- Lebih dua pekan sudah sejak Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengumumkan temuan material besi rongsokan yang terkontaminasi zat radioaktif Cesium-137 pada 22 Agustus lalu di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang. Sayangnya, hingga kini, masih belum ada penanganan tuntas dari material berbahaya itu.
- Ishak, Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Bapeten, membenarkan, material besi rongsokan yang terpapar Cs-137 itu masih berada di lokasi. Untuk sementara, area itu dijaga oleh kepolisian.
- Yadi Mulyadi, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Serang, , mendesak pemerintah pusat segera mengambil tindakan tegas. Keberadaan material radioaktif di kawasan industri berisiko membahayakan masyarakat sekitar.
- Yuyun Ismawati Drwiega, Senior Advisor Nexus3 Foundation, menilai, langkah pengamanan pemerintah masih jauh dari standar penanganan limbah radioaktif. Menutup material berbahaya dengan terpal dan memasang garis polisi sama sekali tidak cukup.
Lebih dua pekan sudah sejak Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengumumkan temuan material besi rongsokan yang terkontaminasi zat radioaktif Cesium-137 pada 22 Agustus lalu di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang. Sayangnya, hingga kini, masih belum ada penanganan tuntas dari material berbahaya itu.
Ishak, Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Bapeten, membenarkan, material besi rongsokan yang terpapar Cs-137 itu masih berada di lokasi. Untuk sementara, area itu dijaga oleh kepolisian.
“Belum dipindahkan karena masih dalam pembahasan antarinstansi terkait,” katanya kepada Mongabay, Senin (8/9/25).
Bapeten segera berkomunikasi dengan tim teknis guna menentukan langkah lanjutan. Material yang terkontaminasi itu kini ditutup terpal, sembari menunggu keputusan lebih lanjut.

Segera tangani
Yadi Mulyadi, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Serang, , mendesak pemerintah pusat segera mengambil tindakan tegas. Keberadaan material radioaktif di kawasan industri berisiko membahayakan masyarakat sekitar.
“Kami minta material yang terpapar radioaktif itu segera ditangani oleh pemerintah pusat, supaya permasalahan ini bisa segera diselesaikan,” katanya kepada Mongabay saat di Gedung DPRD Senin (8/9/25).
Risiko pencemaran udara yang mungkin muncul karena zat radioaktif itu, Yadi belum bisa memberikan keterangan lebih jauh.
“Karena ini sudah ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Bapeten, kami masih menunggu hasil resmi dari pemerintah pusat.”
Mad Haer Effendi, Direktur Pena Masyarakat, organisasi lingkungan hidup di Banten, mengatakan, keterlambatan pemindahan material radioaktif ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Dia , menilai pemerintah pusat maupun daerah lamban dalam merespons ancaman serius terhadap kesehatan dan lingkungan.
“Radioaktif bukan persoalan yang bisa ditunda. Setiap hari material itu dibiarkan berada di lokasi, risiko paparan bagi pekerja maupun warga sekitar semakin tinggi,” katanya, Rabu (3/9/25).
Seharusnya, pemerintah segera mengevakuasi material berbahaya itu ke fasilitas penyimpanan khusus, bukan hanya mengandalkan pengamanan aparat kepolisian.
Dia juga menekankan pentingnya keterbukaan informasi kepada publik mengenai tingkat bahaya dan langkah mitigasi.
“Masyarakat berhak tahu sejauh mana dampaknya. Jangan sampai kasus ini ditutup-tutupi, karena yang terancam bukan hanya lingkungan industri, juga kehidupan warga di sekitarnya,” katanya.

Tak ada sosialisasi, risiko ke masyarakat
Narisa, warga Kampung Kedung Labang, Desa Barengkok, mengatakan, tidak pernah mendapat informasi apa pun terkait temuan material radioaktif di kawasan industri dekat permukimannya.
“Nggak tahu dan nggak ada sosialisasi sama sekali dari pemerintah maupun polisi. Kami jadi khawatir, apalagi kalau ternyata paparan radioaktifnya bisa sampai ke kampung,” kata lelaki 60 tahun ini kepada Mongabay, Kamis (4/9/25).
Senada Ketua RT 06 Kampung Kedung Labang, Aman, katakan. Hingga kini tidak ada pejabat dari desa maupun instansi terkait datang untuk memberikan penjelasan resmi kepada warga.
“Pas penyegelan ada rame-rame tahu, tapi kita (warga) nggak dikasih tahu alasannya karena apa disegel itu,” katanya kepada Mongabay, Kamis (4/9/25).
Aman mengatakan, ketidakjelasan informasi membuat keresahan di tengah masyarakat. Dia berharap, pemerintah segera turun langsung memberikan penjelasan sekaligus memastikan keselamatan warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi temuan material radioaktif itu.
Pantauan Mongabay di lokasi menemukan garis polisi (police line) yang sebelumnya terpasang sudah tidak ada lagi. Meski demikian, lapak rongsokan tempat temuan material radioaktif itu tidak beroperasi. Tidak ada aktivitas bongkar muat maupun pekerja di area itu.
Yuyun Ismawati Drwiega, Senior Advisor Nexus3 Foundation, menilai, langkah pengamanan pemerintah masih jauh dari standar penanganan limbah radioaktif.
Menurut dia, menutup material berbahaya dengan terpal dan memasang garis polisi sama sekali tidak cukup.
“Sampah radioaktif mestinya bukan cuma ditutup terpal, tapi harus diamankan dalam kontainer khusus lalu dipindahkan ke lokasi lebih aman. Kalau cuma dipasang garis polisi, itu nggak cukup kuat untuk mencegah penyebaran lebih jauh,” katanya, Rabu (3/9/25).
Dia menekankan, lambatnya penanganan bisa memperbesar risiko paparan bagi masyarakat sekitar.
“Semakin lama dibiarkan, potensi dampaknya semakin besar, baik untuk lingkungan maupun kesehatan warga.”

Tindak lanjut
Temuan material besi yang terkontaminasi radioaktif di lapak rongsokan oleh Bapeten merupakan tindak lanjut dari laporan resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) pada 19 Agustus lalu.
Dalam laporan itu, FDA menemukan jejak radioaktif pada sampel udang beku asal Indonesia yang diduga dari udang PT Bahari Makmur Sejati (BMS).
Lokasi BMS hanya berjarak kurang 100 meter dari lapak rongsokan tempat temuan material besi terkontaminasi radioaktif.
Walhi menduga kandungan zat radioaktif yang ditemukan pada udang beku itu berasal dari bahan-bahan dalam proses pengawetan.
“Kita minta ketegasan dari pemerintah untuk menindak pelanggaran yang dilakukan perusahaan,” kata Burhanudin Ladjin, Manajer Kampanye Pesisir laut dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional, Senin (8/9/25).
Dia juga menekankan tiga hal penting harus segera menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, perlu evaluasi terhadap skema bisnis seluruh eksportir dalam perdagangan internasional. Dia menilai, praktik ekspor seharusnya tidak hanya mengejar keuntungan semata, juga berorientasi pada keberlanjutan ekologis.
Kedua, pentingnya perbaikan tata kelola industri pertambakan di Indonesia. Selama ini, tata kelola lebih banyak dikendalikan kepentingan negara dan korporasi demi pemasukan ke APBN.
Padahal, industri pertambakan juga harus mengedepankan partisipasi penambak tradisional serta perlindungan terhadap ekosistem pesisir.
Ketiga, Burhanuddin menegaskan kasus Cs-137 harus menjadi alarm serius bagi pemerintah. Dia mengingatkan, agar tata kelola dan tata niaga pertambakan tidak lagi berfokus hanya pada peningkatan kuantitas produksi, juga menjamin kualitas produk sekaligus keamanan lingkungan.
*****
Udang Beku RI Terpapar Radioaktif, Berikut Temuan Bapeten di Cikande