- Realisasi bauran energi surya di Indonesia masih jauh dari target. Hingga akhir 2024, kapasitas belum menyentuh 1 GW, baru sekitar 916 MW. Padahal, potensi energi surya di Indonesia sangat melimpah. Mengapa?
- Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, menyebut, potensi energi surya Indonesia mencapai 3,3 TW. Rinciannya: Sumatera 1.240,64 GW, Jawa 696,58 GW, Kalimantan 517,53 GW, Sulawesi 257,36 GW, Maluku dan Papua 518,46 GW, serta Bali dan Nusa Tenggara 457,17 GW.
- Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebut, pertumbuhan tenaga surya di Indonesia secara global sangat tertinggal. Hingga 2024, pertumbuhannya memang yang tercepat di dalam negeri dengan penambahan kapasitas 600 MW per tahun, tetapi masih jauh di bawah negara lain.
- Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Pada 2020, ketiga negara itu memberikan insentif besar untuk mendorong energi terbarukan. Meski skema tersebut sudah tiada, pertumbuhan mereka tetap tinggi. Sementara Indonesia baru mencatat kapasitas terpasang sekitar 900 MW pada akhir 2024.
Realisasi bauran energi surya di Indonesia masih jauh dari target. Hingga akhir 2024, kapasitas belum menyentuh 1 GW, baru sekitar 916 MW. Padahal, potensi energi surya di Indonesia sangat melimpah.
Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), menyebut, potensi energi surya Indonesia 3,3 TW. Rinciannya: Sumatera 1.240,64 GW, Jawa 696,58 GW, Kalimantan 517,53 GW, Sulawesi 257,36 GW, Maluku dan Papua 518,46 GW, serta Bali dan Nusa Tenggara 457,17 GW.
“Indonesia berada di daerah khatulistiwa, kita berada di daerah tropis, sehingga sepanjang tahun kita mempunyai energi surya yang melimpah,” katanya.
Dia pun merasa lebih bisa mengandalkan energi surya. Dari sisi konstruksi, pembangunan relatif cepat. Meski butuh lahan luas, ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap sebagai alternatifnya.
Namun, penerapan energi surya menghadapi tantangan intermitensi, antara lain, pasokan listrik tidak kontinu karena bergantung pada sinar matahari. Saat ini, pemerintah tengah mencari solusi melalui peningkatan kapasitas penyimpanan baterai atau sistem hybrid yang menggabungkan tenaga surya dengan hidro (hydro combined/hydro-cam).
Semua itu untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam transisi energi. Pemerintah, katanya, terus mendorong program percepatan pengembangan energi surya.
Hal ini sejalan dengan poin kedua Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran, yang menyebut, pemerintah akan menetapkan sistem keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, ekonomi biru, hingga energi.
Pemerintah pun telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi Ketahanan Energi Nasional lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2025.
Ada empat parameter untuk mengukur ketahanan energi: availability (ketersediaan), accessibility (akses), affordability (keterjangkauan), dan acceptability (ramah lingkungan). Indonesia, masih dalam kategori tahan energi.
“Diharapkan ke depan dengan kita mendorong pemanfaatan energi hijau yang lebih banyak lagi, harapannya kita bisa mendorong ke posisi yang sangat baik di level atas hingga sekarang.”
Perluasan bauran energi surya, katanya, penting dalam konteks transisi energi dan pengurangan emisi karbon. Pemerintah menargetkan nol emisi (net zero emission) pada 2060.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menyebut, energi surya sebagai salah satu kontributor utama untuk mengejar bauran energi terbarukan 23% pada 2025, dan 31% pada 2050. Dokumen itu menekankan pemanfaatan energi surya lewat PLTS skala besar, PLTS atap (rooftop solar), dan hybrid PLTS–PLTD/PLTA terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pemerintah menargetkan daya mampu netto (DMN) mencapai 443 GW pada 2060, dengan 109 GW antara lain dari tenaga surya.
“Nanti 2035 hingga 2060 diharapkan energi surya ini memegang peranan paling besar dari sejumlah pembangkit-pembangkit energi lainnya,” kata Feby.
Untuk PLTS atap, target kuota kapasitas 2 GW hingga 2028. Rinciannya: Sumatera 95 MW, Kalimantan 104 MW, Jawa–Madura–Bali (Jamali) 1.850 MW, Sulawesi 17 MW, dan sumber lain berbasis Mandiri, Andal, dan Berkeadilan (Mapana) 7 MW. Hingga Juli 2025, kapasitas terpasang baru 538 MWp dari 10.882 pelanggan PLN.
Sementara itu, target PLTS skala besar dalam RUPTL hingga 2034 mencapai 17 GW. Tersebar di Sumatera (1.605 MW), Kalimantan (1.524 MW), Jamali (10.931,65 MW), Sulawesi (1.529 MW), dan Mapana (1.470 MW).
Untuk PLTS terapung, perkiraan potensinya 89,37 GW dari 293 lokasi, terdiri atas bendungan PUPR (14,7 GW di 257 lokasi) dan danau (74,67 MW di 36 lokasi).
Saat ini, progres baru sampai tahap pra-konstruksi di PLTS Terapung Saguling, Singkarak, dan Karangkates. Adapun PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 MW sudah beroperasi secara komersial.
Feby mengatakan, pengembangan energi surya juga melalui program dedieselisasi, yakni, menggantikan PLTD berbasis BBM fosil dengan PLTS+baterai (ESS) atau PLTS hybrid. Selain itu, ada PLTS APBN atau dana alokasi khusus untuk mendorong penyediaan energi terbarukan di daerah 3T.
Pemerintah menyiapkan sejumlah regulasi tengah untuk percepatan energi terbarukan. Antara lai, n RUU Energi Baru dan Terbarukan, revisi Perpres 112/2022, Rancangan Permen ESDM tentang PLT hibrida sistem mini grid off grid, dan Rancangan Permen ESDM tentang PLTS Operasi Paralel.

Ironi kebijakan
Bhima Yudhistira Adhinegara, Pendiri dan Direktur Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, lambatnya realisasi transisi energi terbarukan seperti PLTS karena banyak kebijakan justru menghambat.
Contoh, Permen ESDM 2/2024 tentang PLTS, revisi dari Permen ESDM 26/2021. Versi terbaru ini menghapus skema net‐metering, hingga kelebihan listrik tidak lagi bisa jadi pengurang tagihan.
Lalu, kuota pengembangan PLTS atap per sistem jaringan pun memiliki batas waktu lima tahun. Tidak bisa menjual kelebihan
“Kebijakan nih makin backward. Jadi makin sulit sebenarnya baik skala rumah tangga maupun skala industri itu untuk menggunakan PLTS surya,” katanya saat Mongabay hubungi.
Menurut dia, kebijakan-kebijakan itu bertolak belakang dengan komitmen ambisius Presiden Prabowo Subianto yang ingin Indonesia bisa beralih ke 100% energi terbarukan dalam 10 tahun. Alih-alih mempercepat, pemerintah justru mempermudah pembangunan PLTU baru. Dia mempertanyakan komitmen pemerintah.
Prabowo bahkan menyebut ada potensi 10.000 gigawatt PLTS dari 80.000 titik lokasi di Indonesia. Target itu, katanya, tidak akan tercapai bila regulasi terus menghambat.
“Justru Bank Himbara yang memberikan pinjaman untuk energi terbarukan di skala coopdash [koperasi energi terbarukan] jadi takut. Jadi ragu karena gak didukung perangkat regulasi.”
Dia khawatir regulasi yang makin ketat dan insentif terus berkurang, menyebabkan pengembangan energi terbarukan tidak menarik bagi industri. Pada akhirnya, di kawasan industri yang membutuhkan kapasitas besar sekitar 2–3 megawatt, perusahaan lebih cepat membangun PLTU captive ketimbang instalasi panel surya.
“Itu yang sudah terjadi.”
Kebijakan lain yang saat ini juga menghambat inisiatif masyarakat dalam mengembangkan energi terbarukan adalah ketiadaan mekanisme power wheeling yang membuat tidak bisanya mengalirkan listrik surplus dari PLTS komunitas ke jaringan tetangga atau desa lain.
Akibatnya, minat investasi di PLTS rumah tangga menurun. Sisi lain, instalasi lebih banyak terjadi di proyek besar seperti PLTS terapung di waduk bekerja sama dengan investor asing.
Untuk mendorong adopsi PLTS, Dia menilai pemerintah perlu melakukan reformasi total. Mulai dari percepatan pengesahan Undang-undang Energi Terbarukan hingga penyusunan peraturan teknis yang memberi kepastian hukum.
“Kelebihan listriknya ke PLN itu harus bisa diakomodir. Juga pendaftaran untuk pelanggan panel suryanya itu juga jangan dibatasi. Hal-hal ini yang perlu ada reformasi, ada payung hukum.”
Alasan pemerintah yang menyebut PLTS mengganggu sistem kelistrikan pun sudah tidak relevan. “Solusinya sudah ada, mulai dari smart grid, baterai penyimpanan, sampai Battery Energy Storage System. Jadi alasan itu tidak masuk akal.”
Selain itu, dia menilai PLN yang menjadi hambatan (bottleneck) transisi energi. BUMN ini takut tersaingi oleh rumah tangga.
Padahal, katanya, PLN harus memandang keberadaan PLTS rumah tangga sebagai dukungan, karena dapat meningkatkan bauran energi terbarukan dalam sistem on-grid. Juga mempercepat pencapaian target transisi energi tanpa harus menuntut investasi besar.
Dia pun mendorong Dewan Energi Nasional berkoordinasi dengan PLN dan KESDM terkait percepatan energi terbarukan dan mengatasi hambatan regulasi.

Tertinggal
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebut, pertumbuhan tenaga surya di Indonesia secara global sangat tertinggal. Hingga 2024, pertumbuhannya memang yang tercepat di dalam negeri dengan penambahan kapasitas 600 MW per tahun, tetapi masih jauh di bawah negara lain.
Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Pada 2020, ketiga negara itu memberikan insentif besar untuk mendorong energi terbarukan. Meski skema itu sudah tiada, pertumbuhan mereka tetap tinggi. Sementara Indonesia baru mencatat kapasitas terpasang sekitar 900 MW pada akhir 2024.
“Indonesia masih cenderung lambat dibandingkan negara lain di kawasan. Target 1 GW pun belum tercapai hingga 2024,” katanya.
Saat ini, PLTS skala besar masih mendominasi kapasitas nasional, dengan PLTS Terapung Cirata (145 MW) yang beroperasi sejak 2023 menjadi andalan. Tetapi, banyak proyek lain tidak berjalan sesuai rencana.
IESR mencatat, hanya 33% proyek PLTS utilitas dalam RUPTL PLN 2021–2023 yang terealisasi. Kendala utama karena penjadwalan tender tidak sesuai.
“Ini jadi sinyal mengkhawatirkan bagi investor yang ingin masuk ke industri energi surya Indonesia,” kata Alvin.
Meski begitu, dia melihat perkembangan positif PLTS atap. Minat konsumen meningkat, meski skema net metering Permen ESDM 2/2024 hapus.
“Namun penambahan kapasitas di PLTS Atap ini tidak berhenti begitu saja, justru tetap tumbuh. Ini menunjukkan bahwa keinginan konsumen untuk mendapatkan energi bersih terus meningkat.”
Tren ini terutama terjadi di Jawa dan Bali. Sementara, daerah lain seperti Sumatera Utara masih tertinggal.
Program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) dan Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) juga banyak menggunakan energi surya untuk elektrifikasi. Namun biaya instalasi di daerah terpencil bisa 20 kali lipat lebih mahal ketimbang perkotaan, hingga perlu dukungan APBN dan APBD.

*****
Berharap Energi Bersih Terbesar di Asia Tenggara dari PLTS Cirata