- Banjir yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah sudah berlangsung delapan hari sejak 22 Oktober 2025. Sebanyak 23 kelurahan di lima kecamatan terendam banjir. Sebanyak 63.000 jiwa terdampak dan tiga orang meninggal dunia.
- Adetya Pramandira, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Jateng) menyayangkan respon pemerintah Jawa Tengah terhadap persoalan banjir. Dalih pemerintah hanya berkutat pada persoalan curah hujan tinggi, tanggul jebol, dan pompa air yang tidak berfungsi dengan maksimal. Alih-alih memperbaiki kebijakan tata ruang yang menjadi sumber masalah dasar.
- Wiwandari Handayani, Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) mengatakan persoalan banjir harus diselesaikan secara terstruktur. Tata ruang itu harus bisa menjadi garda terdepan dalam pengendalian banjir dan penataan wilayah. Banjir terjadi disebabkan penanganan wilayah hulu yang tak maksimal seperti alih fungsi lahan dan deforestasi yang menyebabkan sedimentasi yang akhirnya pendangkalan sungai dan sebagainya.
- Theo Adi Negoro, Pakar Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang mengatakan banjir berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) apabila secara nyata dibuktikan adanya kelalaian negara, seperti kebijakan yang tidak efektif, korupsi anggaran, hingga pembiaran.
Mulyati, warga Kelurahan Genuksari, Kecamatan Genuk, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) hanya pasrah. Ketiadaan biaya membuat perempuan 52 tahun memilih bertahan meski rumahnya yang sederhana itu menjadi langganan banjir.
Di antara genangan setinggi hampir satu meter itu, Mulyatin berdiri sembari menimang cucunya yang masih bayi, Kamis (30/10/25) pagi.
“Tak ada biaya meninggikan rumah, apalagi bapak sudah sepuh (tua) dan sakit stroke,” katanya kepada Mongabay.
Mulyati tak punya pilihan selain menerima banjir yang mengepung kampungnya setiap tahun, seperti yang terjadi kali ini. Sudah lebih dari dari satu pekan ini kampung tempatnya tinggal kebanjiran.
Bagi Siti, hidup harus terus berlanjut meski banjir mengepung sudah lebih dari satu pekan. Katanya, tak bakalan ada orang yang memberi makan jika tak berusaha sendiri. Maka, dia tetap berjualan sayur mayur sejak pagi demi dapur tetap mengepul.
“Anak tiga, suami kerja serabutan. Kalau gak kerja mau gimana? Kemarin dapat bantuan nasi bungkus tapi cuma satu padahal kami berlima di rumah. Satu keluarga satu nasi bungkus. Wis ora usah (tidak perlu), saya tolak,” katanya getir.
Lain lagi cerita Ayu, sudah dua kali meninggikan rumah dengan uang tabungan dan peninggalan mendiang suami. Hidup di sana sejak kecil, Ayu yang kini berusia 52 tahun mengaku belakangan banjir makin sering terjadi.
“Pas saya muda nggak, sekarang ini kok hampir setiap tahun (ada banjir).”
Solikhin, berupaya keras normalisasi banjir yang terjadi hampir setiap tahun di daerah tempat tinggalnya. Baginya, tak ada pilihan selain menerima kondisi ini.
Marah pun terasa tak berguna. “Di sini kayaknya kalau gak banjir ada yang kurang hidup. Udah kayak makanan sehari-hari,” kelakarnya.
Febriansyah, mengatakan, sudah merasakan banjir sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bedanya, bila dulu banjir hanya terjadi 3-4 hari, sekarang durasinya makin lama, bahkan lebih dari sepekan.
“Hanya bisa bersabar dan berdoa.”

Kesalahan tata ruang
Adetya Pramandira, dari Walhi Jateng menyayangkan sikap pemerintah dalam merespons persoalan banjir.
Pemerintah, kata Dera, sapaanya akrabnya, hanya berkutat pada persoalan curah hujan tinggi, tanggul jebol, dan pompa air yang tidak berfungsi dengan maksimal.
Padahal, ada persoalan lebih substansial ketimbang menyalahkan curah hujan atau jebolnya tanggul yang jadi penyebab banjir.
“Banjir yang terjadi bukan bencana yang terjadi karena tiba-tiba sungai meluap ataupun tanggul jebol dan curah hujan tinggi. Ini persoalan tahunan,” katanya.
Menurut dia, perubahan lanskap yang tidak terkontrol dan mendegradasi fungsi kawasan adalah salah satu penyebabnya. Terlebih, kebijakan-kebijakan yang dibuat kurang mengakomodir upaya mitigasi terhadap daerah rawan bencana banjir.
“Bencana adalah sesuatu yang diproduksi dan lahir dari kebijakan yang keliru. Ketika banjir terjadi selama bertahun-tahun, ini bisa menjadi potret akan buruknya tata ruang,” kata Dera.
Walhi mendesak, pemerintah meninjau ulang kebijakan perencanaan tata ruang daerah yang berkaitan dengan corak ekonomi ekstraktif di kawasan hulu. Kemudian, fokus penanggulangan bencana dari akarnya. Caranya, dengan membatasi dan menutup berbagai macam proyek dan izin yang berpotensi merusak kawasan hulu.
Selain itu, mendesak pemerintah agar menjalankan dan memulihkan fungsi kawasan hulu dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai daerah resapan dan lindung. Serta membentuk kebijakan tentang kebencanaan yang berfokus kepada region, dengan melihat hubungan satu daerah dengan daerah lain.

Wiwandari Handayani, Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) mengatakan, banjir di Semarang merupakan persoalan kompleks.
Cuaca ekstrem karena perubahan iklim, pertumbuhan kota yang tak terkendali, ketidaksiapan pengendalian banjir, tata guna lahan, hingga kebiasaan buang sampah sembarangan jadi penyebabnya.
Karena itu, penyelesaiannya tidak bisa parsial. “Persoalan banjir harus diselesaikan secara sistemik, terstruktur. Dan tata ruang itu harus bisa menjadi garda terdepan dalam pengendalian banjir dan penataan wilayah.”
Dia bilang, jika berbicara menyoal tata ruang itu ada perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Namun seringkali variabel itu tidak berjalan seimbang. Misal, dari sisi perencanaan sudah baik tetapi pada sisi pengendalian tidak berjalan efektif.
“Banjir terjadi sering disebabkan penanganan wilayah hulu yang tak maksimal. Artinya alih fungsi lahan, deforestasi yang menyebabkan sedimentasi yang akhirnya pendangkalan sungai dan sebagainya.”
Dalam skala makro, daerah hulu harus tertata lebih dulu. Memaksimal daerah resapan, mengontrol pembangunan. Jadi, kalau ada lahan terbangun harusnya drainase dibesarkan. Jangan sibuk membangun tanpa menyiapkan drainase yang menyebabkan bebannya semakin tinggi.
Handayani bilang, keberadaan pompa air tidak menyelesaikan akar masalah karena hanya solusi jangka pendek. Karena secara geologi tanah di Semarang merupakan tanah aluvial. Belum lagi adanya penurunan muka tanah karena pengambilan air bawah tanah oleh industri.
“Water cycle-nya gak ideal lagi sehingga ketika dipompa pun belum tentu dibuang ke laut atau dibuang ke laut lalu muter lagi kembali,” imbuhnya. Sebab itu, dia juga mengkritik keberadaan tanggul tol laut yang digadang-gadang sebagai solusi atasi banjir. Nyatanya, sampai kini., banjir terus terjadi, bahkan makin parah.
Banjir melanda Kota Semarang, sejak akhir Oktober 2025 hingga kini. Selain sebabkan puluhan ribu jiwa terdampak, tiga orang meninggal dalam kejadian ini, dua masih anak-anak. Jalan Raya Pantura yang hubungkan Semarang-Demak juga tergenang banjir hingga picu antrean panjang.

Langgar hak asasi manusia?
Persoalan banjir dan bencana lain dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) jika disebabkan kelalaian pemerintah atau negara dalam melindungi warganya.
Theo Adi Negoro, Pakar Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang menilai, tentang apakah negara bertanggung jawab atas bencana banjir yang warga alami harus dilihat dari derajat pertanggungjawabannya. Terutama jika banjir terjadi berulang-ulang dan menimbulkan kerusakan serta memakan korban jiwa.
Maksud Theo, jika memang terbukti ada kelalaian negara di dalamnya, maka negara harus bertanggung jawab. Misal, dampak kebijakan yang tidak efektif, korupsi anggaran, hingga dugaan pembiaran.
“Hal ini tentu saja menjadi permasalahan HAM ketika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat.”
Dia bilang, pasal-pasal tentang HAM di UUD 1945 seperti Pasal 28G dan 28H menjadi norma penting bagi negara menciptakan kebijakan yang tepat sasaran. Ketika negara lalai dan menyebabkan kegagalan, maka tidak bisa dianggap sebagai masalah administrasi saja.
Dalam kerangka hukum tata negara, hal ini sudah masuk ke state obligation (kewajiban positif negara).
“Yang artinya, negara tidak hanya dilarang untuk melakukan pelanggaran terhadap HAM, tetapi juga berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, mitigasi, dan perlindungan bagi warga negara. Termasuk lewat perencanaan tata ruang, drainase, pengendalian guna lahan, serta penyelenggaraan sistem dini dan relokasi yang memadai,” katanya.
Kalau terdapat bukti ada indikasi otoritas yang berwenang, baik pusat maupun daerah mengabaikan atau menunda pelaksanaan pencegahan tersebut, maka menjadi relevan jika negara bertanggung jawab karena kelalaiannya.
Namun, terdapat faktor lain yang jadi perhatian dan menjadi pekerjaan rumah jangka panjang. Yakni budaya masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan lingkungan. Misalnya membuang sampah sembarangan. Jadi harus ada edukasi dan tindakan yang tegas dalam menangani permasalahan itu.

Upaya pemerintah
Ahmad Luthfi, Gubernur Jateng, menginstruksikan adanya modifikasi cuaca sejak 27 Oktober 2025. Pesawat pembawa Natrium Klorida (NaCl) sibuk di langit Semarang dan sekitarnya. Sekali terbang, pesawat membawa 1.000 kilogram NaCl dan disebarkan untuk mengurangi intensitas hujan.
Dia berharap, rekayasa cuaca tersebut dapat mengatasi bencana banjir yang ada di daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah.
“Rekayasa cuaca, akan kita tambah satu pesawat. Awan ternyata berasal dari wilayah Solo,” ujar Luthfi.
Saat meninjau Kolam Retensi Terboyo, Semarang, pada Kamis, 30 Oktober 2025, Ahmad Luthfi meminta optimalisasi pompa air. Dia minta air yang menggenang segera dialirkan ke laut dengan pompa.
“Jadi pakai pompa sebanyak-banyaknya sehingga jalan lancar kembali dan masyarakat tidak terendam,” kata Gubernur.
Sejauh ini Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana telah mengoperasikan 38 pompa. Ia terdiri dari tujuh pompa eksisting (kapasitas 14 m³/detik), tiga floating pump (6 m³/detik), dan 28 mobile pump (10,36 m³/detik).
Total kapasitas pompa yang kini bekerja di empat titik utama, Sringin, Terboyo, Tenggang, dan Pasar Waru, mencapai 30.360 liter per detik.
*****