lumut Maju itu pada tahun 2022,” sebut Rio Ardi, Manajer Restorasi dan Riset Biodiversity YOSL-OIC, (Kamis, 2/10/2025).
Rio Ardi mengatakan, pada bulan Mei 2022, ada warga yang melaporkan kepada tim Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU) YOSL-OIC bahwa ada orangutan di hutan gambut yang berstatus area penggunaan lain itu.
“Informasi tersebut ditindaklanjuti oleh tim HOCRU, namun saat ke lapangan, mereka tidak menemukan orangutan, hanya menemukan lima sarang orangutan,” kata Rio.
Keberadaan orangutan di luar habitatnya yang jauh dari kawasan hutan Batang Toru dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), lalu disampaikan oleh tim HOCRU kepada tim riset YOSL-OIC.
“Pada Oktober 2022, tim HOCRU dan Tim Riset YOSL-OIC kembali melakukan pemantauan di hutan gambut yang terletak di Desa Lumut Maju, Kecamatan Lumut yang luasnya sekitar 1.234 hektar,” ujar Rio.

Dalam riset lanjutan di hutan sekunder yang sangat terbatas tersebut, tim YOSL-OIC menemukan 17 sarang dan beberapa di antaranya merupakan sarang baru.
“Kami menemukan sarang baru yang kami kategorikan sarang kelas satu, yang dapat kami pastikan orangutannya ada,” sebutnya.
“Berdasarkan survei yang kami lakukan bersama BBKSDA Sumatera Utara dari tahun 2023 sampai tahun 2024, kami juga mendapatkan data beberapa individu orangutan di sana.”
Meski demikian, perjumpaan langsung dengan orangutan tapanuli di area hutan gambut tersebut baru pertama kali terjadi di bulan Oktober 2024. “Saat itu, kami menemukan orangutan berjenis kelamin jantan,” sambung Rio.

Untuk memastikan orangutan ini termasuk spesies orangutan tapanuli atau orangutan sumatera, pada Januari 2025, tim YOSL-OIC mengambil sampel kotorannya untuk dicek ke laboratorium yang berada di Bogor, Jawa Barat.
“Hasil pemeriksaan Deoxyribonucleic Acid (DNA) di laboratorium diketahui orangutan di Lumut Maju merupakan spesies orangutan tapanuli yang terpisah sekitar 32 kilometer dari kawasan hutan Batang Toru,” ungkap Rio.
Berdasarkan pemantauan udara dengan menggunakan thermal drone dan survei darat di sejumlah petak hutan di sekitarnya, Rio menyebut ada kemungkinan jumlah orangutan tapanuli di area ini dapat bertambah.
“Kami menemukan ada jejak jelajah orangutan tapanuli di hutan lindung yang terletak di Kampung Sawah, Desa Sitardas, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.”
Dari analisis pakan, Rio menambahkan, orangutan tapanuli di kawasan area Hutan Lumut, umumnya mengkonsumsi buah jambu (Syzygium muelleri), malaka (Tetramerista glabra), terap (Artocarpus elasticus) dan terentang (Campnosperma coriaceum).
“Hingga saat ini, kami terus mengumpulkan catatan tentang pakan orangutan di Lumut,” katanya.

Habitat Temuan Orangutan Kritis
Terkait temuan orangutan tapanuli di luar kawasan hutan Batang Toru ini, Rio menyebut timnya telah melaporkan kepada lembaga terkait, termasuk kepada Pemerintah Daerah Tapanuli Tengah.
Hal yang mendesak, sebutnya adalah habitat orangutan di Desa Lumut Maju tersebut yang sangat rawan berubah fungsi, karena berstatus areal penggunaan lain (APL).
“Dalam tahun 2025 saja, telah terjadi pembukaan lahan sangat luar biasa hutan, hutan yang tersisa kurang dari 1.000 hektar saat ini. Kami sangat khawatir dengan nasib orangutan tapanuli di sana,” ungkap Rio.
“Kita tidak bisa mencegah pembukaan lahan perkebunan di area penggunaan lain,” katanya.
Pada Jumat, 26 September 2025, Mongabay Indonesia melihat langsung bagaimana hutan gambut tersebut telah dibuka oleh masyarakat dan perusahaan sawit. Bahkan, untuk membuka lahan, perusahaan dan warga juga menggunakan alat berat.
“Hutan ini sudah sangat mengecil, banyak yang telah dibuka untuk ditanami sawit, ada yang dibuka oleh warga, ada juga yang dibuka oleh perusahaan sawit,” kata Aman Rida, salah seorang warga Desa Lumut Maju, (Jumat, 26/9/2025).
Dia mengatakan, warga sudah cukup lama mengetahui adanya orangutan di hutan Lumut. Namun umumnya mereka menyangka selama ini pemerintah telah mengetahuinya.
“Terlebih, sangat jarang orang dari luar mau datang ke Desa Lumut Maju karena jaraknya dari pusat kecamatan sangat jauh. Jalan tidak bagus dan harus melewati jalan dua perusahaan sawit,” sambung Aman Rida.

Ferry Aulia Hawari, seorang Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) yang sedang penelitian tentang keberadaan orangutan tapanuli menyebut adanya fragmentasi habitat antara hutan di Batang Toru dan di hutan gambut yang terletak di Desa Lumut.
“Hutan Batang Toru dengan hutan gambut Lumut, terfragmentasi oleh kebun sawit dan pembangunan jalan,” kata Ferry yang juga merupakan tim Geographic Information System (GIS) dan pilot thermal drone OIC (Jumat, 3/10/2025).
Saat ini penelitian Ferry terpusat pada pengolahan data dari dua kawasan hutan yang terpisah itu. Ferry menyebut luas kawasan yang sedang dia teliti mencapai 155.000 hektar.
“Saya menelusuri data tutupan hutan dari tahun 1990 sampai saat ini, ingin melihat seperti apa dampak kehilangan tutupan hutan yang menghubungkan blok barat hutan Batang Toru dengan hutan Lumut,” kata Ferry “Dalam tahun ini kemungkinan akan selesai.”

Pertahankan Habitat atau Pindahkan Populasi Tersisa?
Panut Hadisiswoyo, Direktur Green Justice Indonesia (GJI), mengatakan temuan orangutan tapanuli di habitat baru merupakan hal menggembirakan, namun sekaligus juga memprihatinkan dikarenakan habitatnya yang berstatus APL terus tergerus.
“Pembukaan hutan untuk kebun sawit masih berlangsung. Letak hutan yang tidak terhubung dengan Batang Toru, membuat kehidupan orangutan terisolir,” jelasnya (Rabu, 8/10/2025).
Panut yang juga ahli orangutan mengatakan, solusi jangka panjang adalah memindahkan orangutan di Lumut ke tempat lebih layak secara habitat, pakan, dan keamanan.
“Para ahli berpendapat, habitat dominan dan layak untuk orangutan berkelanjutan adalah jika populasinya mencapai 250 individu dengan hutan alami dan pakan terpenuhi. Diperkirakan, jumlah orangutan di Lumut tidak mencapai 100 individu.”
Menghubungkan kembali hutan Lumut dengan Batang Toru juga kecil kemungkinannya, karena jauh serta terfragmentasi perkebunan dan fasilitas publik.
Memindahkan primata ini ke habitat alami yang masih ada orangutan tapanuli merupakan solusi terbaik. Misal, dibawa ke blok hutan di Batang Toru.
“Ini akan membuat genetiknya bervariasi dan populasinya bertambah. Namun, harus dipastikan juga Batang Toru tidak lagi kehilangan tutupan hutan dan konflik masyarakat dengan orangutan tidak terjadi.”

Wanda Kuswanda, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Sistem Biota, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebut fragmentasi habitat dapat memicu konflik antara manusia dengan orangutan.
“Faktor utama perseteruan adalah keberadaan pohon pakan, maraknya penebangan, dan kerusakan tanaman masyarakat. Potensi konflik tinggi di daerah penyangga, terutama di kebun warga,” ungkap Wanda (Kamis, 9/10/2025).
Masyarakat di sekitar Batang Toru, khususnya di Tapanuli Selatan, hidup dari hasil panen aren, durian, petai, kopi, dan kayu manis. Namun, pembukaan lahan untuk sawit, karet, tambang, jalan, dan permukiman telah memecah habitat orangutan.
Akibatnya, orangutan kesulitan mendapatkan pakan alami seperti buah ficus dan arthocarpus di hutan. Orangutan turun ke kebun warga untuk mencari pakan.
Empat tahun terakhir, dia menyebut sejumlah individu orangutan tapanuli ditemukan di lahan masyarakat, antara lain di Desa Bulu Mario, Aek Nabara, dan Aek Batang Paya, Kabupaten Tapanuli Selatan.
“Beberapa individu bahkan terbiasa hidup di lahan garapan masyarakat, mencari durian, petai, aren muda, dan buah yang mereka sukai.”
Menurut Wanda, konflik masih bisa dikelola. Koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli bisa tercapai, jika konservasi memperhatikan kebutuhan ekologi satwa dan ekonomi masyarakat, berbasis kearifan lokal dan jasa lingkungan.
“Koeksistensi berarti hidup berdampingan secara damai antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Kehidupan berdampingan akan terwujud bila ada penyesuaian perilaku antara manusia dan orangutan, hasilnya populasi satwa meningkat dan masyarakat tetap mendapat legitimasi sosial serta manfaat ekonomi.”

Wanda menambahkan, pembangunan koridor habitat orangutan yang terfragmentasi sangat penting dilakukan. Jika lahan yang akan dibangun koridor merupakan garapan masyarakat, maka pendekatan harus dilakukan tanpa merugikan siapapun.
Misal, masyarakat atau pemilik lahan diajak menanam kemenyan (Styrax spp). Sejak dulu, pohon ini dibudidayakan terbatas oleh warga sekitar Batang Toru, di Tapanuli Utara. Sementara, masyarakat di Tapanuli Selatan memilih mengembangkan aren, durian dan beberapa jenis tanaman, sehingga konflik rawan terjadi.
“Masyarakat bisa memanfaatkan getah atau resin batang kemenyan, sementara orangutan bisa memakan daunnya. Hal seperti ini tentu tidak saling mengganggu atau merasa dirugikan,” ungkapnya.
*****
Orangutan Tapanuli: Berstatus Kritis dan Terancam di Habitatnya