- Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan segala keindahannya juga menyimpan risiko bagi pendaki, khususnya pendaki pemula.
- Agam Rinjani yang viral setelah membantu evakuasi jenazah Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang terjatuh di jalur licin, mengeluhkan banyak pendaki pemula datang hanya berbekal air mineral dan handphone, seolah mendaki gunung setinggi Rinjani tak beda jauh dari olahraga sore di taman kota.
- Bagi warga lokal, Rinjani adalah ruang sakral yang dijaga dengan aturan adat. Setiap kali ada insiden, sebelum evakuasi dilakukan, pemangku adat menggelar ritual ngasuh gunung, sebuah upacara tolak bala.
- Pasca insiden pendaki yang terjatuh Taman Nasional Gunung Rinjani pun mulai berbenah. Beberapa titik rawan jatuh kini dilengkapi tangga kayu, alat rescue disimpan di shelter atas, dan rambu peringatan zona berbahaya dipasang di jalur menuju puncak.
Gunung Rinjani, menjulang setinggi 3.726 meter di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sejak lama menjadi magnet bagi para pendaki dari seluruh dunia. Keindahan hutan, hamparan savana, kawah berapi aktif, pesona Danau Segara Anak, hingga mata air panas alami jadi salah satu gunung menarik di Indonesia.
Tak heran, pada 2017 , jumlah pendaki bisa menembus lebih dari 11.000 orang per hari. Jalur-jalur pendakian kala itu tak ubah pasar malam, riuh, sesak, dan dipenuhi tenda serta suara riang pendaki.
Kini suasana itu berubah drastis setelah berbagai insiden dan evaluasi hingga ada pembatasan. Pengelola menurunkan kuota pendaki menjadi hanya 300 orang per hari, keputusan yang bukan hanya meredam keramaian, juga menekan produksi sampah serta meningkatkan rasa aman di jalur pendakian.
Di balik aturan baru ini, ada satu nama yang kerap disebut orang ketika bicara soal keselamatan Rinjani, Abdul Haris Agam, atau lebih dikenal dengan Agam Rinjani.
Bagi banyak orang, pemuda kelahiran Makassar 22 Desember 1988 ini bukan sekadar porter atau pemandu. Alumni jurusan antropologi Universitas Hasanuddin dan aktif di organisasi pencinta alam Korpala Unhas ini adalah sosok lapangan yang nyaris selalu hadir ketika terjadi evakuasi, bahkan di medan paling berbahaya.
Publik mengenalnya luas ketika dia nekat turun hampir 600 meter ke jurang demi mengevakuasi jenazah Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang terjatuh di jalur licin.
“Rasa kemanusiaan mengatasi rasa takut,” katanya singkat dalam wawancara dengan Mongabay, awal Agustus 2025.
Dia bicara banyak hal, tentang keselamatan pendaki, rute pendakian berisiko hingga eksistensi masyarakat adat di sekitar Gunung Rinjani.
Keberanian Agam sempat membuat bulu kuduk merinding, sekaligus mengingatkan bahwa mendaki Rinjani bukanlah sekadar jalan-jalan naik bukit.
“Ini mountaineering, bukan trekking ke mal. Harus siap fisik, sepatu standar, headlamp, dan perlengkapan safety lengkap,”katanya.
Dia sering mengeluh karena banyak pendaki pemula datang hanya berbekal air mineral dan handphone, seolah mendaki gunung setinggi Rinjani tak beda jauh dari olahraga sore di taman kota.
“Kadang ada yang pakai sepatu altar, pikirnya pergi ke mal. Padahal kalau naik ke puncak itu betul-betul adventure,” katanya geleng kepala.

Dorong screening ketat
Bagi Agam, masalah ini bermula dari konsep promosi trekking oleh agen wisata kepada turis. Trekking di luar negeri sering dimaknai hanya sebagai jalan santai di bukit, sedang Rinjani adalah mountaineering dengan risiko tinggi.
Dari pengalaman pahit itulah Agam bersama rekan-rekan mendorong lahirnya sistem screening ketat sebelum pendakian. Trekking organizer wajib memeriksa kelengkapan pendaki, dari fisik hingga peralatan.
“Yang paling pertama bisa di-screening itu fisik. Ada latihan atau tidak. Kalau tidak ada, jangan tiba-tiba langsung naik. Rinjani bukan untuk pendaki pemula.”
Sistem ini kini berjalan lebih disiplin: ada briefing sebelum pendakian, pengecekan peralatan standar, hingga evaluasi setelah pendaki kembali turun.
Sisi lain, Taman Nasional Gunung Rinjani pun mulai berbenah. Beberapa titik rawan jatuh kini dilengkapi tangga kayu, alat rescue disimpan di shelter atas, dan rambu peringatan zona berbahaya terpasang di jalur menuju puncak.
“Kemarin kendalanya tali evakuasi harus dikirim dari bawah. Sekarang sudah ditaruh di atas. Jadi kalau ada shelter, semua perlengkapan evakuasi sudah siap,” kata Agam. Usulan-usulan ini sebagian besar datang dari komunitas lapangan.
Petugas juga mulai membenahi jalur trekking, pembuatan jalur menggunakan bahan semen selama ini dinilai tidak efektif. “Kalau pakai semen, begitu ada gempa pasti rusak. Jadi, dibuat tangga kayu. Kalau ada pergeseran tinggal dipindahkan. Itu lebih efektif dan tidak jadi sampah,” katanya.

Ritual adat
Keselamatan di Rinjani tidak hanya bergantung pada regulasi negara dan peralatan modern. Ada kekuatan lain yang menjaga keseimbangan, yakni, masyarakat adat.
Bagi warga lokal, Rinjani adalah ruang sakral yang dijaga dengan aturan adat. Setiap kali ada insiden, sebelum evakuasi , pemangku adat menggelar ritual ngasuh gunung, sebuah upacara tolak bala.
“Masyarakat juga mau membuka jalur kalau sudah dilakukan namanya upacara gunung. Upacara ritual pembersihan malapetaka. Kemarin kami kumpulkan semua pemangku adat, ada 14 orang. Kami belikan kerbau dari uang donasi untuk ritual bersama,” katanya.
Dari ritual itu lahir kesepakatan bersama tentang standar operasional. Standar operasi dari taman nasional dan pemerintah berpadu dengan aturan adat yang sudah turun-temurun. Salah satunya, terkait hal-hal yang dianggap pemali, seperti larangan berpacaran, berteriak-teriak, atau naik ke puncak saat menstruasi.
Keterlibatan masyarakat adat tidak berhenti di ritual. Mereka juga hadir dalam briefing awal pendakian, memberi arahan soal tata krama, dan ikut dalam pelatihan mitigasi bencana bersama taman nasional. Bahkan doa-doa pemangku adat selalu mengiringi proses evakuasi. Bagi Agam, dukungan spiritual ini memberi kekuatan moral bagi tim penyelamat yang berhadapan dengan medan ekstrem.
Selain masyarakat adat, keberadaan porter dan guide juga sangat krusial. Mereka bukan hanya penopang logistik pendaki, juga garda depan keselamatan. Saat ini, baru 25 dari sekitar 800 porter dan guide yang memiliki lisensi resmi, namun proses sertifikasi terus berjalan bertahap.
“Harapannya semua nanti berlisensi. Jadi standar keselamatan makin terjaga. “Kalau ada insiden, yang pertama kali bertindak itu mereka. Makanya harus dilatih.”
Agam tahu betul kalau jumlah pendaki tak terkendali bisa berbahaya. Dia masih mengingat 2017, saat jalur pendakian benar-benar seperti pasar malam.
“Tahun itu puncaknya sampai 11.000 orang per hari. Sekarang dibatasi 300 orang, jauh lebih bagus. Sampah berkurang, suasana lebih tenang,” katanya.
Dengan jumlah lebih terkendali, pengawasan lebih mudah, evakuasi lebih cepat, dan lingkungan lebih terjaga.

Meski demikian, Agam percaya bahwa Rinjani harus terus berbenah menuju standar internasional. Dia mendorong ada asuransi pendakian yang bisa menanggung biaya evakuasi helikopter jika terjadi kecelakaan.
“Kalau evakuasi helikopter biayanya mahal. Kalau ada asuransi, pendaki lebih aman, dan keluarga juga tenang.”
Menurut dia, pemerintah bisa melibatkan swasta dalam pengelolaan pendakian, sementara taman nasional fokus pada fungsi monitoring dan penelitian.
Semua perubahan ini membuat Rinjani menjadi semacam laboratorium kebijakan, di mana regulasi modern, pengetahuan adat, dan teknologi saling bertemu. Donasi Rp1,3 miliar yang warganet Brasil kumpulkan setelah insiden Juliana Marins, untuk membeli alat evakuasi dan mendukung ritual adat, menunjukkan bagaimana solidaritas global bisa berpadu dengan kearifan lokal.
Rencana pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) untuk memantau arus pendaki, sertifikasi guide lokal, hingga kesepakatan adat tentang pemali adalah bagian dari upaya bersama menjaga harmoni antara manusia dan gunung.
RFID merupakan teknologi yang menggunakan gelombang radio untuk membaca dan menyimpan data dari sebuah tag (semacam chip kecil) yang ditempelkan pada objek tertentu.
Agam mungkin hanya satu nama di antara banyak orang yang terlibat di sana. Namun kisahnya mencerminkan betapa keselamatan pendakian bukan hanya soal regulasi pemerintah, melainkan hasil dari keberanian individu, kekuatan komunitas, dan kearifan adat.
*****