- Kawasan Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan tidak hanya menjadi rumah bagi keanekaragaman hayatı, tapi juga ruang hidup bagi masyarakat Dayak. Meratus menjadi ibu yang memberi makan, melindungi dan menjaga tradisi leluhur.
- Sejak 2019, kampanye tagar #SaveMeratus terus bergaung. Ini menjadi respon masyarakat terhadap ancaman yang datang kepada Pegunungan Meratus, baik hutan maupun masyarakatnya.
- Rencana pemerintah menjadikan Meratus sebagai taman nasional menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Alih-alih melestarikan, kebijakan ini berpotensi merampas ruang hidup dan membuka jalan bagi kepentingan kapitalis.
- Masyarakat adat, koalisi masyarakat sipil hingga mahasiswa terus menolak ancaman yang datang silih berganti kepada Pegunungan Meratus. Mulai dari ancaman pertambangan, perkebunan dan penetapan menjadi taman nasional
Masyarakat adat, koalisi masyarakat sipil Aliansi Meratus hingga mahasiswa terus menyuarakan untuk menjaga Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Kampanye dengan tagar #SaveMeratus muncul sejak 2019 untuk mendesak pemerintah menjaga benteng terakhir Kalimantan Selatan yang terancam pertambangan batu bara dan perkebunan. Kini tagar itu kembali disuarakan karena ruang hidup masyarakat terancam perubahan status menjadi taman nasional.
Pegunungan Meratus merupakan kawasan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua, membentang sepanjang kurang lebih 600 km dari dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur. Titik tertingginya berada di Gunung Halau-halau yang mencapai 1.901 Mdpl.
Kawasan pegunungan ini menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu satwa yang paling endemik dan ikonik adalah bekantan, primata berhidung panjang yang menjadi maskot Kalimantan Selatan. Berbagai jenis satwa dan vegetasi khas wilayah tropis bukan hanya bentang alam tapi rumah bagi kehidupan.

Tak hanya satwa dan tumbuhan, di hutan Meratus juga menjadi rumah bagi masyarakat adat Dayak. Ia menjadi ibu yang memberi makan, menyediakan tempat hidup, sekaligus menjaga keberlangsungan tradisi leluhur.
Sayangnya, keharmonisan alam dan manusia dalam keseharian masyarakat kini terancam.Tak hanya izin tambang dan perkebunan, kini pemerintah berencana untuk mengubah status hutan lindung Pegunungan Meratus menjadi taman nasional. Lalu, mengapa kita perlu kritis menyikapi rencana ini?
1. Keanekaragaman hayati tinggi

Kawasan Meratus dikelilingi hutan pegunungan rendah yang menjadi surga keanekaragaman hayati. Berbagai jenis pohon seperti Meranti Putih (Shorea spp), Meranti Merah (Shorea spp), Agathis (Agathis spp), Kanari (Canarium dan Diculatum BI), Nyatoh (Palaquium spp), Medang (Litsea sp), Gerunggang (Crotoxylon arborescen BI), serta Durian (Durio sp) tumbuh subur di sini. Di samping itu, tumbuh juga pepohonan bernilai ekonomi dan ekologi tinggi seperti Kempas (Koompassia sp), Belatung (Quercus sp) yang memperkaya lanskap hutan.
Keberagaman fauna di Meratus juga sangat memikat mata. Ada berbagai jenis reptil dan mamalia yang hidup di sini, mulai dari katak, biawak, tokek, kera abu-abu (Maccaca irrus), beruang madu (Hylarotis malayanus), Kijang pelaihari (Muntiacus salvator), rusa sambar (Cervus unicular), hingga satwa endemik seperti owa-owa (Hylobatus mulleri) dan iguana Meratus. Burung hantu, burung punai, burung belibis, burung bubut, serta aneka kupu-kupu turut menambah pesona kawasan ini, menjadikannya habitat yang ramai dan penuh warna.
Tak kalah istimewa, Meratus juga menjadi rumah bagi Bekantan, satwa endemik sekaligus maskot Kalimantan Selatan yang dihormati. Primata berhidung panjang ini merupakan spesies langka dan dilindungi, menjadi simbol penting dalam upaya pelestarian dan kebanggaan identitas daerah.
Baca juga: Budidaya Kopi Meratus, Upaya Jaga Hutan dan Tingkatkan Ekonomi Warga
2. Ruang hidup masyarakat adat Dayak

Bagi masyarakat adat Dayak yang mendiami Pegunungan Meratus, kawasan ini bukan sekadar bentang alam biasa, melainkan pusat kehidupan sekaligus sosok “ibu” yang memberi makan, melindungi, dan menjaga tradisi leluhur secara turun temurun. Selama ini, hutan mampu memenuhi kebutuhan pangan, hingga obat-obatan tradisional.
Masyarakat Dayak meyakini Meratus sebagai asal mula manusia, sehingga keberadaannya mendapat penghormatan yang tinggi dan tidak bisa diperlakukan sembarang. Keyakinan ini melahirkan tata cara hidup yang menekankan keseimbangan antara manusia dan alam, yang diwujudkan dalam tradisi Aruh. Tradisi ini menitipkan pesan kepada masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam dan roh-roh nenek moyang.
Misalnya dalam tradisi pembukaan ladang padi hingga panen. Ada sembilan aruh yang dilakukan mulai dari menyiapkan alat pertanian, pencarian ladang baru, menebang rumpun, upacara penanaman, merawat, memanen hingga memasukkan padi ke dalam lumbung.
Hutan menjadi napas kehidupan masyarakat Dayak Meratus. Kelestarian hutan hari ini menjadi cara mereka menjaga tradisi dan kehidupan. Mereka percaya, Jubata atau Duwata (Tuhan) Dayak Meratus akan mengutuk mereka yang menghancurkan hutan sehingga dalam kehidupan Dayak Meratus manusia dan hutan adalah satu kesatuan yang saling memberikan perlindungan.
3. Ancaman perubahan status menjadi taman nasional

Meratus yang menjadi ruang hidup masyarakat adat Dayak yang kini terancam digusur. Pemerintah Indonesia berencana mengubah status sebagian wilayah Pegunungan Meratus menjadi taman nasional.
Rencana ini menuai polemik di masyarakat adat maupun masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat Dayak yang telah mendiami kawasan Meratus turun temurun. Mereka was-was rencana perubahan status ini merampas ruang hidup dan membatasi akses mereka terhadap sumber daya alam dan hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka, seperti pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan.
Tak hanya mengancam ruang hidup masyarakat adat maupun lokal, masyarakat pun khawatir perubahan status menjadi taman nasional ini membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme dengan alibi konservasi lingkungan ataupun ekowisata. Tentunya, hal ini akan menguntungkan korporasi yang memiliki proyek. Kemudian, konsep pengelolaan wilayah gagasan lembaga internasional juga tidak berakar pada tradisi lokal.
Oleh karena itu, aliansi masyarakat sipil berharap bahwa hutan lindung Pegunungan Meratus tidak dialihfungsikan menjadi taman nasional sehingga ruang hidup masyarakat adat Dayak maupun lokal di kawasan tersebut terjaga. Selain itu, seharusnya pemerintah mengedepankan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan empat prinsip utama, yaitu tata kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi.
Baca juga: Semua Generasi Tolak Meratus Menjadi Taman Nasional
4. Perencanaan kawasan taman nasional tidak libatkan masyarakat
Sejak September 2024, pemerintah mewacanakan menjadikan pegunungan meratus menjadi Taman Nasional. Sampai hari ini isu tersebut bergulir, masyarakat yang terdampak tak pernah terlibat dalam pembahasannya.
Proses pengusulan tata batas taman nasional pun dinilai tak transparan. Banyak komunitas adat yang tidak tahu menahu tentang wilayahnya yang masuk dalam perencanaan kawasan taman nasional. Sayangnya, kebijakan yang dijalankan tidak berpihak kepada rakyat dan sifatnya sentralistik, top-down, serta eksklusif.

5. Wilayah Meratus terbebani izin konsesi
Tak hanya rencana penetapan kawasan Meratus menjadi taman nasional, kawasan ini juga menghadapi tekanan serius akibat maraknya pemberian izin konsesi, salah satunya adalah izin bertambangan batu bara.
Menurut catatan Walhi, luas wilayah Kalimantan Selatan sekitar 3,7 juta hektar, hampir 50% sudah terbebani izin pertambangan dan perkebunan sawit, perkebunan kayu dan HPH. Luasnya mencapai 4.301,78 hektar pertambangan dan 10.148,29 hektar berupa perkebunan.
Sedangkan, perizinan korporasinya, ada 6.228,36 hektar HGU, 51.644,80 hektar untuk minerba, dan 95.201,47 hektar untuk HTI.
Warga melakukan perlawanan menolak tambang batubara ini dengan berbagai cara, dari aksi dan demonstrasi lewat gerakan #SaveMeratus, sampai gugatan ke pengadilan. Akhirnya, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Walhi pada 15 Oktober 2019. Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta pada 22 Oktober 2018, menolak gugatan Walhi.

Pada 2019, awal kampanye #SaveMeratus muncul karena masyarakat menolak tambang batubara. Mereka menuntut salah satu perusahaan batubara, yakni PT Mantimin Coal Mining (MCM) di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah untuk dicabut karena mengancam ruang hidup masyarakat.
Masyarakat melakukan perlawanan menolak tambang batubara ini dengan berbagai cara, dari aksi dan demonstrasi lewat, sampai gugatan ke pengadilan. Akhirnya, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Walhi pada 15 Oktober 2019.
Sebelumnya, Februari 2018, Walhi bersama kuasa hukum yang tergabung dalam tim advokasi pengabdi lingkungan hidup mendaftarkan gugatan terhadap Menteri ESDM untuk melakukan pencabutan namun ditolak.
(*****)
*Daffa Ulhaq merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di Universita Indonesia. Daffa aktif sebagai jurnalis dan aktivis muda di Generasi Setara yang memiliki minat pada isu pendidikan, gender, dan lingkungan.
Masyarakat Adat Demo Tolak Hutan Meratus jadi Taman Nasional