- Banjir bandang dan longsor membuat Bali luluh lantak sejak Rabu (10/09/25). Faktor alam dan manusia menjadi penyebab bencana yang menyebabkan pohon runtuh, rumah ambruk, hingga korban meninggal.
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut pemicu banjir dan longsor ini berupa intensitas hujan di atas normal, kondisi hidrologis sungai, hingga topografi perbukitan dan pasang laut yang memperlambat aliran air. Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat adanya anomali cuaca.
- Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LH menyebut salah satunya karena produksi sampah yang parah di Bali. Selain sampah, Hanif menilai bencana ekologis di bali karena kurangnya resapan air. Banyak lahan yang beralih fungsi jadi hotel dan cottage.
- Yayat Supriatna, Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, menilai bencana banjir bandang di Bali karena ketidakselarasan tata ruang untuk air dan pembangunan. Pesatnya sektor pariwisata kerap mengorbankan tata ruang dan air di Bali. Akibatnya, resapan air, ruang terbuka hijau, area persawahan, berubah bentuk jadi bangunan keras.
Banjir bandang dan longsor membuat Bali luluh lantak sejak Rabu (10/09/25). Faktor alam dan manusia menjadi penyebab bencana yang menelan banyak korban.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, pemicu banjir dan longsor ini berupa intensitas hujan di atas normal, kondisi hidrologis sungai, hingga topografi perbukitan dan pasang laut yang memperlambat aliran air. Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat ada anomali cuaca.
Terlihat dari pergerakan awan hujan Samudera Hindia yang terdorong angin baratan menuju Pulau Dewata. Dalam waktu singkat, curah hujan meningkat tajam dan melebihi ambang normal harian.
Fenomena Madden Julian Oscillation (MJO) dalam fase 3 (Indian Ocean) juga berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia Bagian barat. Bahkan, BMKG memprediksi kondisi ini secara spasial aktif melewati sebagian wilayah Indonesia, termasuk Bali, hingga tanggal 12-17 September.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum menyebut, curah hujan merata di Bali dengan intensitas tinggi sebesar 245,5 mm/hari dengan durasi yang lama pada Senin (8/9/25) hingga Selasa (9/9/25), menyebabkan meningkatnya aliran debit banjir sungai 85,85 m³/detik. Dengan intensitas hujan tinggi, beberapa tukad (sungai) di Bali tak bisa menampung air.
Catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali, banjir periode ini terparah dalam satu dekade terakhir. Hingga Kamis (11/09/25), korban meninggal dunia mencapai 16 orang.
BPBD Bali mengatakan, 562 warga mengungsi, dengan rincian 327 warga di Kabupaten Jembrana dan 235 warga di Kota Denpasar. Fasilitas umum, seperti sekolah, balai desa, musala dan banjar dimanfaatkan sebagai pos pengungsian sementara.

Faktor manusia
Akademisi, Organisasi Lingkungan, hingga Menteri Lingkungan Hidup (LH) melihat banjir di Bali bukan semata karena intensitas hujan tinggi. Ada faktor eksternal yang manusia sebabkan sendiri.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, salah satunya karena produksi sampah parah di Bali. Berdasarkan data Pemerintah Bali, timbulan sampah pada 2024 mencapai 1.254.235,02 ton. Dari jumlah itu, timbulan terbanyak di Kota Denpasar 366.806,75 ton. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, 1.229.234,65 ton.
“Ini mungkin sampah tinggalan lama itu lho,” katanya.
Menurut dia, sampah-sampah menyumbat sungai hingga ketika hujan dengan intensitas tinggi mengguyur, terjadilah banjir. Namun, mereka masih mendalami hal ini.
Berdasarkan pernyataan Kadek Agus Arya Wibawa, Wakil Wali Kota Denpasar pada pembukaan Urban Social Forum di Denpasar akhir Agustus lalu, timbulan sampah yang bisa terangkut rerata hanya 20 ton per hari. Sampah itu sebagian besar buang di sungai.
Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mencatat, timbulan sampah di Bali naik 30% dalam 2000-2024.
Selain sampah, Hanif menilai bencana ekologis di bali karena kurangnya resapan air. Banyak lahan yang beralih fungsi jadi hotel dan cottage.
Dia sudah membicarakan masalah ini dengan Wayan Koster, Gubernur Bali.
“Saya sudah ingatkan agar mempertahankan keberadaan lereng dan sawah-sawah, jangan digunakan lagi untuk bangunan-bangunan. Karena mengingatkan jumlah wisatawan semakin meningkat,” katanya.

Dalam rilis yang Mongabay terima, Minggu (14/9/25), hanif menyoroti tutupan hutan daerah aliran sungai (DAS) Ayung kritis. Catatan KLH, dari 49.500 hektar, hanya 1.500 hektar atau 3% masih berhutan.
“Padahal, secara ekologis minimal butuh 30% yang berhutan agar ekosistem tetap berfungsi optimal.”
Yayat Supriatna, Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, menilai, bencana banjir bandang di Bali karena ketidakselarasan tata ruang untuk air dan pembangunan.”
Pesatnya sektor pariwisata, katanya, kerap mengorbankan tata ruang dan air di Bali. Akibatnya, resapan air, ruang terbuka hijau, area persawahan, berubah bentuk jadi bangunan keras.
Ketika area resapan hilang, lanjutnya, Bali melupakan sistem drainase yang baik. Pemda pun tidak pernah mempersiapkan daya dukung sistem drainase perkotaan untuk mengantisipasi curah hujan yang meningkat.
“Jadi kemarin wajar kalau kita lihat tiba-tiba hujannya besar, drainasenya tidak mampu, jalan yang menyempit, ujung-ujungnya semua jalan itu seperti sungai.”
Dia mendorong evaluasi tata ruang di Pulau Bali. Juga, menghitung pola curah hujan. Pembuatan drainase pun harus mengacu pada perhitungan itu.
“Itu ada siklus puncak-puncaknya hujan tertinggi. Nah ini maksudnya bukan 100 tahun sekali atau 50 tahun sekali, dalam hitungan 100 tahun itu misalnya berapa kira-kira puncak hujan tertingginya.”
Tanpa evaluasi, katanya, Bali berpotensi terdampak bencana kembali. Magnet pariwisata pun akan hilang.
“Kalau Bali ingin selamat seperti kota-kota lainnya, pengendalian tata ruang adalah kata kunci.”
Nirwono Joga, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, juga mendesak Pemerintah Bali audit tata ruang. Wajib kaji ulang seluruh izin pembangunan, baik yang sedang dalam proses maupun yang sudah keluar.
“Bagi bangunan yang menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) wajib untuk dibongkar dan diberi sanksi tegas,” katanya.
Ke depan, harus ada seleksi ketat proses perizinan pendirian bangunan. Jika usulan pembangunan gedung tidak sesuai tata ruang, maka pemerintah harus berani menolak tegas.
Sisi lain, dia menilai harus ada edukasi pada masyarakat untuk menjaga alam, mengawasi pembangunan, mengutamakan kelestarian alam dan pariwisata yang ramah lingkungan dengan tidak mengorbankan keasrian alam Bali.

Alih fungsi lahan
Alih fungsi lahan pertanian jadi bangunan keras pun menjadi sorotan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali. Penyusutan sawah setidaknya terlihat di empat kabupaten di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (kawasan Sarbagita). Periode 2018-2023, mereka mencatat persentase penyusutan lahan sawah antara 3–6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota.
Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah 784,67 hektar atau 6,23% dari luas wilayah. Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang 1.099,67 hektar dan Kabupaten Gianyar berkurang 1.276,97 hektar. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2.676,61 hektar.
“Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian,” ucap Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif Walhi Bali.

Hilangnya lahan pertanian, akan menghilangkan fungsi dari subak, sistem irigasi tradisional Bali. Subak mempunyai fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air secara alami.
Dia mengutip I Wayan Windia, Guru Besar di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, yang menyebut, setiap 1 hektar sawah mampu menampung 3.000 ton air apabila tinggi air 7 cm. Kalau lahan pertanian dan subak makin banyak berubah menjadi bangunan, maka sistem hidrologis air alami yang ada akan terganggu.
“Air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbullah banjir seperti yang kita lihat ini.”
Dia bilang, banjir besar dampak alih fungsi lahan ini sebenarnya pernah juga terjadi pada 2021 di Bali. Namun, tidak ada keseriusan pemerintah daerah dalam menempatkan masalah degradasi lingkungan yang berujung pada bencana, menjadi prioritas utama dalam melakukan tata kelola berkelanjutan.
Penerapan tata ruang Bali amat buruk. Walhi Bali mendapati berbagai rencana pembangunan acapkali melabrak rencana tata ruang wilayah (RTRW). Misal, pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalihfungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangunan.
“Pembangunan juga banyak melabrak sempadan pantai dan sempadan sungai, bahkan pembangunan dilakukan di kawasan rawan bencana”.
Alih-alih mengaudit, proyek-proyek besar justru akan ada di Bali, salah satunya pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove. Meski belum secara langsung menimbulkan dampak bencana, namun rencana ini akan mengantarkan Bali kepada kerentanan bencana pesisir yang lebih serius.
“Yang tentu juga akan berdampak ke daratan,” katanya.

Ada juga pembangunan Jalan Tol Gilimanuk–Mengwi dan pengembangan Kawasan Pelabuhan Sangsit di Buleleng. Semestinya, pemerintah berbenah dari kejadian sebelumnya, bukan malah mengamini degradasi lingkungan melalui pembangunan akomodasi pariwisata atas nama ekonomi semata.
Dia menilai, perlu langkah konkret seperti penghentian pembangunan atau moratorium pembangunan. Menurut dia, memproteksi lahan persawahan, hutan dan pesisir adalah merupakan sebuah tindakan yang sangat mendesak. Mengingat, keadaan Bali yang hingga kini semakin rentan terhadap bencana.
“Apabila tidak ada pembenahan dan tindakan nyata, maka tidak menutup kemungkinan jika dugaan kami, Bali justru akan diterpa bencana lebih serius dari hari ini.”
Dalam rilisnya, Hanif menyebut, akan melakukan pengawalan ketat ihwal konversi lahan yang tidak perlu. Dia berharap tidak lagi ada konversi lahan jadi villa, cottage, dan bangunan lain yang bisa mengganggu serapan air.
Pemerintah pusat dan daerah berkomitmen memperkuat pengawasan lingkungan, rehabilitasi kawasan hulu sungai, evaluasi tata ruang, hingga penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
“Momentum ini harus menjadi pengingat bagaimana kita menjaga alam Bali agar tetap lestari dan tangguh menghadapi bencana.”

*****